11 Terpukul Kesedihan

Brukk! Khaibar pun ambruk dan tak sadarkan diri, terkulai lemah di atas lantai rumah sakit yang dingin. Dia sangat terpukul karena kehilangan satu-satunya keluarganya, kini Khaibar sudah sebatang kara, tak ada tempat untuk berlabuh keluh kesah dan pelipur lara, apalagi hanya ibunya yang paling dekat dengannya, teman-temannya bahkan tak seberapa dekat, cuma ada disaat membutuhkan Khaibar saja.

Khaibar saat ini terbaring di ruangan sebelah ibunya, setelah tak sadarkan diri dalam 30 menit, dia pun akhirnya membuka matanya dan sesekali menyeka air mata yang masih basah di pelupuk mata itu. Dia langsung terbangun dan teringat oleh ibunya, lalu Khaibar berteriak dengan sangat keras.

"Ibuuuu! Di mana Ibuku? Di mana? Heyyy Ibuku di mana?" Khaibar sungguh frustasi, dia berharap ada yang membalas teriakannya. Ia sungguh ketakutan dan sebenarnya tak sanggup mendengar kenyataan yang ada.

Suster pun langsung datang menghampiri Khaibar dan menjawab ucapan Khaibar. "Ada apa, Pak? Kenapa berteriak? Apa Bapak baik-baik saja sekarang? Sabar ya, Pak." Suster berusaha menenangkan Khaibar dengan mendekat dan menepuk pundak Khaibar pelan.

"Di mana Ibuku, Sus, di mana!" tanya Khaibar, malah dia semakin mengeraskan suaranya dan langsung beranjak dari tempat tidurnya, hingga terhuyung ke kanan dan ke kiri. Suster pun berusaha membantu Khaibar dengan sangat lembut.

"Sabar ya, Pak, sudah kehendak-Nya, yang penting Bapak berdoa yang terbaik saja, saya turut berduka cita, Pak." Mendengar ucapan suster itu Khaibar tak terima. Ia langsung berlari cepat menuju ke ruangan ibunya, hatinya sungguh hancur berkeping-keping dan jatuh terjerembab di depan pintu ruangan ibunya.

Tangannya mengulur ke arah ibu Khazanah yang terbujur kaku dan memucat dengan jarak 1 meter darinya. Mulailah Khaibar menjerit memanggil nama ibunya dengan deraian air mata yang menggenang di pelupuk mata.

"Ibuuuuu. Ibu gak mungkin meninggalkan aku kan? Ibuuuu hiks, hiks, hiks." Mencoba bangkit dengan memegangi handle pintu erat-erat. Lalu berjalan kembali ke arah Khazanah dengan nafas yang terengah-engah dan kaki terseok-seok.

Kali ini Khaibar langsung memeluk ibunya dengan sangat erat dan menggoyangkan badan ibunya agar ibu Khazanah membuka mata dan membalas pelukan Khaibar.

"Ibu! Kenapa tak membalas pelukan Khaibar? Ibuuuuu, apa Ibu marah sama Khaibar? Ibuu kenapa Ibu diam saja?" celoteh Khaibar yang masih memeluk ibunya sambil membungkuk. Dia lalu melepaskan pelukannya dan menatapi ibunya dengan tangan yang mengulur dan mengusap lembut wajah ibu Khazanah.

Dia suster yang berada di ruangan itu dan melihat Khaibar seperti itu, mereka ikut menangis dan menepuk punggung Khaibar dengan bergantian. Khaibar hanya menunduk, mengangguk dengan sesenggukan.

'Ibuuuu, maafkan Khaibar belum bisa jadi anak yang baik dan juga tak bisa mengabulkan permintaan Ibu yang terakhir kali, tapi Khaibar sungguh sangat menyayangi Ibu, Khaibar janji akan bahagia supaya Ibu senang melihatnya di atas sana. Haiiiis semua ini gara-gara Kimberly, awas kau! Uang ini sudah tak berguna lagi! Untuk apa kaya kalau Ibu tak ada! Haaaaaa.' Batin Khaibar. Kedua tangannya mengepal erat, matanya sungguh memerah menahan sakit di dadanya.

Khaibar terjingkat saat ponselnya berdering dengan sangat keras. Dia meraih ponsel itu dan melihat siapa yang meneleponnya. Serangainya muncul dengan gigi yang gemerutuk dan air mata diusap dengan kasar.

Ia pun mengangkatnya dengan kasar. "Halo, mau apa lagi? Puas kamu sekarang? Puas!" Seseorang yang mendengar di ujung teleponnya hanya mengernyit lalu berdehem dan siap mengeluarkan larvanya.

"Apa kamu bilang? Woe kamu membentakku? Ngaca dong kamu siapa? Gak sopan! Cepat minta maaf!" Orang itu adalah Kimberly. Dia hanya iseng ingin tau lagi apa Khaibar, tapi saat Khaibar membentaknya dia tak terima dan ikut memaki balik. Khaibar hanya diam dan tak merespon makian Kimberly dia masih menahan nafas yang tersengal, dan menahan air matanya

"Heeey dasar gila! Kamu tuli? Atau bisu?" Mendengar ucapan itu Khaibar semakin marah dan muak dia akhirnya membalas Kimberly dengan cepat.

"Saya ingin bertemu! Uangnya akan saya kembalikan semua!" bentak Khaibar dia menundukkan kepalanya. Ia benar-benar berfikir uang dari mana, padahal tinggal setengah uang itu, bahkan Khaibar tak bisa berfikir jernih karena kesedihannya. Kedua tangannya mencengkeram kepala dan mengacak-acak rambutnya dengan cepat.

"Kamu serius? Apa kamu gila? Uang 100 juta itu menjadi 200 juta lho, apa kamu sanggup?" ucap Kimberly dengan menahan tawa. Kimberly sengaja mempersulit Khaibar agar Khaibar tak bisa lepas dari genggamannya.

"Kamu yang gila! Bagaimana mungkin jadi 200, padahal baru tadi kamu mengirim uangnya, hah! Pokoknya segera ke sini ke rumah sakit di mana Ibuku dirawat!" perintah Khaibar dengan tegas dan langsung mematikan teleponnya.

Kimberly terbelalak menatapi ponselnya, dia tak habis pikir dengan keberanian Khaibar. Kimberly hanya bisa memaki ponselnya dengan keras, tak terima dengan perlakuan Khaibar yang di luar dugaan kepadanya.

"Berani-beraninya dia membentakku, apa dia gagar otak gara-gara ibunya sakit? Ehhh bagaimana kabar ibunya ya, apa dia begitu karena ibunya mati? Hah apa iya? Masak sih." Kimberly bangkit dari kursi minicur pidicurnya. Dia mondar-mandir dan memutuskan untuk menghampiri Khaibar dan ingin tau sebenarnya apa keinginan Khaibar.

Kimberly langsung meraih tasnya dan berjalan dengan cepat ke arah parkiran mobilnya. Dengan alunan langkah yang melenggak-lenggok dengan eloknya dia sesekali mengibaskan rambut panjangnya.

Sesekali menatapi sekililingnya yang sedari tadi banyak yang menatapnya dengan iri bagi kaum hawa, sedangkan kaum adam semuanya menatapi dengan penuh kekaguman, mereka saling mendekat dan mencoba merayu Kimberly dengan rayuan mautnya.

Kimberly hanya melirik dan berlarian ke arah mobilnya, dia sungguh tak mau meladeni mereka yang tak penting, memang Kimberly orangnya sangat cuek, tapi apabila dia kesepian pasti menanggapi kaum adam itu.

"Pak, cepat bukakan pintu! Kita segera ke rumah sakit yang kemarin! Cepat!" perintah Kimberly dengan keras. Dia sungguh tak sabarnya, penasaran dengan Khaibar yang tak jelas menurutnya. Kimberly tersenyum saat membayangkan wajah Khaibar yang imut itu.

Dia yang bersandar di kursi mobilnya seraya memejamkan matanya dengan cepat menepuk jidatnya dan membuka mata kembali. Mengusap wajah dengan cepat dan mencubiti pipinya.

'Hey Kimberly! Sadar! Kenapa kamu memikirkan dia hah! Apa kamu gila? Dia itu gembel tau? Kamu memerlukan dia hanya untuk bersenang-senang, bukan karena tak rela karena kamu mencintainya, ingat itu!' Batin Kimberly.

Ia tak jadi tidur karena tak mau memikirkan Khaibar lagi. Hanya memperhatikan jalanan yang melaju dengan kencang, dengan pohon dan bangunan tinggi yang bergerak cepat.

Kimberly tersenyum saat ternyata sudah sampai di rumah sakit. Dia dengan cepat merapikan rambutnya dan bercermin di spion depan dengan mata yang dikedip-kedipkan genit.

"Pak, apa aku sudah cantik?" tanya Kimberly kepada supirnya. Supirnya mengangguk dan mengacungkan jari jempolnya. Kimberly langsung keluar dari mobil dia menepuk bahu supirnya dan melambaikan tangannya.

'Eh Nona Kimberly kenapa ya? Apa dia gila? Haha biasanya dia sangat kasar, kenapa dia sungguh lembut hmmmm.' Batin supir itu, seraya menatapi kepergian Kimberly.

avataravatar
Next chapter