webnovel

Bukan Fuckboy?

"Apa?? Kok bisa malah Om Rangga nyalahin elo sih??" Benar dugaan Jessca. Pas dia telepon Felicia tengah menangis sesunggukan. Teringat dengan ucapan sang Papa yang terus mengatakan tentang kebodohannya, juga menyalahkan Felicia atas apa yang terjadi pada dirinya. Sama sekali Rangga tidak menyalahkan Reyhan atau pun Fiona.

"Bodohnya gue! Harusnya gue nggak kabur dari masalah seperti ini, Jess. Gue terlambat, Fiona lebih dahulu mengadu pada Papa. Sedang gue justru bersembunyi di rumah elo dan nggak pernah kasih kabar, tentu aja dia marah. Gue bodoh, gue lemah, tadi juga gue cuma bisa nangis pas Reyhan melamar Fiona di depan gue." Felicia menangis, napasnya patah-patah karena terisak.

"Elo nggak bodoh, Cia! Wajarlah orang patah hati ingin sendiri dan memulihkan diri. Yang keterlaluan itu emang adik lo! Harusnya dia ngaca! Reyhan juga ... argh!! Dasar bajingan! Gue potong aja burungnya!! Kesel gue dengernya!!" Jessca berapi-api, ia sungguh tak mengerti kenapa Rangga membela Fiona.

Well, mungkin Rangga takut nama baiknya tercoreng karena gagal berbesan dengan keluarga Dirgantara. Mungkin juga ia tak tahan menghadapi renggekan Anjani jadi memilih merestui hubungan keduanya. Atau mungkin juga Rangga kecewa karena Felicia tak mau mendengarkan wejangannya.

Yang pasti semuanya pasti punya pertimbangannya sendiri-sendiri, dan berusaha untuk mendapatkan yang terbaik.

"Gue emang pecundang menyedihkan." Felicia mengasihani dirinya sendiri.

"Pokoknya elo harus berubah, Cia!! Lo nggak boleh jadi pecundang lagi!! Jangan jadi gadis cupu yang dihina sama ibu tiri elo!! Lupakan Reyhan!! Lupain bajingan itu. Buktiin sama dia elo bisa lebih baik dari Fiona!! Itu jalan satu-satunya supaya elo nggak lagi diremehin. Jalan satu-satunya elo balas dendam sama dia." Jessca masih terus berapi-api, sebagai orang yang tahu segalanya tentang Felicia, ia merasa tidak terima.

"Lo bener!! Gue harus berubah!!" Felicia mengusap wajahnya dengan kasar dan menghapus air mata. Tak ada gunanya menangisi pria brengsek yang telah memporak porandakan hatinya dan bahkan mempermalukannya. Felicia kembali tenang dan tak lagi menangis.

"Oh, iya, Cia. Tahu nggak, sebelum tampil tadi gue ketemu siapa?" Jessca mengalihkan pembicaraan.

"Siapa?"

"Kaisar!! Hahaha ...!" tawa Jessca lantang.

"Kaisar?? Ngapian dia cari gue??"

"Kangen kali!! Argh ... sumpah cowok itu ganteng banget. Serius elo nggak suka sama dia?? Wajahnya manis banget, apa lagi saat ..." Jessca menggoda Felicia supaya tidak sedih.

"Saat apa??"

"Saat dia khawatir sama elo!! Ya Tuhan Cia. Kayaknya dia nggak seperti yang elo pikirin deh. Dia itu mental baja banget. Temen-temen gue di club pada rela antri buat tidur sama Kaisar, tak jarang mereka menggoda Kaisar terang-terangan. Tapi dia nggak pernah tuh menanggapi mereka. Berbanding terbalik sama cerita lo yang bilang kalau di itu fackboy!" Jessca menganggung-agungkan sang Kaisar.

"Masa sih?? Orang presdir rumah sakit gue aja cinta mati sama dia." Felicia tak percaya.

"Serius, Cia. Terus pas gue kasih tahu kalau elo balik ke rumah, dia kayak enggak tenang gitu. Mirip cacing kepanasan, bolak balik dia buka ponsel, tapi elo nggak hubungi dia."

"Terus kenapa dia nggak hubungi gue balik?"

"Dia nggak punya nomor elo kales?!!"

"Hla kan bisa nanya sama elo. Bodo ah, gue malas mikirin Kaisar. Gak ada gunanya juga." Felicia menepisnya.

"Yah, kacian donk!" Jessca terkikih, padahal Kaisar ada di samping Jessca tadi. Menguping pembicaraan mereka berdua saat Jessca menanyakan kabar gadis cengengnya. Well, benar, sih, Kaisar yang tak mampu berkutik karena tak tahu apa pun tentang Felicia hanya bisa gelisah seperti cacing kepanasan. Jessca baru berani mengubah arah pembicaraan setelah Kaisar pergi kembali berjaga di pos nya.

Kaisar meminta bantuan Jessca mencari kabar Felicia. Sebagai orang luar yang tak punya hubungan apa pun dengan Felicia ia hanya bisa meminta bantuan dari sahabatnya. Bukan tak mau meminta nomor, tapi Kaisar tak bisa melakukannya karena takut mengganggu Felicia. Atau bahkan mungkin Felicia tak mau mengangkat nomornya. Jadi cara paling jitu untuk mengetahui kabar dari Felicia hanyalah lewat Jessca.

"Well, gue kerja lagi. Elo istirahat ya. Kita bicara lagi besok kalau elo ada waktu. Gue bakalan ambil cuti seharian penuh. See you, My love." Jessca menutup panggilannya. Ia melihat punggung Kaisar dari belakang. Punggung lebar dan tegap. Beberapa orang wanita mengganggunya, tapi ekspresi Kaisar tetaplah datar.

Gerak geriknya juga terlihat tenang setelah mendengar sendiri kalau Felicia baik-baik saja.

[ Dih, kayaknya bukan fuckboy deh! Cia ... Cia ... seganten dan semanis itu dianggurin. Goblok emang, percuma sekolah dokter tinggi-tinggi kalau ga bisa bedain mana yang tulus dan mana yang enggak.] Jessca bergeleng.

.

.

.

Sementara di rumah Felicia.

"Ugh!!" Felicia merasa mual. Ia langsung berlari ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya.

"Hoek!! Hoek!!"

"Argh!! Sialan!! Kebanyakan nangis bikin gue mual!!" Felicia membasuh bibirnya dengan air wastafel.

Tubuhnya melemas setelah muntah. Ia pun merebahkan diri di atas ranjang. Hari yang melelahkan. Tapi Felicia berhasil melaluinya.

"Gue mesti ngapain setelah ini?"

Lelah menangis, Felicia mengantuk dan tertidur. Saat itu Felicia belum menyadari bahwa ada hal besar sedang terjadi dalam hidupnya.

*******

Next chapter