webnovel

Bab 4

    Telepon mengejutkanku hingga terbangun esok paginya. Cahaya redup dan suram masuk melalui tiraiku yang tipis, menandakan waktu masih pagi sekali. Bagaimanapun juga, disekitar sini, cahaya sebanyak itu bisa menandakan jam berapa pun dari matahari terbit sampai tengah hari. Setelah dering keempat, aku memutuskan untuk menjawab, tidak sengaja menjatuhkan Aubrey dari tempat tidur. Dia mendarat dengan marah dan pergi untuk menjilati dirinya.

    "Halo?"

    "Yo, Kincaid?"

    "Tidak." Jawabanku cepat dan pasti. "Aku tidak akan masuk."

    "Kau bahkan tidak tahu aku akan menanyakan itu."

    " Tentu saja aku tahu. Tidak ada alasan lain kau meneleponku sepagi ini, dan aku tidak akan melakukannya. Ini hari liburku, Doug."

     Doug, asisten manajer ditempat kerjaku, adalah seorang pria yang baik, tapi dia tidak bisa menjaga wajahnya tetap datar atau suara untuk menyelamatkan hidupnya. Sikap tenangnya mendadak mulai menampakkan keputusasaan.

    " Semua orang sakit hari ini, dan sekarang kami kekurangan orang. Kau harus melakukannya."

    "Yah, aku juga sakit. Percayalah padaku, kau tidak menginginkanku disana."

    Oke, aku benar-benar tidak sakit, tapi aku masih membawa sisa cahaya dari bersama Martin. Manusia mungkin tidak bisa melihatnya seperti Duane, tapi mereka bisa merasakannya dan tertarik padanya, pria dan wanita sama saja, bahkan tanpa mengetahui alasannya. Pengurunganku hati ini akan mencegah perilaku mabuk cinta yang bodoh. Aku sangat baik, sungguh.

    "Pembohong. Kau tidak pernah sakit."

    "Doug, aku sudah berencana akan kembali malam ini untuk acara tanda tangan. Kalau aku juga bekerja seharian, aku akan berada disana sepanjang hari. Itu memuakkan dan sinting."

    "Selamat datang di duniaku, Babe. Kita tidak punya alternatif, tidak kalau kau benar-benar peduli pada nasib toko ini, tidak kalau kau benar-benar peduli pada pelanggan kita dan kebahagiaan mereka...."

    "Aku tidak tertarik, Koboi."

    "Jadi," dia melanjutkan, "pertanyaannya adalah, apa kau akan datang kesini dengan sukarela, atau apakah aku harus datang ke sana dan menyeretmu turun dari tempat tidur?jujur saja, aku tidak keberatan melakukan yang terakhir."

    Aku membayangkan sedang memutar bola mataku, mencaci diriku untuk miliaran kalinya karena tinggal dua blok dari tempat kerja. Ocehannya tentang toko buku yang menderita terbukti efektif, seperti yang sudah dia ketahui. Aku bekerja dengan kepercayaan salah kalau tempat itu tidak mungkin bertahan tanpa diriku.

    "Yah, daripada resiko mendengarkan olok-olok seksualmu yang lucu sepertinya aku harus datang ke sana. Tapi Doug..." Suaraku berubah tegas.

    "Yeah?"

    "Jangan tempatkan aku di meja kasir atau semacamnya."

    Aku mendengar keraguan diujung sana

    "Doug? Aku serius. Bukan meja kasir utama. Aku tidak ingin dikelilingi banyak pelanggan "

    "Baiklah," katanya. "Bukan meja kasir utama."

    "Janji?"

    "Aku janji."

    Setengah jam kemudian, aku melangkah keluar dari pintuku dan berjalan sejauh dua blok ke toko buku. Awan panjang menggantung rendah, membuat langit tampak gelap, dan rasa dingin samar menyentuh udara, memaksa beberapa pejalan kaki lainnya untuk memakai mantel. Aku tidak memakai mantel, memakai celana panjang khaki dan sweet Latifah cokelatku sudah lebih dari cukup.

    Pakaian itu, seperti lip gloss dan eyeliner yang kupakai dengan hati-hati pagi ini, sungguhan; aku tidak mengubah bentukku.

    Aku menikmati kelamin rutinitas memakai kosmetik dan memadupadankan pakaian, meski Hugh pasti akan mengatakan kalau aku berlaku aneh lagi.

    Emerald City Books & Cafe merupakan bangunan yang luas, memenuhi hampir satu blok di lingkungan Queen Anne di Seattle. Gedung dengan dua lantai, sebuah kafe yang mendominasi pojok lantai dua yang menghadap Space Needle. Tenda berwarna hijau terang menggantung diatas pintu utama, melindungi para pelanggan yang menunggu toko dibuka. Aku berjalan memutari mereka dan masuk lewat pintu samping, menggunakan kunci stafku.

    Doug mencegatku sebelum aku sempat masuk dua langkah. "Sudah waktunya. Kita..." Dia terdiam dan memandangku lagi, dengan teliti.

    "Wow kau terlihat...sangat cantik hari ini. Apa kau melakukan sesuatu yang berbeda?"

    Hanya seorang perjaka berusia tiga puluh empat tahun ,pikirku.

    "Kau hanya membayangkan hal itu karena kau begitu senang aku ada disini untuk menyelesaikan masalah pegawaimu. Apa yang kulakukan? Stok?"

    "Aku, er, tidak." Doug berusaha untuk memulihkan diri, masih memandangku dari atas kebawah dengan cara yang membuatku tidak nyaman.

    Ketertarikannya untuk berkencan denganku sudah bukan rahasia, begitu juga dengan penolakanku berulang kali. " Ayo, akan kutunjukkan padamu "

    "Aku sudah bilang padamu..."

    "Ini bukan meja kasir utama," dia berjanji padaku. Yang dimaksud ini ternyata adalah konter espresso kafe dilantai dua toko ini. Pegawai toko buku hampir tidak pernah dipekerjakan disini, tapi bukan berarti itu luar biasa.

    Bruce, manajer kafe, segera berdiri setelah sebelumnya berjongkok dibelakang konter. Aku sering berpikir kalau Doug dan Bruce mungkin saja anak kembar dari ras yang berbeda, semacam kenyataan yang lain. Keduanya memiliki rambut dikuncir kuda yang panjang dan kasar, dan keduanya memakai flanel sebagai pemujaan pada era gruge yang sepertinya tidak bisa disembuhkan. Mereka berbeda dalam hal warna kulit. Doug adalah keturunan Jepang-Amerika, berambut hitam dengan kulit putih; Bruce adalah Tuan Bangsa Arya, rambut pirang dan mata biru.

    "Hei Doug, Georgina," sapa Bruce. Matanya melotot melihatku. "Whoa, kau terlihat menakjubkan hari ini."

    "Doug! Ini sama buruknya. Akh sudah bilang padamu aku tidak menginginkan pelanggan."

    "Kau bilang jangan meja kasir utama. Kau tidak mengatakan apapun soal yang satu ini."

    Aku membuka mulutku dan memprotes, tapi Bruce memotong. "Ayolah, Georgina, Alex izin sakit hari ini, dan Cindy sebenarnya sudah berhenti." Melihat wajahku kaku, dia buru-buru menambahkan, "kasir kami hampir mirip dengan milikmu. Pasti mudah."

    "Selain itu..." Doug meninggikan suaranya meniru suara manager kami, "asisten manajer seharusnya bisa mengisi tempat siapapun disini."

    "Yeah, tapi kafe..."

    "...masih merupakan bagian dari toko. Dengar aku harus membuka toko. Bruce akan mengajarkan apa yang perlu kau ketahui. Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja." Dia terburu-buru pergi sebelum aku bisa menolak lagi.

    "Pengecut!" Aku berteriak padanya.

    "Pasti tidak seburuk itu," Bruce mengulangi, tidak mengerti kecemasanku.

    "Kau hanya menerima uangnya, dan Akau yang membuat espresso. Ayo kita latihan. Kau ingin moka coklat putih?"

    " Yeah," aku mengakui. Semua orang yang bekerja denganku tahu tentang kesukaanku itu. Aku biasanya sanggup minum hingga tiga gelas setiap harinya. Moka bukan rekan kerja.