webnovel

K

Rasanya aneh saat melihatmu tersenyum lembut pada layar ponsel tatkala sebuah nama tertera di layar, pun secara bersamaan hal itu juga yang membuatku sadar bahwa kita sudah lama berakhir.

Kalau mengingat tentang masa lalu, rasanya nyaris membuat Gia memuntahkan isi perutnya sebab kenangan itu bukanlah sesuatu yang manis untuk kembali dibicarakan. Kata orang, seseorang yang hebat bukan hanya mereka yang bisa memaafkan luka yang diciptakan masa lalu, tapi juga seseorang yang mau membukanya kembali sembari tersenyum bangga--tanpa dendam dan juga duka. Tapi hal itu tidak berlaku untuk Gia, sekalipun semuanya sudah berlalu hampir sepuluh tahun lamanya. Lagipula, dia tak pernah menganggap bahwa dirinya adalah seorang manusia yang hebat.

Dulu, taman di pusat kota akan menjadi tempat mereka menghabiskan waktu berdua setelah lelah bergulat dengan buku-buku di sekolah. Duduk bersisian di tepi danau, saling melempar lelucon, memakan eskrim, atau melempar batu ke arah danau sembari mengumpat meluapkan kekesalan. Alan akan tersenyum hangat ke arah perempuan itu, lalu mengatakan semua harapannya. Persis seperti remaja yang tak terlalu paham tentang dunia, bisanya hanya berkhayal seolah semuanya akan berjalan dengan mudah.

"Nanti saat kita menikah, kau tidak usah berkerja. Diam saja di rumah, menjaga anak-anak kita dan menyambutku pulang dari kantor."

Gia tak akan mengatakan apa-apa, hanya diam dengan manik yang mendadak bergetar. Rasanya aneh, seolah dia terlahir hanya sebagai objek pendukung. Semuanya juga berlaku pada ibunya, selalu dikekang dan tak bisa mewujudkan mimpinya. Meskipun pada akhirnya, hubungan kedua orangtuanya rusak. Membawa banyak sekali rasa takut untuk Gia, belum lagi kisah hidup sang kakak yang tak berjalan dengan baik. Hidupnya benar-benar berantakan.

Hening yang tadi mengisi kekosongan di dalam mobil itu, kini tergantikan dengan berisik dari ponsel seseorang yang memiliki nada dering aneh. Gia berdecak, meluapkan rasa kesalnya yang sudah bertumpuk di atas kepala--siap meledak. Lalu Alan yang berada di sebelahnya nampak sibuk merogoh ponsel, sebelum akhirnya mengambil benda itu. Gia melirik lewat ekor mata, sejenak mendengus sebab Alan tak juga berubah. Kebiasaan sekali memasang nada dering aneh.

"Hallo, Sayang?"

Keempat orang sempat mengalihkan atensi mereka beberapa detik pada sosok Alan yang tengah berbicara dengan seseorang di seberang telepon, di tambah embel-embel yang membuat mereka meringis iri. Gia yang menatap tak suka, lantas kembali mengalihkan atensinya ke arah jendela yang sudah menampilkan pemandangan berupa hutan. Gedung-gedung tinggi tadi sudah hilang, pun suara bising dari mesin kendaraan bermotor.

"Ah, maaf. Aku semalam pergi minum-minum dengan rekan kerja dan lupa memberi tahumu,"

Keempat orang itu sekarang sama-sama melotot, tak terkecuali Gia yang sekarang sudah sangat kesal dengan kejujuran lelaki itu. Apa dia kau merusak rumah tangganya sendiri dengan mengatakan kejuaraan itu? Kalimat selanjutnya juga tak kalah membuat terkejut, apalagi dengan keadaan semalam yang membuat ketiga pemuda itu melirik ke arah Gia sejenak.

"Aku tidur di hotel, Sayang. Tidak usah khawatir,"

Alan itu manusia paling gila yang pernah Gia temui, sekalian saja katakan kalau dia di hotel tidur dengan mantan kekasihnya waktu SMA. Biar nanti Gia diberi label pelakor oleh orang-orang, dijauhi, diberi sanksi sosial, dipecat dari pekerjaanya dan perlahan mati karena tak punya uang untuk bertahan hidup. Kenapa, ya, kalau urusan seperti ini orang-orang hanya akan membenci satu pihak saja? Yang di sini tentu saja pihak wanitanya yang akan disalahkan, sementara lelakinya akan dimaklumi karena mereka adalah lelaki yang memang suka sekali khilaf.

Ketidakadilan macam apa ini?

"Aku juga akan pergi untuk ekspedisi," ujarnya lagi, "maaf karena harus meninggalkanmu beberapa minggu,"

Setelah mendengar jawaban dari seseorang di seberang telepon, Alan nampak menganggukkan kepalanya lalu menjawab. "Aku juga akan merindukanmu, jaga diri baik-baik. Sampai jumpa,"

Ponsel pintar berwarna hitam itu sudah dikembalikan di tempatnya semula, sementara Bisma yang sejak tadi memperhatikan di kursi depan kini memicingkan matanya. Melirik sekilas pada Gia yang fokus menatap jalanan, lalu menatap ke arah Alan lagi.

"Kakak semalam tidak pulang dan menginap di hotel?" Tanya pemuda itu, mengulang kembali apa yang tadi dia dengar. "Tidur dengan wanita itu, ya?" Lanjutnya, memberi isyarat berupa gerakan mata.

Gia yang merasa dirinya terseret dalam konversasi itu lantas menoleh ke arah Bisma, matanya melotot tajam dengan mimik wajah masam. Alan kini bingung ingin memberi jawaban apa, bibirnya sejak tadi terdiam seolah tak bisa digerakkan. Sementara Galang yang berada di sebelah Alan juga menatapnya, menunggu jawaban seperti apa yang akan lelaki itu katakan. Vin yang mengemudi juga menunggu, sesekali melirik lewat kaca depan di tengah-tengah mobil.

"Bicara apa kau ini," jawabnya yang tentu saja membuat ketiga pemuda itu semakin penasaran.

"Spekulasiku tidak akan meleset dengan fakta-fakta yang ada, Kak. Kau semalam membawa wanita itu pulang karena dia mabuk, lalu kau pasti tidak akan tahu alamat rumahnya dan Gia tidak akan mengatakan apa-apa karena tidak sadarkan diri. Jadi, kau membawanya ke hotel," Bisma menyipitkan matanya tajam, menjeda sejenak, lalu melirik ke arah Gia yang kini kembali fokus pada jalanan. "Hal itu juga diperkuat dengan pengakuanmu pada istrimu barusan,"

"Kenapa kau tidak jadi penulis novel saja, Bisma?" Gerutu Alan, yang sebenarnya hanya alasannya saja untuk menghindari kesalahan barusan.

"Jangan mengalihkan pembicaraan!" Bentak Bisma.

Galang dan Vin mengangguk, sementara Alan sudah terdiam membeku di tempatnya. Jantung Gia juga bertalu tak karuan, rasanya hampir lepas dari tempatnya. Tapi agaknya Dewi Fortuna sedang berpihak pada perempuan itu tatkala matanya melihat rest area yang berada dalam radius sekitar dua meter dari mereka, Gia lantas tersenyum dan berbicara bahkan mengabaikan bagaimana Alan yang hampir meluapkan kekesalannya pada ketiga pemuda itu.

"Bisakah kita berhenti di rest area? Aku ingin ke toilet," Vin yang mengemudi memaksa untuk menganggukkan kepalanya, sementara Bisma sekarang semakin memicingkan matanya menaruh kecurigaan yang lebih besar.

Mobil itu lantas behenti di pelataran parkir, membuat Gia langsung keluar dan buru-buru melangkahkan kakinya untuk pergi dari sana. Keempat lelaki itu juga sudah keluar dari mobil, melangkah bersamaan menuju minimarket. Bisma yang berjalan bersisian dengan Alan tak henti-hentinya menatap kearah lelaki yang cukup tinggi itu, lalu mendengus kesal.

"Jangan macam-macam, Kak. Aku tak mau kakak sepupuku terluka karenamu," ancam pemuda itu, nyaris melangkahkan kakinya lagi tapi Alan lebih dulu membalas dengan intonasi suara yang terdengar cukup berat.

"Jangan suka mencampuri urusan orang lain, Bisma. Aku membiarkanmu karena aku menghargai istriku, tapi bukan berarti kau bisa semena-mena padaku."

Setelahnya, Alan pergi menuju minimarket dengan langkah lebar meninggalkan Bisma yang membeku di tempatnya. Bisma memang tak ingin melihat kakak sepupunya terluka, tapi melihat bagaimana Alan yang memancarkan aura mengerikan seperti itu, sukses membuat nyalinya menciut. Memilih untuk mengabaikan sembari menghela napasnya cukup panjang, Bisma melangkahkan kaki mengikuti ketiga lelaki itu. Nanti, dia harus terus memberi pengawasan terhadap kakak iparnya itu dan Gia.

To Be Continued