7 7. Kemarahan Gibran!

Gibran membanting tasnya dengan keras di meja kantin sekolah, untungnya saat itu masih jam pelajaran, sehingga kantin masih sepi dan tidak banyak yang memperhatikannya.

"Sial! Kenapa ayah selalu terlibat dengan semua wanita? Sementara ibu..." Gibran mengepal tangannya kuat, seolah menahan segala emosi yang siap meledak setiap kali mengingat kondisi ibunya.

"Woyyy, bolos lagi?" Tiba-tiba sebuah suara mengagetkan Gibran.

"Sial, kau sendiri juga bolos." semprot Gibran pada Miko yang baru saja muncul. Miko duduk dihadapan Gibran.

"Kenapa mukamu kusut begitu?"

"Bukan apa-apa." Gibran enggan menceritakan hal itu kepada Miko, meski Miko adalah satu-satunya teman yang dimilikinya disekolah.

"Ohh iya, tadi aku sepertinya lihat om Vino didepan. Tapi dia seperti sedang berbicara dengan guru baru itu. Apa bu Andini itu kenalan ayahmu?" tanya Miko dengan wajah polos.

"Nggak tau!" Jawab Gibran ketus.

"Galak bener ihhh."

Miko menatap Gibran dengan tatapan penuh selidik, ia seperti curiga jika Andini punya hubungan antara Gibran dan ayahnya. Jika tidak, mana mungkin seorang guru biasa dan masih merupakan guru baru disini bisa berbicara dekat dengan ayah Gibran yang merupakan pemilik sekolah ini, ditambah beberapa waktu lalu Miko mendapati Andini dan Gibran berjalan bersamaan menuju ke kelas. Itu kali pertama saat Andini mengajar dikelas Gibran.

"Jadi gimana?" tanya Miko tiba-tiba.

"Apanya?"

"Tawaranku kemarin, mamiku berniat meminta jam tambahan khusus untuk pelajaran Matematika dan Fisika, tapi aku tidak mau jika hanya sendiri. Aku kan sudah mengajakmu kemarin, katamu akan kau pertimbangkan." jelas Miko.

"Ahh buat apa? Ikut jam tambahan tidak akan membuat kita jadi pintar di dua mata pelajaran itu." tolak Gibran.

"Yah, benar juga. Tapi setidaknya aku tidak harus mendengar omelan mamiku setiap hari karena nilaiku yang semakin anjlok."

Gibran bangkit dan hendak kembali ke kelas, sepertinya pelajaran pertama akan segera selesai.

"Tidak, kau saja." tolak Gibran.

"Haahh, Okeh lah. Semoga saja bu Andini tidak menolak untuk jadi guru kelas tambahanku." gumam Miko.

Sontak langkah Gibran terhenti saat mendengar nama Andini, Miko melihat tingkah Gibran. Ia sudah menduga bahwa Gibran memiliki ketertarikan sendiri dengan guru baru itu. Gibran sepertinya tengah mempertimbangkan sesuatu. Ia kemudian berbalik dan langsung mengubah keputusannya.

"Hanya 2 mata pelajaran itu saja?" tanya Gibran.

"3 dengan Kimia." sahut Miko.

"Aahhh kenapa banyak sekali!" Gerutu Gibran.

"Memang kenapa?"

"Tidak bisakah aku ikut kelas tambahan untuk matematika saja?" tanya Gibran.

"Tidak! Harus 3." tandas Miko. Ia sepertinya berhasil memancing sahabatnya ini untuk ikut terjerumus dalam pelajaran yang sama-sama mereka benci.

"Jadi kau mau ikut tidak? Jika tidak mau yah sudah." Kata Miko hendak beranjak pergi, Gibran yang masih kebingungan akhirnya dengan cepat menjawab.

"Okeh aku ikut." jawabnya dengan penuh keyakinan. Miko tersenyum puas.

"Oke, biar nanti mamiku yang akan menghubungi bu Gracia." jelas Miko.

Gibran terdiam, ia mulai berpikir apakah keputusannya adalah keputusan yang tepat? Namun ia butuh banyak waktu untuk memberikan pelajaran kepada Andini. Ia berniat untuk membuat Andini tersiksa.

"Aku akan buat wanita itu menyesal karena sudah berani berbohong kepadaku!" batin Gibran.

***

Vino melangkah mundur untuk memberi jarak dengan Andini, wajahnya memerah panas ketika Andini menatapnya dengan sorot mata tajam.

"Kenapa anda kembali?" pertanyaan Andini seolah membuatnya bingung harus menjawab apa.

"Maaf Andini, aku harus mengejar anak nakal itu. Nanti aku akan bicara lagi denganmu." jawab Vino dan sekali lagi ingin mengejar Gibran, dia berniat memberi pelajaran kepada Gibran. Tapi tentu saja Andini tidak membiarkan hal itu, dia tidak ingin Gibran semakin salah paham jika Vino memarahi Gibran hanya demi membelanya.

"Tidak akan saya biarkan lewat." jawab Andini dengan berani.

"Kenapa? Dia sudah bersikap kasar kepadamu? Anak itu harus aku beri pelajaran." wajah Vino mengeras, tergambar betapa kesalnya Vino pada anaknya tersebut.

"Saya tidak merasa di kasari, lagi pula yang berhak marah atas sikap kasarnya itu yah saya, bukan tuan. Saya yang akan memberikan dia pelajaran jika perlu, karena saya adalah gurunya." jelas Andini.

Vino tertegun, ia tidak habis pikir Andini membela Gibran dan mencegahnya untuk mengejar Gibran. Jika tidak di cegah mungkin Vino sudah memarahi Gibran bahkan mungkin menampar wajah anak kurang ajar seperti Gibran.

"Ahh baiklah." jawab Vino menyerah.

Andini kemudian menangkap benda yang digenggam oleh Vino. Ia seperti mengenali benda itu.

"Ohh itu." Andini menunjuk ke arah ponsel miliknya yang kini ada di genggaman Vino.

"Ahh ini, ponselmu tertinggal di mobil."

Vino menyerahkan ponsel itu kepada Andini, dengan cepat Andini meraih ponsel itu.

"Terimakasih tuan. Kalau begitu saya permisi." kata Andini dengan wajah datar.

"Andini." panggil Vino.

"Iya tuan." Andini menghentikan langkahnya dan berbalik.

Vino tiba-tiba lupa dengan apa yang akan dikatakannya selanjutnya. Ia jadi seperti orang bingung.

"Bukan apa-apa, kau boleh pergi." kata Vino mengurungkan ucapannya. Andini mengangguk dan berlalu pergi.

Lagi-lagi Vino menatap punggung Andini yang berjalan menjauhinya, wanita itu membuat Vino sedikit terkesima, tidak pernah ada wanita yang bersikap dingin kepadanya apalagi setelah tau siapa dirinya. Beberapa wanita bahkan dengan genitnya mencoba mendekatinya meski mengetahui Vino sudah beristri. Tapi saat bersama Kiran, Vino sengaja berbohong karena Kiran menyukai pria yang single. Vino hanya tersenyum saat bayangan Andini menghilang dari pandangannya.

Andini baru saja masuk kedalam ruang guru untuk bersiap masuk mengajar jam pelajaran kedua, ia tidak akan bisa punya cukup waktu untuk mengejar Keterlambatannya di jam pertama. Ia mulai terbiasa dengan tatapan kurang bersahabat dari para guru disini, Andini yang memang bersifat cuek jelas tidak akan peduli dengan semua tatapan menusuk itu. Yang ia pedulikan hanya bekerja dan mendapatkan uang.

Ia menghela napas dalam, saat kembali mengingat tatapan Gibran, tatapan kebencian itu seolah mampu membuat Andini bergidik ngeri.

"Sebenci apa dia sama ayahnya?" batin Andini penasaran.

Andini mengajar dengan cukup tenang hari ini, tidak ada keributan lain yang terjadi. Rasanya dia sangat bersyukur jika setiap hari tanpa ada keributan seperti ini. Untungnya hari ini Andini hanya masuk di tiga kelas saja, jadi ia punya waktu yang cukup longgar untuk beristirahat.

Kkrruuukkkkk..

"Ya ampun, aku sampai lupa belum makan sejak tadi pagi." gumam Andini, ia baru sadar saat mendengar bunyi perutnya yang keroncongan. Dengan cepat ia berjalan menuju kantin, suasana kantin dijam ini memang sudah cukup sepi, dengan cepat ia memesan semangkuk bakso dan segelas es jeruk.

Saat pesanannya tiba, Andini dengan lahap menikmatinya. Tiba-tiba seorang siswa yang tidak asing mendekatinya.

"Hallo bu." Sapa Daren dengan ramah. Andini mengernyitkan dahinya, ia tidak mengenal siswa ini dengan baik. Tapi ia ingat siswa ini juga ada saat keributan dengan Gibran terjadi pagi tadi. Andini hanya tersenyum, ia tidak berniat meladeni siswa ini.

"Boleh saya duduk disini?" tanya Daren seraya menunjuk ke arah kursi kosong didepan Andini.

"Bukankah ini masih jam pelajaran? Kenapa siswa berkeliaran di jam begini?" tanya Andini dengan tatapan dingin. Daren yang baru akan duduk sontak terhenti, ia tersenyum kecut.

"Ahhh tadi saya mau beli minuman bu, tapi karena lihat ibu jadi saya duduk sebentar saja. Boleh kan?" tanya Daren dengan wajah memohon.

"Tidak! Belilah minumanmu dan kembali ke kelas. Kau pasti hanya izin ke toilete kan? Tidak mungkin kau diizinkan keluar jika mengatakan akan ke kantin di jam pelajaran." jelas Andini.

Daren tertegun, guru ini ternyata sulit didekati. Padahal ia sempat berpikir jika Andini bisa menjadi senjatanya untuk menghancurkan Gibran, karena hanya Andini yang berani dan tidak terdoktrin dengan posisi Gibran sebagai anak pemilik sekolah.

"Dasar guru ini." gerutu Daren dalam hati.

"Kembalilah kekelasmu, atau saya akan melaporkan tindakanmu ini ke guru yang mengajar dikelasmu saat ini." ancam Andini.

"Hahahahah.." Daren tertawa keras, sikap ramah dan sopannya sontak hilang. Andini mengernyitkan dahinya, melihat Daren tertawa tidak jelas alasannya.

"Kenapa kau tertawa?"

"Memang ibu siapa bisa menyuruhku seenak jidat?" tanya Daren dengan kalimat yang tidak sopan.

"Kau? Kenapa bicara tidak sopan seperti itu?" Andini terlihat geram.

"Kau hanya guru baru tapi sudah berani menyuruh dan mengancamku? Ohh aku lupa kau bahkan tidak takut pada Gibran." celotehnya. Para pemilik kedai kantin sontak menatap ke arah mereka berdua, namun mereka tidak berani melerai karena mengetahui Daren adalah salah satu anak yang nakal disekolah ini. Jika Daren marah, dia bisa saja menghambur dagangan milik mereka seperti yang pernah terjadi saat ia berkelahi dengan Gibran.

"Memangnya kenapa jika saya guru baru disini? Apa itu artinya saya tidak bisa mendisiplinkan siswa yang kurangajar sepertimu?" tanya Andini dengan berani, moodnya seketika rusak, ia bahkan belum menghabiskan separuh bakso yang dipesannya. Mata Daren membesar mendengar Andini menyebutnya siswa kurangajar.

"Apa katamu?" Daren terlihat marah, ia bahkan dengan berani menyapu makanan Andini di atas meja. Makanan dan minuman Andini berserakan dilantai. Andini tercengang, ia tidak menyangka ada begitu banyak siswa kurangajar di sekolah ini.

"Kau!" Andini terlihat begitu marah, ia bahkan tidak punya urusan apa-apa dengan siswa ini tapi dia dengan berani menganggu Andini.

"Apa? Kau ingin memukulku? Coba saja jika kau berani? Aku akan langsung melaporkanmu ke Komite perlindungan siswa." Daren mengancam Andini, kepala Andini terasa pusing. Rasanya hidupnya tidak bisa setenang saat masih di sekolah yang lama.

Ditengah keributan itu tiba-tiba seseorang menendang Daren dari arah belakang hingga ia tersungkur di atas meja kantin. Daren tampak mengerang kesakitan, sementara Andini begitu terkejut. Ia refleks menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya.

"Aahhh siaalll." suara Daren terdengar mengumpat, saat akan berbalik lagi-lagi dia ditendang dan kembali tersungkur di atas meja.

"Apa kau sudah bosan hidup?" tanya Gibran dengan tatapan penuh amarah.

avataravatar
Next chapter