6 6. Penjelasan Yang Terlambat

Vino terlihat begitu tenang, sementara Andini sedikit gelisah dan tidak nyaman. Meskipun wajah Vino terlihat tampan, tapi mengetahui fakta bahwa pria ini adalah orang yang berselingkuh dengan sahabatnya, menipu sahabatnya dengan status palsu yang ia miliki, serta berani menelantarkan anak istrinya membuat Andini bergidik ngeri.

Vino sengaja mengajak Andini berbicara didalam mobil, tapi sebelum itu ia menyuruh mang ipin untuk memarkir mobil ditempat yang cukup jauh dari sekolah, hal ini untuk menghindari adanya orang yang mungkin mengenali mobil Vino dan kemudian menimbulkan gosip yang merugikan untuknya dan juga Andini.

"Mang Ipin boleh tunggu diluar dulu." perintahnya dengan suara yang sopan, ia bersikap sangat lembut didepan Andini. Setelah mang Ipin keluar dan menjauh dari mobil, barulah Vino bisa berbicara dengan leluasa.

"Sebelumnya maafkan aku karena terlambat Menemuimu dan menjelaskan semuanya." kalimat itu meluncur dari mulut Vino.

Andini hanya diam, ia ingin mendengar penjelasan dari mulut pria ini. Meskipun sebenarnya Andini merasa penjelasannya tidak begitu penting. Tapi rasa penasaran Andini pada pria ini membuatnya memutuskan untuk mendengarkan penjelasannya.

"Aku merasa bersalah atas apa yang menimpa mu Andini, terutama atas perlakuan kurang sopan anakku kepadamu malam itu." Vino memperlihatkan wajah penuh penyesalan.

"Kurang sopan katanya? Bukankah kau yang lebih tidak sopan, karena sudah berselingkuh dan berbohong pada semua orang!" kecam Andini dalam hati. Namun ia tetap mencoba mendengar ucapan Vino selanjutnya.

"Aku juga terkejut Gibran sampai berani sejauh itu dalam bersikap. Aku juga sudah meminta maaf langsung kepada Kiran, aku sungguh menyesal. Bukan maksudku berbohong padanya tentang statusku yang sesungguhnya. Aku cuma tidak ingin Kiran menjauhi ku karena statusku" ucap Vino jujur.

Andini tersenyum miring, sebuah ekspresi jengah mendengar ucapan pria disampingnya ini. Bisa-bisanya Vino beralasan seperti itu seolah-olah ia hanya merasa bersalah karena sudah berbohong pada Kiran, tapi dia justru tidak merasa bersalah karena sudah berselingkuh dari istrinya.

"Jadi aku pun ingin meminta maaf kepadamu. Sebagai permohonan maafku, aku akan memberikan apapun yang kau inginkan." kata Vino membujuk Andini. Andini menghela napas panjang.

"Saya menerima permintaan maaf tuan dan saya tidak berniat meminta apapun. Saya hanya berharap tidak akan terlibat masalah apapun lagi dengan anda dan juga anak anda." jelas Andini berniat mengakhiri pembicaraan ini.

Vino tertegun, ia melihat sikap dingin Andini yang bahkan tidak bisa di tembusnya. Biasanya setiap wanita akan mudah luluh dengan ketampanan dan juga kekayaan Vino, apalagi jika Vino sudah berjanji akan memberikan apa yang mereka inginkan. Tapi Andini sepertinya sebuah pengecualian.

"Apa kau yakin tidak ingin menerima tawaranku? Kau bisa meminta untuk di angkat menjadi guru tetap disekolah, atau yang lain." kata Vino masih belum menyerah.

"Tidak perlu tuan, jika saya ingin saya akan berusaha dengan kemampuan saya sendiri." Andini dengan tegas menolak, walau ia sempat terkesima mendengar tawaran menjadi guru tetap tapi ia tidak ingin menggadai harga dirinya demi sebuah jabatan.

"Jadi apakah kita bisa kembali kesekolah? Saya harus segera masuk kelas untuk mengajar." pinta Andini, Vino yang sempat diam termenung sontak kaget mendengar ucapan Andini.

"Tentu saja, mang ipin." panggilnya seraya memberi kode kepada mang ipin. Mang ipin segera masuk kedalam mobil dan melajukan mobil itu kembali ke sekolah. Selama di perjalanan, Andini hanya diam. Ia tidak berbicara ataupun memperhatikan keberadaan Vino yang juga duduk Disampingnya.

"Ada apa dengan wanita ini?" batin Vino penuh tanda tanya.

Setibanya didepan sekolah Andini langsung berpamitan, tapi saat akan membuka pintu mobil ia berbalik dan menatap Vino tajam. Vino tiba-tiba merasa sedikit canggung dan panik dengan tatapan itu.

"Aahh. Jika boleh meminta sesuatu, saya hanya ingin meminta agar anda tidak lagi menganggu Kiran. Saya rasa permintaan itu sebanding, dan lagi saya yakin Kiran juga tidak ingin berhubungan lagi dengan anda." pinta Andini, meskipun sedang marah kepada Kiran, tapi Andini masih tetap mengingat sahabatnya tersebut.

"Hmm, baiklah kalau begitu." sahut Vino, ia tidak percaya mendengar permintaan Andini yang justru ia sampaikan untuk kepentingan orang lain .

Saat Andini berjalan menjauh, Vino menatapnya dari kejauhan. Ia melihat Andini yang berlalu hingga bayangannya hilang dibalik pagar sekolah. Vino tersenyum kecil.

"Andini yah? Wanita yang menarik." gumam Vino.

Andini berjalan dengan sedikit tergesa-gesa, ia sudah lambat satu jam dari waktunya untuk mengajar. Disaat tengah terburu-buru itulah sebuah suara menghentikan langkah Andini, suara yang sangat tidak asing lagi baginya.

"Wahhhh, bukankah kau baru saja turun dari mobil ayahku? Apa ini yang dimaksud dengan salah paham?" Gibran terlihat berdiri di hadapan Andini, tatapannya menyorot tajam tepat ke arah mata Andini.

"Ya ampun." Andini menghela napas, seolah moodnya yang sudah buruk sejak pagi tadi akan semakin buruk karena lagi-lagi harus berurusan dengan Gibran.

"Bukankah kau harusnya ada di kelasmu?" tanya Andini tidak mau kalah.

"Bukankah kau juga harusnya ada didalam kelas mengajar?" ganti Gibran bertanya kepada Andini.

Andini benar-benar tidak ingin meladeni Gibran kali ini, ia mencoba mengabaikan Gibran dan hendak melanjutkan langkahnya. Tapi Gibran tentu saja tidak akan membiarkannya pergi begitu saja. Ia menghalangi langkah Andini untuk pergi.

"Gibran!" bentak Andini marah.

"Apa? Aku bertanya padamu. Apa kau baru saja turun dari mobil ayahku?" tanya Gibran, ia menunggu jawaban dari Andini.

"Kalau iya memang kenapa?" jawab Andini dengan berani, rasa kesal membuatnya berani menjawab pertanyaan Gibran dengan jujur.

"Jadi kau mengakuinya sekarang? Kalau kau adalah pelakor? Wanita penggoda?" Rahang Gibran mengeras, Andini bisa melihat kemarahan di mata Gibran.

"Bukankah sudah ku bilang kalau aku bukan pelakor seperti yang kau tuduhkan?"

"Berhenti berpura-pura polos seperti itu!" bentak Gibran marah.

"Terserah kau saja." Andini yang mulai lelah berdebat, berniat untuk meninggalkan Gibran. Namun Gibran lagi-lagi menahannya, ia menarik tangan Andini dengan kasar.

"Aaahhh." teriak Andini kesakitan.

"Apa yang kau lakukan Gibran?"

"Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk menjauhinya? Aku akan membayarmu berapapun asal kau menjauh dari pria itu!" suara Gibran terdengar lirih namun penuh penekanan. Seolah ia berbicara dengan emosi yang tertahan.

"Sudah ku bilang..."

"Gibran!" Sebuah suara menghentikan ucapan Andini, terlihat Vino yang berdiri melihat sikap kasar Gibran.

"Sepertinya kalian punya ikatan batin yang kuat. Lihat, malaikat penyelamatmu sudah datang." ucap Gibran, dari matanya tergambar kebencian yang amat mendalam. Andini tidak pernah melihat tatapan penuh kebencian seperti itu sebelumnya.

Dengan cepat Gibran melepaskan tangan Andini, Ia bersiap untuk pergi meninggalkan Andini dan Vino. Namun sebelum pergi Gibran sempat menyeringai dan menatap sinis ke arah Vino.

"Gibran! Mau kemana kau?" teriak Vino penuh amarah, dia berniat mengejar Gibran tapi Andini dengan sigap berdiri menghadangnya. Vino jelas terkejut melihat Andini berani berdiri menghadang langkahnya seolah ia lupa akan status Vino sebagai pemilik sekolah tempat ia bekerja saat ini.

"Kenapa anda kembali?" tanya Andini, ia sengaja menahan Vino agar Vino tidak bisa mengejar Gibran.

Gibran sempat menoleh dan melihat Andini yang berdiri berhadapan dengan Vino, hatinya sakit kala mengingat ibunya yang terluka dan depresi dirumah sakit. Ia mengepalkan tangannya, pemandangan itu hanya membuat hatinya semakin terluka. Dengan cepat Gibran berlalu pergi meninggalkan Vino dan Andini.

"Tuan Vino, kenapa anda kembali?" Andini mengulang pertanyaannya saat menyadari Vino yang masih terus menatap ke arah Gibran. Vino kini mengalihkan pandangannya ke arah Andini.

Wajah Andini dengan sorot mata yang tajam tampak mempesona, tubuh Andini yang baru disadarinya berada cukup dekat dengan tubuhnya membuat Vino tertegun, ia sontak melangkah mundur untuk memberi jarak. Namun Andini tampak tidak menyadari, ia bersikap biasa saja. Ia murni hanya berniat mencegah Vino mengejar Gibran.

avataravatar
Next chapter