8 8. Sebuah Insiden

Daren sontak berbalik mendengar suara yang tidak asing ditelinganya, suara itu adalah suara yang sangat di bencinya. Ia bahkan langsung ingin menghajar hanya dengan mendengar suaranya yang lantang. Daren tersenyum miring, ia seolah ingin mengejek Gibran.

"Kau sudah gila yah? Ngajak ribut haa!" Suara Daren menggema di seluruh kantin. Andini terlihat begitu syok, bagaimana bisa dua orang siswanya berkelahi tepat didepan matanya. Gibran berjalan maju dan langsung menarik kerah baju Daren.

"Kau tidak tau akibatnya kalau berani menyentuh mainanku?" Gibran berbicara dengan setengah berbisik, ia bahkan mendekatkan mulutnya ke telinga Daren. Daren tertawa keras, dugaannya sepertinya benar kalau Gibran memiliki ketertarikan sendiri kepada guru baru ini. Daren memegang tangan Gibran dan meremasnya dengan kuat.

"Mainanmu itu berarti mainanku juga." bisiknya dengan senyum puas. Wajah Gibran memerah, ia tau betul kalau Daren akan selalu mengusik semua yang berhubungan dengan Gibran. Gibran biasanya akan membiarkannya, tapi kali ini Gibran tidak tinggal diam. Gibran sontak memukul wajah tampan Daren, Daren terhuyung membuat kursi di belakangnya semakin berantakan.

Gibran yang masih emosi karena ayahnya pagi tadi, secara tidak sadar melampiaskan amarahnya kepada Daren, ia terus menghajar Daren. Daren yang tidak mau kalah bergantian memukul Gibran saat lengah

"Gibran! Daren! Berhenti kalian." Teriak Andini yang kini mulai lebih bisa mengontrol rasa terkejutnya, ia mencoba melerai keduanya. Wajah Gibran terlihat memar dan berdarah, sama halnya dengan wajah Daren. Tapi seolah mengabaikan ucapan Andini, mereka terus saja saling pukul, dengan berani Andini menarik tubuh Gibran, hingga Gibran mundur beberapa langkah. Gibran yang lengah membuat Daren memanfaatkan kesempatan itu, ia hendak melempar kursi kayu tepat kearah Andini yang berdiri disebelah Gibran.

"Jangan ikut campur guru sialan!" teriak Daren.

Andini sontak panik namun ia seolah berdiri mematung, ia bahkan hanya bisa memejamkan matanya pasrah.

Braaakkk..

Terdengar suara benturan keras, tapi Andini tidak merasakan apapun ditubuhnya. Hanya hawa hangat yang terasa di kulit wajahnya. Saat ia membuka mata, Gibran sudah berdiri tepat di hadapannya, jarak mereka terlihat begitu sangat dekat. Tampak Gibran menyeringai menahan Sakit. Beberapa saat kemudian Gibran limbung tepat ke arah Andini.

Rupanya Gibran menghalangi kursi kayu itu mengenai tubuh Andini, kursi itu justru membentur bagian belakang kepala Gibran dengan keras. Membuat Gibran mengerang kesakitan, kepalanya terasa pusing sesaat setelah kursi itu menghantam kepalanya.

Beberapa siswa mulai berdatangan mendengar keributan itu, tidak berapa lama Gracia datang dan mulai menunjukan wajahnya yang penuh amarah

"Daren!" Teriak Gracia dengan penuh amarah, ia bahkan langsung menarik kerah baju Daren dengan kasar.

"Selalu saja membuat keributan!" ucapnya dengan sorot matanya yang tajam.

Andini terlihat panik saat Gibran jatuh ke arahnya, dengan sekuat tenaga ia mencoba menahan tubuh Gibran yang tinggi itu.

"Ya Tuhan Gibran, bangun Gibran." pekik Andini. Gracia menatap ke arah Gibran dan Andini. Lagi-lagi guru baru ini ada disituasi penuh kekacauan.

Melihat beberapa siswa mulai berdatangan untuk melihat kejadian ini, Gracia dengan cepat menyuruh beberapa guru pria membawa Gibran ke UKS, tak lupa Andini mengikuti kemana Gibran dibawa. Andini seolah tidak peduli dengan kehadiran kepala sekolah disana.

"Kamu! Ikut keruangan saya!" teriak Gracia ke arah Andini, Andini terkejut dan baru menyadari keberadaan kepala sekolah. Ia menatap penuh khawatir ke arah Gibran yang di bopong menuju ke UKS, sementara Andini kini hanya bisa mengikuti perintah kepala sekolah untuk ikut keruangannya bersama dengan Daren.

"Bu Andini, coba jelaskan apa yang terjadi?" kali ini Gracia mencoba untuk lebih hati-hati menghadapi Andini, ia tidak ingin salah bersikap seperti pagi tadi.

"Guru ini yang salah bu, lalu Gibran ikut merundung saya." teriak Daren memberi penjelasan.

Braakkkk!!

Gracia memukul meja dengan keras, membuat Daren diam seketika.

"Saya bertanya kepada bu Andini, bukan kepadamu Daren!" Gracia menatap tajam ke arah Daren, Daren sontak diam.

Andini pelan-pelan mulai menceritakan semuanya, kali ini ia mencoba membela Gibran. Karena memang Darenlah yang memulai semuanya. Setelah Andini selesai, Gracia mengalihkan pandangannya ke arah Daren.

"Ini sudah kesekian kalinya kau membuat keributan di sekolah ini Daren! Kalau bukan karena ayahmu, sudah cukup lama saya sudah mengeluarkan mu." ucap Gracia dengan wajah penuh amarah, sementara Daren terlihat tidak senang saat mendengar kepala sekolah menyebut ayahnya.

"Aku akan memanggil ayahmu untuk datang, dan mulai besok kau di scorsing selama 3 hari." kata Gracia dan berpaling dari Daren.

"Apa? Hanya scorsing? Dia bahkan sudah melempar kursi ke arah Gibran bu." protes Andini. Mendengar suara Andini, Gracia sontak menghentikan langkahnya.

"Bu Andini, urusan hukuman adalah urusan saya. Apa perlu saya juga menghukum anda dan juga Gibran?" tanya Gracia dengan nada sinis. Andini tertegun, ia bahkan berani memprotes hukuman yang diberikan oleh kepala sekolah. Andini menggeleng kepala pelan.

"Kalian boleh keluar sekarang." perintah Gracia kemudian.

Andini berbalik hendak keluar dari ruang kepala sekolah, saat dilihatnya Daren yang menatapnya dengan sinis dan penuh kebencian. Andini menghela napas berat.

"Kenapa semua orang menatap penuh kebencian ke arahku?" batin Andini frustasi.

Andini lalu dengan cepat berlari menuju ke ruang UKS, terlihat Gibran yang terbaring lemas disana. Tampak seorang siswi perempuan berdiri disampingnya. Andini tidak bisa melihat jelas wajah dari siswa tersebut.

"Apa itu pacarnya?" batin Andini menebak-nebak, ia lalu mengurungkan niatnya untuk melihat Gibran.

"Sudahlah, sepertinya dia baik-baik saja. Dan lagi ada orang yang sudah mengurusnya." gumam Andini pelan, ia hanya berdiri melihat dari balik jendela UKS sebelum akhirnya pergi berlalu.

Gibran membuka matanya pelan, saat dirasakannya kepalanya terasa berat dan nyeri. Ia bahkan kesulitan untuk bangun.

"Gibran, kamu tidak papa?" tanya Lisya panik, dia benar-benar khawatir dengan kondisi Gibran. Lisya langsung memegang tangan Gibran dengan lembut.

"Minggir." Gibran dengan kasar menepis tangan Lisya.

"Kamu kok kasar gitu sih." kata Lisya dengan suara yang dibuat semanja mungkin.

"Sedang apa kau disini? Pergi sana." Gibran mengusir Lisya.

"Gibran, aku ingin merawat mu disini." kata Lisya pelan.

"Tidak perlu, kau hanya membuat kepalaku semakin sakit saja. Pergi sana!" bentak Gibran dengan kasar, ia bahkan langsung menutup wajahnya dengan sebelah lengannya.

"Tidak, aku tidak akan pergi." Lisya berkeras dengan pendiriannya.

Gibran kemudia mengangkat lengannya, ditatapnya Lisya dengan tajam.

"Kalau begitu kau saja yang disini, biar aku yang pergi."

Gibran mencoba untuk bangun meski dengan kepala yang masih pusing, tapi Gibran seolah enggan hanya berdua di UKS dengan Lisya. Lisya yang panik karena Gibran mencoba untuk pergi langsung mencegahnya.

"Oke, oke.. Aku yang pergi." kata Lisya dengan wajah cemberut, ia berlalu pergi dengan wajah kesal. Sementara Gibran terlihat menghela napas lega.

Gibran kemudian menatap ke arah pintu UKS, ia seolah menunggu seseorang untuk datang menemuinya. Tapi setelah menunggu cukup lama, tidak ada siapapun yang datang. Gibran sampai lelah dan mengantuk. Saat kemudian pintu terbuka, Gibran dengan cepat melihat ke arah pintu, tapi ternyata yang datang hanya guru piket UKS. Ia terlihat sedikit takut dengan Gibran.

"Apa kau bisa pulang sendiri? Atau aku perlu menelfon sopirmu?" tanya guru tersebut.

"Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri."

Gibran mencoba untuk bangkit, kepalanya masih terasa pusing. Ia lalu berlalu hendak mengambil tasnya saat kemudian Miko datang membawakan tasnya.

"Biar aku antar kau pulang." kata Miko.

"Tidak perlu, memang aku anak kecil yang harus di antar-antar?" Gibran terlihat kesal, sebenarnya ia bukan kesal kepada Miko, tapi ia kesal dengan seseorang.

"Bisa-bisanya dia tidak datang melihat keadaanku? Padahal aku sudah melindunginya dari lemparan kursi." batin Gibran kesal.

"Mana bisa kau bawa mobil dengan kondisi seperti ini." ucap Miko, ia terus mengikuti Gibran yang berjalan dengan pelan.

"Aku baik-baik saja, kau boleh pergi Miko." perintah Gibran.

"Tidak, tidak. Aku akan tetap mengantarmu." Miko terus saja berkeras.

Saat tiba-tiba langkah Gibran terhenti, ia melihat Andini yang berdiri di gerbang dengan wajah gusar. Ia terlihat berdiri dengan gelisah. Saat Andini berbalik, ia menangkap bayangan Gibran yang berdiri beberapa meter darinya. Mereka saling bertatapan.

"Pokoknya aku akan mengantarmu.." kata Miko yang ikut menghentikan langkahnya.

"Tidak perlu Miko, kau tidak perlu mengantarku."

"Kenapa? Kalau sampai kau kenapa-kenapa dijalan..."

"Aku akan pulang dengan dia." kata Gibran sembari menunjuk ke arah Andini.

"Apa? Siapa?" tanya Miko kaget, ia baru melihat Andini saat Gibran menunjuknya. Andini hanya menatap Gibran, ia tidak bisa mendengar apa yang diucapkan Gibran pada Miko karena jaraknya yang cukup jauh. Perasaan Andini berubah tidak tenang, saat melihat Gibran menunjuk ke arahnya.

"Bu Andini?" tanya Miko seolah tidak percaya.

"Iya." jawab Gibran dan langsung berjalan menuju ke arah Andini. Andini terlihat kaget saat Gibran berjalan ke arahnya.

"Ya ampun, seharusnya aku tidak berpikir untuk menemuinya." gumam Andini panik. Kini ia bahkan tidak bisa lari dari tempatnya berdiri saat ini, saat kemudian Gibran berjalan semakin dekat ke arahnya. Saat Gibran berhenti tepat dihadapannya, Andini tanpa sadar mengangkat tangannya untuk menyapa Gibran.

"Bagaimana keadaaan..." belum sempat Andini melanjutkan ucapannya, Gibran sudah memotongnya terlebih dahulu.

"Ayo kita pulang." kata Gibran pelan.

"Oke ayok.." Andini tanpa sadar merespon ajakan Gibran.

"Ehh, apa? Pulang?" Andini baru sadar saat Gibran menarik tangannya.

"Kenapa kau menariku? Kau mau pulang? Yah pulang saja." teriak Andini panik, ia mencoba melepas genggaman tangan Gibran di pergelangan tangannya. Beberapa siswa mulai menatap heran ke arah mereka, begitu pula dengan Miko yang seolah tercengang melihat pemandangan di hadapannya tersebut.

"Kau tau bawa mobil bukan? Kau yang bawa." kata Gibran sembari meletakan kunci mobil kedalam genggaman Andini.

"Apa? Apa maksudnya ini?" Andini semakin kebingungan. Sampai akhirnya mereka berhenti didepan mobil sport milik Gibran barulah Gibran melepaskan genggamannya yang begitu kuat.

"Kau harus mengantarku pulang, aku bahkan masih pusing dan tidak bisa membawa mobilku pulang." kata Gibran dengan tatapan dinginnya. Andini terlihat syok mendengarnya. Ia seperti lemas seketika mendengar ucapan Gibran.

"Tapi aku.."

"Cepatlah, kau mau aku pingsan disini!" bentak Gibran yang menunggu Andini membuka pintu mobilnya. Andini tertegun, ia merasa benar-benar sial hari ini.

avataravatar
Next chapter