webnovel

Kembali Bertengkar

Saat mendengar deru mesin mobil Darrel di halaman rumah, Ilene bangkit meski dengan rasa enggan yang menyelimuti. Hatinya sangat terluka karena Darrel telah menolak panggilannya beberapa kali. Ia hanya ingin mengetahui keberadaan suaminya. Apa hal itu begitu mengganggu Darrel hingga seluruh panggilannya ditolak? Ilene menghela nafasnya berat, berkali-kali hatinya menolak, berkali-kali Ilene mencoba mengingatkan dirinya bahwa Darrel adalah suaminya. Suami yang harus ia layani dan hormati.

Ilene segera membuka pintu lalu menggamit tangan Darrel untuk ia kecup. Tanpa sepatah kata pun ia mengambil barang-barang Darrel lalu beranjak pergi dari sana tanpa menatap wajah Darrel.

"Ada apa sih?" Darrel tiba-tiba bertanya mendapati sikap Ilene yang terasa ganjil.

Namun Ilene tidak mengindahkan perkataan Darrel, ia memilih melanjutkan langkahnya tanpa menengok ke belakang.

"Len? Kenapa sih?" Tanya Darrel yang terlihat kesal karena Ilene terus mengabaikannya. Kali ini apa lagi kesalahannya? Ia tidak tahu jika memiliki seorang istri akan sangat merepotkan hidupnya.

"Kamu tanya kenapa, Mas?" Ilene bertanya tidak habis pikir. Ia mendesah berat menghadapi seluruh sesak yang ia rasakan atas semua sikap Darrel.

Darrel menunjukkan wajah tidak mengerti. Menelaah seluruh ekspresi wajah Ilene, ia menengadah, mengingat-ingat dimana letak kesalahannya kali ini. Namun sekeras apapun ia berpikir, Darrel masih tidak menemukan jawabannya.

"Len, pliss... jangan buat teka teki kayak anak kecil gitu, kamu kan bisa ngomong apa kesalahanku biar aku paham," pinta Darrel. Ia benar-benar tidak bisa menebak isi hati wanita yang begitu rumit.

Ilene melotot mendengar ejekan Darrel yang mengatainya bersikap kekanakkan. Ilene menghentakkan kaki, memilih untuk kembali beranjak pergi. Tidak ada gunanya jika mereka terus berdebat.

Darrel segera berlari mendapati Ilene yang kembali menghindar. Dengan cepat, ia menggapai tangan Ilene membuat Ilene akhirnya berhenti melangkah lalu menatap Darrel tajam.

"Apa lagi?" Tanya Ilene sinis, "Bukannya kamu terganggu karena kehadiranku sampai kamu mematikan seluruh panggilanku, Mas?" Desis Ilene. Butiran air kristal telah memupuk di pelupuk matanya. Hatinya terasa sesak dan penuh, tidak tahu lagi bagaimana mengekspresikan seluruh kesedihannya.

"Kapan aku mematikan telepon?" Nada suara Darrel sarat akan kebingungan. Ia merasa tidak pernah melakukan hal yang Ilene tuduhkan.

"Aku menelepon berkali-kali Mas, lihat ini!" Ilene segera menunjukkan riwayat panggilan di ponselnya. Ia geram karena Darrel malah terlihat bingung dan berpura-pura tidak tahu.

Mata Darrel melebar saat mengetahui waktu dimana Ilene menelepon. Keningnya berkerut samar, menyadari ada yang salah dibalik semua tuduhan itu. Itu adalah waktu dimana ia sedang makan malam bersama Melinda. Tunggu sebentar, apa Melinda mematikan ponselnya saat ia izin untuk pergi ke toilet? Tidak mungkin.

Ilene mendengus saat melihat wajah Darrel menjadi tegang. "Apa salah aku ingin tahu kenapa kamu pulang terlambat, Mas? Apa kamu begitu terganggu dengan sikap peduliku?" Berondong Ilene. Hatinya terasa begitu sesak.

"Lain kali, aku tidak akan pernah penasaran dengan keberadaanmu! Kamu pulang atau tidak, terserah!" putus Ilene. Ia merasa sangat terluka, kehadirannya sungguh tidak dihargai oleh pria itu. Seharusnya ia sadar sangat mustahil merubah sifat alamiah seseorang.

"Oke, aku minta maaf. Mendadak seorang klien meminta bertemu, mungkin tanpa sadar aku mematikan teleponnya. Ayolah, jangan marah hanya karena masalah sepele."

Darrel menelan ludah, ia terpaksa berbohong pada Ilene. Tidak mungkin juga ia mengatakan bahwa ia sedang bersama Melinda saat itu.

Ilene mendengus kembali mendengar penjelasan Darrel yang terdengar klise. Bagi Darrel, itu memang hanya masalah sepele. Bahkan mungkin bukan sebuah masalah yang patut diperdebatkan. Demi kewarasan hatinya, Ilene mendesah lalu mengakhiri perdebatan itu dengan jawaban yang sangat singkat, "Oke."

Setelah itu, ia kembali berjalan membawa seluruh kedongkolan hatinya lalu meninggalkan Darrel yang termenung sendirian.

****

"Tumben kamu ngajak Mama makan siang cuma berdua, Sayang,"

Ilene tersenyum lebar kepada Tiana Hairlangga, Ibu mertuanya. Ia segera menarik salah satu kursi lalu mempersilahkan Tiana untuk duduk. Mungkin ia memang tengah kesal akan sikap Darrel semalam, tapi ia tetap akan bertekad untuk menyembuhkan Darrel bagaimanapun caranya.

"Aku cuma pengen ngobrol-ngobrol koq sama Mama," kilah Ilene.

Alis Tiana terangkat, sepertinya mengetahui maksud terselubung Ilene mengajaknya bertemu. "Ngobrol soal Darrel? Pantes kamu gak ngajak suamimu makan bareng. Ada apa Sayang? Apa ada masalah?"

Ilene segera menggeleng cepat, Tiana sudah seperti ibu kandungnya. Tidak mungkin ia menyebarkan aib suaminya sendiri pada ibu mertuanya.

"Gak koq Ma, Mas Darrel baik banget sama Ilene cuma..." Ilene bergerak gelisah, ia bingung harus bagaimana membicarakan permasalahannya tanpa menyakiti hati Tiana.

Tiana sepertinya tahu keresahan yang dirasakan Ilene, ia segera menyentuh tangan Ilene lembut.

"Kamu bisa bicarakan apapun sama Mama, Sayang. Tidak perlu khawatir, Mama akan coba bantu sebisa mungkin,"

Ilene menghela nafasnya panjang, ia memutar otaknya memilah kata-kata yang paling tepat untuk menyuarakan masalahnya.

"Maaf Ma, Ilene mau tanya, apa Mas Darrel punya masalah selama ini jika berhubungan dengan wanita? Soalnya setelah menikah, dia selalu terlihat gelisah di rumah. Sekali lagi Ilene minta maaf, apa Mas Darrel pernah punya trauma?"

Tiana tersentak mendengar pertanyaan Ilene yang tak terduga, dahinya mengkerut kemudian ia menggeleng, "Setahu Mama, Darrel gak pernah keliatan punya trauma selama ini. Kenapa Sayang? Apa Darrel menyulitkan kamu?" Tanya Tiana lembut.

Ilene ikut menggeleng kecil, "Gak koq Ma, cuma Mas Darrel sering terlihat gelisah jika kami berdua,"

Tiana terlihat bingung, dahinya semakin berkerut tidak paham. "Oh begitu. Sayang, mungkin Darrel hanya belum terbiasa dengan pernikahan kalian. Wajarlah kalian baru menikah, masih banyak hal yang membuat kalian canggung. Meski Darrel bukan anak kandung Mama, tapi Mama sangat mengenal Darrel seperti apa,"

Ilene terlihat terkejut dengan penuturan Tiana, "Darrel bukan anak kandung Mama?" Tanya Ilene memastikan, ia sendiri baru mengetahui fakta ini. Ternyata Darrel bukan sepenuhnya berdarah Keluarga Hairlangga.

"Iya, kamu gak tahu soal ini?" Tiana terlihat menyesal karena ternyata Ilene tidak tahu menahu soal ini.

Ilene menggeleng lemah, satu lagi hal penting yang disembunyikan oleh suaminya.

"Oh begitu pantes dia selalu gelisah di rumah, mungkin dia malu jika kamu tahu soal ini makanya dia gak ngasih tahu kamu kan?" ucap Tiana menyimpulkan.

Ilene hanya bisa mengangguk kecil, membiarkan Tiana dengan pendapatnya sendiri. Itu lebih baik dibanding dengan Tiana mengetahui kebenarannya.

"Kapan dan dimana Mama adopsi Mas Darrel?" Tanya Ilene penasaran. Ia sangat berharap bahwa kali ini ia bisa mendapatkan titik terang tentang trauma Darrel.

"Mama adopsi Darrel ketika dia berumur tujuh tahun dari panti asuhan Harapan Bunda. Saat itu Darrel lucu banget, ini fotonya,"

Tiana segera mengaduk tasnya lalu mengeluarkan potret usang yang disimpan dibalik dompetnya.

Wajah Ilene terlihat menengadah, tersenyum kecil melihat potret suaminya waktu kecil. Tiana benar, Darrel memang terlihat manis waktu itu.

"Mama masih ingat alamatnya?" Tanya Ilene berusaha mengorek segala informasi tentang masa kecil Darrel.

Tiana terlihat menerawang, "Ah, Mama lupa. Nanti coba Mama cari di rumah kontak mereka,"

Ilene mengangguk kecil, semoga saja ada titik terang untuk mengatasi segala permasalahannya.