9 9. Sang Masa Lalu

Gibran memperlihatkan wajah cemberut nya, sementara Andini terlihat fokus menatap kejalan, terik matahari siang itu terlihat sangat terik dan bisa dengan mudah membakar kulit.

"Aaahhhh, sial! kulitku bisa hangus terbakar tau!" Seru Gibran kesal, ia terus saja protes dan mengoceh. Andini hanya bisa mendengus sebal, ditatapnya bayangan Gibran dari kaca spion motornya.

"Katamu kau mau ku antarkan pulang, ini sudah ku antarkan! Jangan cerewet!" bentak Andini tak kalah kesalnya.

"Tapi tidak naik motor juga."

"Aku kan tidak tau menyetir mobil, jadi terima saja kalau aku bonceng pake motor bocah!" Andini melajukan motornya, sampai di persimpangan jalan Andini berbelok ke arah berlawanan dengan jalan menuju kerumah Gibran.

"Hey, rumahku ke arah sana tau." seru Gibran.

"Aku tau. Bisakah kau diam saja? Suaramu benar-benar membuat telingaku sakit!" Kali ini Andini benar-benar merasa tidak tahan dengan ocehan Gibran.

"Kau? Jangan-jangan kau mau menculik ku untuk membalas dendam yah? Jangan coba-coba berpikir begitu yah pelakor!" Gibran semakin mengoceh tidak karuan. Andini sontak mengerem motornya. Membuat Gibran kaget dan tubuhnya limbung kedepan, tubuh Gibran kini begitu dekat tanpa jarak dengan tubuh Andini.

"Sekali lagi ku dengar kau memanggilku pelakor, akan ku buat kau tidak bisa bicara lagi!" Andini menoleh dan menatapnya tajam, wajah Andini terlihat benar-benar marah. Gibran yang masih terlihat syok itu, sontak terdiam dia mencoba mengalihkan pandangannya dari tatapan Andini. Perlahan ia mundur untuk memberi jarak diantara tubuhnya dengan tubuh Andini.

"Sial, kenapa aku jadi gagu begini." batin Gibran, ia mengelus pelan dadanya yang berdegup kencang saking kagetnya.

Setelah Gibran terdiam, Andini lalu mulai melajukan motornya kembali. Untungnya kali ini Gibran tidak banyak mengoceh seperti sebelumnya. Saat motor Andini masuk ke pelataran rumah sakit lagi-lagi Gibran kembali terkejut.

"Mau apa kita ke sini?" tanya Gibran panik, ini adalah rumah sakit milik keluarga Gibran tempat dimana ibunya dirawat. Wajah Gibran terlihat sedikit pucat.

"Mau apa lagi kalau bukan untuk memeriksakan keadaanmu? Aku terus saja kepikiran dengan kepalamu yang terbentur kursi kayu itu." kata Andini menunjukan ke khawatirannya. Gibran sontak menatapnya bingung.

"Kau mengkhawatirkanku?" tanya Gibran seolah ingin mengkonfirmasi bahwa yang didengarnya barusan tidak salah.

"Hmmm, begitulah, biar bagaimanapun kau terluka karena mencoba melindungiku." Andini tampak tidak nyaman.

"Kalau kau khawatir setidaknya kau datang melihatku di UKS." sahut Gibran tiba-tiba.

"Ahh itu, aku tadi datang. Tapi ku pikir kau sedang bersama pacarmu jadi aku mengurungkan niatku untuk masuk melihatmu, takut mengganggu." jawab Andini dengan polosnya.

"Apa? Pacar?" Gibran baru teringat bahwa selama di UKS Lisya juga ada disana.

"Pasti yang di lihatnya itu Lisya." batin Gibran.

"Dengarkan aku baik-baik, Pertama, aku tidak punya pacar! Kedua, aku baik-baik saja jadi tidak perlu ke rumah sakit." jelas Gibran menolak rencana Andini, tapi bukan Andini jika dirinya tidak keras kepala. Andini tetap memaksa Gibran untuk masuk ke dalam.

"Ayo cepat! atau kau mau ku seret?" Andini menarik tangan Gibran dengan kuat, membuat Gibran terlonjak kaget. Wanita di hadapannya ini berani menyentuh tubuhnya.

"Lepas! Singkirkan tanganmu dari lenganku! Aku bisa jalan sendiri." bentak Gibran, wajahnya seketika terasa memanas. Dengan cepat ia berjalan meninggalkan Andini, Andini memandangnya dengan heran.

"Kenapa reaksinya berlebihan seperti itu sih!" gumam Andini. Ia lalu mengikuti Gibran masuk ke dalam rumah sakit. Di dalam Andini langsung meminta para perawat untuk memeriksa keadaan Gibran.

"Tadi kepala anak ini terbentuk kursi dengan keras. Aku khawatir jangan sampai dia geger otak." ucap Andini pada salah satu perawat.

"Hey! Aku baik-baik saja tau." protes Gibran karena mendengar Andini yang menjelaskan dengan sangat berlebihan.

"Kami akan coba memeriksanya terlebih dahulu yah bu." kata perawat tersebut.

Mereka lalu mulai menanyakan keluhan yang dirasakan oleh Gibran, Gibran yang masih sedikit pusing dengan kepala belakang yang masih berdenyut nyeri mulai menjelaskan kondisinya. Para perawat kemudian berniat untuk memeriksa lebih lanjut, menjaga jika ada cedera di dalam.

"Aku baik-baik saja, pusing dan nyeri ini akan hilang besok." Gibran mencoba menolak pemeriksaan tersebut.

"Sssstttt.. ikuti saja apa kata mereka." tegur Andini, Gibran menghela napas berat.

"Terserah kau saja." Gibran sontak berbaring di ranjang UGD dengan pasrah, kepalanya memang masih sedikit pusing dan nyeri, tapi dia cukup kuat untuk bisa menahannya. Namun entah mengapa ia justru menurut saja ketika Andini membawanya ke rumah sakit.

Setelah menunggu cukup lama para perawat itu datang dengan seorang pria berjas dokter, wajah tampannya terpancar dengan nyata. Ia tersenyum ke arah Gibran.

"Dimana wali pasien ini?" tanya pria itu, Gibran sontak menunjuk ke arah wanita yang berdiri membelakangi mereka. Andini tengah mengangkat telepon dari ibunya.

"Iya bu, aku baru saja pulang dari sekolah. Iya aku akan makan dengan baik disini." kata Andini pelan.

"Heh guru baru! Bisakah kau kesini?" teriak Gibran mencoba memanggil Andini, Andini yang menyadari suara itu adalah suara Gibran segera mengakhiri panggilannya. Ia berbalik dan hendak menghampiri Gibran. Namun baru beberapa langkah, kaki Andini sontak terhenti. Ia berdiri mematung dengan raut wajah datar. Jantungnya seketika berdegub tidak karuan, perlahan raut datar itu berubah menjadi raut ketidaknyamanan. Ia bahkan seolah ingin mengurungkan niatnya berjalan mendekat ke arah Gibran.

"Ohh, Andini?" ucap dokter tampan itu dengan raut wajah yang sama kagetnya, namun dibalik rasa kagetnya ada senyum kecil yang terukir disana. Tatapannya yang semula serasa tidak percaya kini berganti dengan tatapan teduh dan penuh syukur.

Andini dengan cepat membalikkan badannya, ia berlari sekuat tenaga untuk menghindari tatapan itu. Senyuman kecil dan tatapan itu seolah muncul dalam ingatan.

"Andi.." dokter tampan itu hendak memanggil dan mengejar Andini, tapi Gibran sudah lebih dulu berlari dan mengejar Andini.

"Hey Ibu Pelakor, mau kemana kau?" teriak Gibran kebingungan. Dokter tampan itu menatap Gibran dengan heran.

"Guru pelakor?" gumamnya pelan.

Gibran berlari mengejar Andini hingga ke luar rumah sakit, tapi Gibran hanya menangkap bayangan Andini yang melajukan motornya pergi meninggalkan rumah sakit.

"Apa dia meninggalkanku sekarang? Dasar wanita itu." ujar Gibran Geram. Ia mengepalkan tangannya keras seolah menahan emosinya.

Andini melajukan motornya, ia seolah kehilangan kesadaran atas dirinya sendiri. Ia bahkan melajukan motornya dengan pikiran yang kosong, sampai tiba-tiba sebuah mobil berhenti mendadak didepannya. Ia mengerem motornya dengan kuat, membuat motornya sontak kehilangan keseimbangannya.

Bbraaakkk..

Motor Andini oleng dan jatuh, Andini ikut terguling dengan motornya. Untung saja tubuh Andini tidak sampai terlempar jauh. Ia terbaring diatas aspal yang panas, kepalanya terasa pusing. Dalam penglihatannya orang-orang mulai ramai berlari ke arahnya, sementara telinganya berdengung membuatnya tidak bisa mendengar apapun. Di tengah pandangannya yang kabur bayangan senyuman dokter tampan itu kembali muncul.

"Kenapa dia ada disana?" gumam Andini pelan, sebelum semuanya terlihat gelap seutuhnya.

avataravatar
Next chapter