1 Prolog

Tanpa alas kaki, seorang gadis bertubuh mungil berlari menuju istana membawa seluruh asanya yang perlahan-lahan mulai rubuh. Dia berlari cepat, menabrak apapun yang menghalanginya tanpa terkecuali. "Ayah!" Teriakannya bahkan menggema hingga ke langit yang gelap.

Meski penuh luka, hati dan tubuhnya penuh luka, tapi dia tetap berlari sekencang mungkin hingga sampai ke istana. Berharap dapat menghentikan takdir menyedihkan yang akan meninggalkan luka. Tak peduli meski saat itu orang-orang terus memandanginya, dia tetap bersikeras walau terlihat gila dengan gaun dan penampilan yang sangat berantakan.

"Tunggu, bukankah itu … ."

"Lihat, bukankah dia calon istri Putra Mahkota?"

"Calon istri Putra Mahkota … putri seorang pengkhianat? Bagaimana bisa? Mana boleh seperti itu!"

"Biarkan saja. Putra Mahkota yang hina itu memang pantas bersanding dengan wanita yang hina pula."

Sahut-menyahut para rakyat melempar pandangan dan suara saat melihat kedatangan gadis putus asa yang sedang menangis dalam harap.

Bak lautan manusia, saat itu semua orang telah berkumpul di halaman utama istana guna menyaksikan berlangsungnya hukuman mati yang akan menimpa Tuan Hasan, ayah gadis yang sedari tadi mereka olok-olok.

"Hentikan!" Gadis itu menangis sejadi-jadinya. Tertatih-tatih ia mendekat kepada sang ayah dengan peluh. Berlari ia meraup seluruh petugas, tapi terjatuh terus menerus hingga tepat di dekat sang ayah yang sedang berada dalam pengawasan.

Berusaha keras meringkuk mendekat pada sang ayah yang ikut menangis, tetapi para petugas menyeret paksa gadis itu menjauh. "Ayah!" Meronta-ronta gadis itu ingin segera lepas. "Lepaskan aku! Lepaskan!" bentaknya berkali-kali.

Namun apalah daya, tubuh mungilnya tak akan mungkin mampu melawan betapa gagahnya para pria yang mengawal ketat jalannya eksekusi. Tatapan sang ayah seolah menggambarkan harapannya pada sang putri, untuk menerima perjanjian yang sebelumnya sempat mereka sepakati. Ya, menikah dengan Sang Pewaris Tahta yang sangat dibencinya. Itu sudah menjadi janjinya pada sang ayah.

Deraian air mata terus menerus membasahi tiap pijakan lemah sang gadis yang tidak tahu apa-apa itu. Namun, semua orang tampaknya berpesta di atas penderitannya yang luar biasa. Gadis itu memandangi satu persatu gelak tawa yang menghiasi tiap sudut jiwanya yang menopang takdir tragis. Tak ada satupun dari mereka yang menaruh simpati, atau sekedar menghormati kehadirannya yang sedang bersedih. Pandangan matanya berubah buram lantaran tangisnya tak henti sejak sebulan yang lalu.

Bersorak gembira manusia-manusia keji itu, sesaat setelah seorang algojo masuk ke tempat eksekusi. Seolah mereka tidak sabar untuk melihat kematian sang ayah, mereka malah berteriak untuk segera mempercepat.

Wajah penuh tangis itu tak lagi berekspresi. Dia terus saja menitikkan air mata dengan wajah datarnya. Namun, tiba-tiba tangis itu mereda.

"Berani-beraninya kalian menertawakan Ayahku!!"

Gadis itu berjalan gontai, menarik sebuah pedang dari salah seorang petugas dan menodong para rakyat yang sedang tertawa. Tak lagi dapat dia tahan, dia bahkan memaksa tubuhnya untuk bangkit meski jatuh berkali-kali. Para petugas menahan tubuhnya untuk tidak berbuat sesuatu yang di luar kendali.

"Apa dia sudah gila?"

"Sepertinya dia memang sudah gila seperti ibunya."

"Bahkan, Kakaknya yang masuk penjara akhirnya meninggal."

"Benar-benar keluarga pengkhianat yang malang."

Semua orang semakin menyudutkan gadis malang yang saat itu menyeret tubuhnya memeluk kaki algojo yang hendak mendekat. "Tolong … tolong jangan lakukan itu pada Ayahku. Aku mohon percayalah padaku. Ayahku telah difitnah. Ayah bukan pengkhianat." Gadis itu menggosok-gosokkan kedua tangannya seraya memohon dengan wajah basah penuh air mata. Suaranya terdengar lirih dan parau. Semua petugas saling melempar mata. Sebenarnya beberapa dari mereka juga sangat kasihan, tapi selama ini tak ada kata maaf bagi seorang pengkhianat yang telah divonis mati.

Algojo itu menarik kakinya lepas, hingga gadis itu terjatuh. Tiba-tiba seorang pria menarik tubuh sang gadis untuk beranjak dari tempat eksekusi dengan paksa. "Tenangkan dirimu." Pria itu memeluk sang gadis sembari membawanya beranjak agar tak semakin terluka. Gadis itu terus saja memberontak dengan tubuh lemahnya untuk segera lepas. "Ayah … ."

TOK! TOK!

Suara ketukan dari palu menjadi akhir dari perjuangan gadis malang itu. Semuanya terkubur dan rapuh. Dia terjatuh tak sadarkan diri setelah mendengar sorakan terakhir orang-orang. Pria itu menahan keras tubuh gadis yang malang itu agar tak semakin tumbang ke tanah.

Gadis malang, yang berteriak lirih jauh di dalam hatinya. Gadis malang yang berharap akan sebuah keajaiban, gadis yang tak kenal putus asa. Dia menancapkan sumpahnya kepada langit.

Ayana namanya. Seorang gadis ceria yang dulu hidup sangat bahagia. Dia putri bungsu Tuan Hasan, seorang Sekretaris Negara yang merupakan pejabat paling terkenal dan kaya raya yang memiliki pangkat dan kasta tertinggi. Seorang pejabat yang divonis mati akibat tuduhan pengkhianatan dan bukti yang memberatkannya.

Nyonya Hana, sang ibu merupakan seorang saudagar kaya yang memiliki kios menjahit terkenal. Sementara, Tuan Muda Hajun--sang kakak—adalah pria paling populer di negeri itu. Sangat tampan, sangat pintar, dan sangat karismatik. Bertubuh elok layaknya seorang jenderal dengan wajah luar biasanya, Hajun digilai oleh banyak wanita meski dia sangat dingin dan cuek.

Sebenarnya, Ayana sudah punya kekasih atau lebih tepatnya … pujaan hati yang juga menaruh hati padanya. Yohan, putra Perdana Menteri Nam yang merupakan seorang guru untuk para cendekiawan, adalah pria yang telah lama dicintai oleh Ayana. Pria yang saat itu membawanya pergi dari lokasi eksekusi.

Namun, semua kepopuleran dan kisah singkat itu sirna dalam sehari. Tepat di hari kematian sang ayah, sebuah kabar menyedihkan berturut-turut menyapanya lebih dahulu.

"Nona … ."

Para pelayan bersimpuh di kakinya seraya menangis tersedu-sedu. Ayana yang masih dalam keadaan memprihatinkan dapat membaca keadaan. "Nyonya Hana … Nyonya Hana telah berpulang, Nona." Pecah. Seluruh tangis akhirnya pecah.

Ayana tersudutkan oleh kenyataan. Dia sempoyongan, tetapi berusaha keras untuk tidak terlihat lemah agar cepat sampai ke rumah. Tepat di depan kediamannya, Ayana berdiri tegak di sana. Di bawah hujan deras yang membuat semua orang berhamburan masuk dan berteduh, dia tetap berdiri di sana. Ayana tak lagi mampu melangkah maju mendekati jasad sang ibu yang hendak dikebumikan.

Saat itu, Ayana menengadah ke langit gelap yang ikut menangis bersamanya. Meremuk erat gaun dalam genggaman. Mengumpulkan sedikit demi sedikit puing-puing cinta yang masih tersisa, meski semuanya telah berakhir.

Ayah, ibu, kakak, dan kekasihnya. Dia telah kehilangan mereka semua. Dia telah kehilangan sebagian kisah hidupnya. Dia telah kehilangan semua tawanya. Itulah terakhir kalinya Ayana tertawa. Terakhir kali dia hidup sebagai Ayana yang baik hati, sebelum dia datang bersama dendam terdalam untuk masuk ke istana.

Ayana tetap mematung di bawah hujan, bahkan setelah mendengar derapan langkah pengawal istana dan para pelayan yang mungkin akan segera menjemputnya karena akan segera menikah. Cekatan, Ayana meraih sesuatu masuk ke dalam genggamannya.

***

Setelah beberapa lama, pada akhirnya malam pertama itu akan segera tiba. Laki-laki hina yang telah menghancurkan hidupnya itu akan segera memasuki kamar pengantin mereka. Ayana masih dalam posisinya. Duduk tegap, menjaga posisi agar gaun tipisnya tidak tersingkap. Dia tersenyum saja, tipis tanpa cela. Terlihat anggun dan baik-baik saja di hadapan para pelayan yang bekerja untuknya, atau entahlah ... yang jelas Ayana sangat yakin para pelayan itu adalah orang suruhan yang bekerja untuk memata-matai gerak-geriknya.

"Selamat datang, Yang Mulia Putra Mahkota."

Para pelayan akhirnya memberikan ruang, membukakan pintu untuk Sang Pewaris Tahta yang akan segera melabuhkan hasratnya pada Ayana.

Mendengar sambutan itu, Ayana bergetar. Tangannya terus saja bergerak memutar di dalam sana. Merapat masuk lebih dalam.

"Tunggu saja. Tunggu saja, Suamiku Sayang." Ayana tersenyum tipis dengan air mata, sembari memutar-mutar belati di balik gaunnya.

"Kematian akan segera menjemputmu."

avataravatar
Next chapter