webnovel

Pertemuan Pertama Antar Pahlawan

"Lihat! Pelindungnya ... pelindungnya rusak. Aku yakin ini pasti ulah Jenderal Iblis."

Jenderal Iblis? Kalau tidak salah, gelar itu kebalikan dari Pahlawan bukan? Seperti bawahan Raja Iblis.

"Kamu yakin?" Aku masih ragu.

"Tidak salah lagu. Pelindung ini termasuk sihir terkuatku. Levelku memang rendah, tapi aku yakin dengan ilmu sihirku. Yang bisa menghancurkan pelindungnya harus sekelas Pahlawan atau Jenderal Iblis."

Benar juga. Level Lola hanya di angka lima belas, tetapi ilmu sihirnya tidak busa diremehkan. Kupikir mengapa levelnya masih rendah padahal sudah ada di sini sejak lima tahun lalu selain fakta dia diubah menjadi monster beberapa tahun, sepertinya Lola lebih menenggelamkan diri di bidang sihir. Bukankah dia sendiri yang bilang bahkan rata-rata sihir yang bisa kami pelajari dari ponsel ini dia penulisnya?

Pahlawan jelas tak mungkin meninggalkan satu-satunya kandidat terkuat yaitu Jenderal Iblis. Namun, mengapa dia menyerang desa ini? Kupikir dengan berakhirnya serangan para serigala, masalahnya selesai. Justru sebaliknya. Kami menambah ....

Tunggu!

Jangan bilang memang ini rencananya?

Dia menduga desa ini akan memanggil pahlawan yang sanggup membunuh seluruh serigala. Dengan begitu, bibit penyakit yang dibawa akan ditular lebih cepat.

Sial!

Lebih penting lagi, bagaimana menangani warga yang terjangkit.

Kata Lola, beberapa orang yang terjangkit ini niatnya membersihkan mayat-mayat serigala sebelum kami bangun biar tidak terlalu merepotkan kami. Lola juga ada di sini untuk mengecek kondisi pelindung yang dia buat.

Tidak terduga Lola malah menemukan pelindungnya kehilangan cahaya redup yang menjadi tanda pelindung itu aktif.

Tidak berhenti di situ.

Keanehan mulai terjadi. Satu persatu mereka mulai berjatuhan. Lola mencoba melihat lebih dekat, tetapi mereka tampak aneh. Muncul bercak-bercak kemerahan di tubuh, ada yang merasa sesak napas, dan bahkan menggeliat kesakitan.

Lola menggunakan skill Analysis dan menemukan kalau apa yang sedang terjadi, semuanya karena darah beracun, pembawa bibit penyakit.

....

Bagaimana ini?

Aku ingin menemui sumbernya, tetapi tak mungkin meninggalkan mereka semua.

Apa yang harus aku lakukan?

Di saat kebimbangan memenuhi hatiku, ada yang membayangkan tubuhku dari atas langit. Sontak aku menengadah.

Apa itu? Kupu-kupu atau ....

"Itu peri!" seruan Gio mewakili pikiranku.

"Eh, beneran? Woah, dia beneran terbang pake sayap."

"Jangan-jangan ...."

"Ayo pergi!" Lola mengajak kami untuk mengikuti benda terbang aneh itu yang kami duga peri. Mungkin dia tahu sesuatu.

***

Kami berhenti di tengah jalan. Bukan tanpa sebab. Gadis yang memiliki sayap capung di punggungnya mendarat di tengah jalan raya. Ada satu lagi yang terbang di atas. Dia tidak memiliki sayap.

Kehadiran misterius ini tentu saja mengundang banyak perhatian bahkan kami pun tak terkecuali.

Siapa mereka?

"Atas pelindung semesta, pengendali tumbuh-tumbuhan, kuperintahkan kau! Berkati jiwa-jiwa yang malang ini dengan perlindungan ilahimu. Israfil!"

Suara pria yang masih terbang bisa didengar siapa pun dan tepat pada saat itu, salah satu fenomena menakjubkan terjadi.

Akar-akar yang entah datang dari mana mulai menjalar. Kecepatan yang memukau bahkan kami tidak bisa bereaksi dengan sepenuhnya. Saking cepatnya, akar-akar yang saling merajut satu sama lain membentuk kurungan amat besar dalam sekejab.

Ini ... benar-benar fantastis!

Semua orang di sini pasti berpikir sama.

Kubah akar yang kupikir menakjubkan, langsung hilang menjadi partikel cahaya. Ah, terlalu cepat.

Pria itu perlahan turun, berdiri di samping gadis itu.

"Mohon maaf atas keterlambatanku. Perkenalkan, Raja Roh, Rendy Israfil, Pahlawan Kesucian. Aku datang untuk memenuhi panggilan kalian yang membutuhkan perlindungan."

Dia termasuk Pahlawan?!

Pahlawan Kesucian ... eh, tunggu! Raja Roh? Apakah tidak semuanya pahlawan itu manusia? Nonmanusia hanya ada di dunia ini yang diciptakan orang yang mengaku dewi. Sepertinya dia juga menciptakan orang-orang untuk membantunya.

Ah, pemahamanku masih minim.

Lalu bagaimana dengan satunya lagi?

"Ratu Peri, Claudi Raphael, Pahlawan Rendah Hati. Aku datang untuk memenuhi panggilan kesakitan kalian."

Pahlawan juga?!

Eh, ada berapa sih pahlawan yang dipanggil? Aku sedikit merasa shock.

Tidak, ini bagus!

Sekilas aku bisa paham. Rendy ini membuat pelindung lebih kokoh dari Lola. Aku sedikit bertanya-tanya mantra Lola agak sama dengan yang diucapkan Rendy. Sepertinya Lola juga tahu mereka. Mungkin Lola sedikit meniru.

Terus untuk gadis yang bernama Claudi ... panggilan kesakitan? Apa maksudnya?

"Dia menyebut nama belakangnya Raphael. Raphael adalah malaikat penyembuh. Sepertinya dia datang untuk mengobati orang-orang yang terjangkit."

Ah, begitu.

Pas!

Bagus.

Dengan begini, aku bisa pergi menemui sumbernya.

Oh? Dari mana keberanian ini tiba-tiba berasal?

"Oi, kami bisa enggak nyerahin ini ke kalian? Kami dari party Pahlawan Keadilan mau nyari sumbernya."

Nata seolah-olah selalu memahamiku.

Mereka yang tadinya meladeni orang-orang yang mengerubungi mereka, mendengar teriakan Nata, dia jadi menoleh ke kami.

"Ayo, Kak Arga! Kita perlu beresin sampe ke akarnya, 'kan? Itu tugas pahlawan, 'kan? Sebelum desa lain di serang juga. Ayo, Kak Arga!" Nata mendesakku.

"Eh, uhm ... iya. Ayo pergi!"

Karena memang itu niatku, kami sepakat pergi.

Tujuannya adalah hutan seberang. Hutan Banja, rumahnya para binatang buas yang tampaknya ada penguasa baru lebih buas di sana.

***

"Anjir! Nih gaun malah pake ribet. Ini apalagi pake acara nyangkut segala. Aduh, ini tangan bayi bukan sih? Buset narik akar aja sanggup apa akarnya aja yang terlalu jelek. Ck!"

Gio adalah orang yang paling berisik di sepanjang perjalanan kami. Padahal sebelumnya anteng bahkan dia lebih senang saat kami memasuki hutan milik kerajaan para bangsawan itu karena diizinkan memetik buah-buahan sebagai bekal perjalanan. Ya, tidak lapar sih, tetapi bagus untuk menambah stamina.

Namun, begitu kami mulai memasuki hutan Banja, dia mulai cerewet. Apa saja dikomentar!

"Ya Gio sih pake acara dandan kek gitu. Nih Nata juga pake gaun, tapi gak bikin ribet." Nata paling banyak menanggapi keluhan Gio.

Gio mendengkus. "Ya kalau gue tahu, gak bakal gue mau ngeklik sembarang–aduh!"

Kali ini Gio benar-benar tersungkur setelah beberapa kali selamat dari bahaya. Dia tersandung akar besar dan tertelungkup di tanah.

"Hahaha ... ngomel sih dari tadi. Lo gak ... eh, tunggu, tunggu, tunggu! Jangan nangis oke!"

"Huweee ....."

Aku dan Lola berhenti mendengar nada panik Nata disusul tangisan Gio. Lho? Kupikir Gio akan langsung bangkit dan kembali melanjutkan omelannya.

Sebaliknya Nata yang menertawai jadi panik karena Gio tiba-tiba menangis.

Menangis ... dia benar-benar pria tidak sih? Kalau begini, orang-orang bahkan aku sendiri akan percaya kalau wujud aslinya memang anak-anak. Apakah tidak hanya fisik, tetapi mental ikut terpengaruhi?

"Bisa jalan?" Aku melirik ke arah lututnya yang berdarah, tetapi mulai disembuhkan Lola.

Gio menyeka air matanya dengan kasar dan bangkit. "Gue itu kuat! Itu tadi ... mata gue kelilipan. Udah, lanjut aja jalannya!"

Aku ingin bilang tidak ada yang bilang dia lemah.

Ya sudahlah, mungkin juga Gio aslinya punya sisi lemah seperti tadi. Siapa tahu. Bahkan kadang-kadang aku sendiri ingin menangis tanpa tahu sebabnya.

"Tapi ini benar-benar sulit. Aku hobi keliling sih sebelum jadi monster, tapi aku belum pernah datang ke tempat melelahkan ini." Lola pun sekarang ikut mengeluh.

Benar juga sih!

Seperti yang diharapkan dari rumahnya para binatang buas. Berbagai macam tumbuhan liar tertanam tak beratur. Kadang-kadang menjijikan seperti sebelumnya kami bertemu deretan pohon aneh yang mengeluarkan lendir hijau. Mau tak mau kami harus memutar.

Ada juga tanaman menakutkan seperti kantong semar. Namun, itu berbeda dari yang kutemui dunia nyata.

Besar!

Begitu besar sampai tampak seperti jurang maut.

Salah langkah, kami bisa terjerab ke dalam sana tanpa bisa naik ke atas lagi.

Lalu ini juga ....

"Waaaa ... serem! Serem! Lu bunga apa sih anjir? Bangke! Sialan! Bunga psycopath woy! Huwaaa ... tolong, tolongin gue."

Gio tak sengaja menginjak akar tumbuhan yang lebih menakutkan lagi. Alhasil dia dikejar-kejar. Gio dikejar, tentu saja kami lari!

Itu apa sih namanya? Tidak asing, tapi aku lupa namanya. Tumbuhan itu seolah punya gigi runcing menakutkan dan belum lagi itu besar seakan-akan siap menggigit kami kapan saja.

Aku bahkan tak sadar sejak kapan menggendong Gio dan tahu? Umpatannya makin menjadi-jadi. Astaga anak kecil ini!

"Sini, sini!" Mengikuti Lola, kami buru-buru bersembunyi di balik bebatuan besar dan tinggi yang anehnya ada di hutan ini.

Mengintip sedikit, akhirnya pergi juga.

Aku terduduk spontan. Ini ... benar-benar melelahkan seperti kami baru saja masuk ke neraka!

Ya, kami benar-benar mengalami banyak masalah dengan tumbuhan, tetapi anehnya ke mana semua binatang buas? Hutan ini rumahnya para binatang buas bukan?

Sunyi seka–

DOR!

"Ya ampun, sepertinya ada tamu yang menarik. Alpha akan senang menemui makhluk kurang ajar sepertimu."

*

TBC