13 Sah, Sah, Sah

Kimberly menatap Khaibar dengan tajam, bibirnya manyun. Sungguh menggambarkan wajah yang penuh dengan keseriusan, karena terlihat seperti dia berfikir sejenak, setelah itu dia mengedipkan matanya berulang kali membuat Khaibar mengerutkan dahinya, bingung dengan ketidakjelasan Kimberly.

Akhirnya Khaibar angkat bicara juga agar semakin jelas dan segera terlaksana, karena ibunya sudah tak bisa menunggu lagi lebih lama untuk dimakamkan. Dengan disertai menjentikkan ibu jari dan jari tengah tepat di depan wajah Kimberly.

"Ehem, bagaimana, Nona? Apa siap? Kalau tidak aku pergi nih, kasihan Ibuku, ya sudah aku pergi ya ..." pamit Khaibar dengan membalikkan badannya, sejenak Kimberly masih terus berfikir, saat pemikiran sudah usai dia langsung memegangi tangan Khaibar dengan cepat.

"Eits, mau ke mana? Tunggu dong!" Masih memainkan bibirnya dimonyongkan sangat lancip dan sesekali digigit hingga keluar gigi dua kelinci yang imut. Seketika Khaibar yang sudah menengokkan wajahnya terpana dengan ulah Kimberly itu, lalu digelengkan kepalanya dengan mata yang dipejamkan sejenak lalu terbuka kembali untuk mengembalikan kesadarannya.

"Boleh deh kalau mau menikah sekarang, tapi masak aku baju seperti ini? Gak etis dong, jelek juga, pernikahan kan seumur hidup sekali kan bagaimana bisa kucel dan gembel seperti ini." Kimberly mencoba memberi alasan karena dia memang belum siap.

Khaibar hanya memegangi dagunya dengan tangan satunya. Dia terus menatapi Kimberly dengan badan yang masih dimiringkan dari puncak kepala sampai ujung kakinya, ia langsung berbalik tepat di depan Kimberly, kini keduanya saling berhadapan dan saling bertukar pandangan.

'Baru kali ini aku bertemu gadis seaneh dia, sudah hamil, tapi blagunya minta ampun, gak etis dari mana coba? Bahkan baju dan semua yang ia kenakan aja sudah branded dan jutaan harganya, lalu apakah itu dinamakan gembel? Hmmm, bagaimana dengan aku kalau seperti ini bajunya? Apa aku gembel menggenaskan namanya, dasar, tapi emang sih dia cantik di atas rata-rata wanita yang aku lihat pada umumnya. Tapi sifatnya itu lho sungguh menyebalkan!' Batin Khaibar.

Kimberly yang ditatap Khaibar dengan semakin dalam, hatinya bergemuruh dan sedikit salah tingkah, dia terus merapikan rambut juga penampilannya dengan mengibas-ngibaskan rambut serta mengusap baju dan rok mininya berulangkali. Dia pun berdehem mencoba mencairkan suasana dari kecanggungan.

Alisnya diangkat ke atas dan ke bawah tanda menunggu jawaban dari Khaibar. Khaibar yang paham maksud Khaibar dia langsung tersenyum tipis dengan melepaskan tangannya dari genggaman Kimberly, tangan mereka akhirnya terlepas dan saling berusaha cuek kembali.

"Ini kan hanya akad saja, Nona. Kalau nanti mau meramaikan boleh merayakan lagi, bahkan 7 hari 7 malam sekalipun aku siap." Khaibar menekan kata nona karena geram, tapi dalam hati dia tertawa saat berkata 7 hari 7 malam itu.

Kimberly tak disengaja langsung tertawa terbahak-bahak, ia yang teringat untuk selalu menjaga imagenya akhirnya membungkam bibirnya dengan kedua tangannya.

'Ops bisa-bisanya aku keceplosan.' Batin Kimberly.

"Baiklah, boleh, terserah kamu saja, panggil penghulunya cepat! Aku telepon mama dan papaku sebentar," perintah Kimberly dengan tegas. Khaibar mengangguk dan mereka saling berbalik, sibuk dengan ponselnya masing-masing. Mengurusi orang-orang yang dituju dan akan dihubungi.

30 menit kemudian. Mereka sudah saling duduk rapi di atas kursi plastik yang dipinjam dari rumah sakit, tepat di depan jenazah Khazanah. Khaibar yang masih sedih teringat oleh ibunya sesekali mengusap air mata yang tiba-tiba jatuh di pelupuk mata. Kimberly yang sedikit peka, dia menepuk bahu Khaibar pelan dengan berpura-pura cuek. Kimberly pun berbisik.

"Sudahlah, ini sudah takdir, meskipun ditangisi ibumu gak akan bangkit kembali, kini kan aku sudah menjalankan wasiat ibumu jadi jelas bahagia melihat di atas sana." Khaibar tak menanggapi ucapan Kimberly, bagi Khaibar ucapan Kimberly yang menyakitkan hanya angin lalu, dia seperti itu agar mudah melupakannya dan tak menjadikan sakit di hatinya.

Khaibar sesekali menatapi semua orang yang ada di ruangan itu dengan bergantian. Dalam ruangan itu ada penghulu, mama Keysa dan saudaranya, tak lupa dua suster sebagai saksi penguat, papa Kendrick pun baru saja datang dengan nafas yang tersengal, sengaja datang untuk menjadi wali dari putrinya, meskipun dia harus meninggalkan bisnisnya dan secepatnya naik pesawat dari luar kota, semua demi Kimberly. Anak si mata wayang kesayangannya.

"Bagaimana? Bisa dimulai?" tanya penghulu menyentak kegugupan Khaibar beserta Kimberly yang sedari tadi meremas jari-jemarinya di pangkuhannya.

Khaibar hanya bisa mengangguk dengan menghela nafas panjang dia mengkomat-kamitkan bibirnya untuk merapal doa agar tak gugup, dia sungguh tak menyangka menikah dengan cara seperti ini, menikah dengan orang yang tak dikenal sejak awal dan tak saling mencintai, tapi apalah dikata mungkin sudah takdir yang digariskan untuknya.

"Baiklah kalau begitu." Penghulu pun memulai membaca doa pembuka dengan khusyuk, lalu tangannya terangkat dan menjabat Khaibar dengan erat, dan mulailah penghulu mengucapkan ijabnya.

"Bismillahirrahmanirrahim, saya nikahkan dan kawinkan engkau saudara Khaibar Al-Kahfi bin Karto almarhum dengan putri saya Kimberly Putri Isabel binti Kendrick dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang sebesar 50 juta dibayar tunai," ucap penghulu diikuti dengan Kendrick sebagai permulaan dan pembelajaran untuk Kendrick, setelah dirasa Kendrick siap dia menghafal ulang ucapan penghulu dan bergantian dia yang menjabat tangan Khaibar.

Kendrick pun mengucapkan ijab persis seperti yang penghulu ucapkan, ia mengucapkan dengan sangat lancar dengan satu tarikan nafas disertai senyuman tipis diakhirnya dan menaik turunkan alisnya ke arah Keysa, karena bangga dengan apa yang dilakukannya, Keysa mengangguk-anggukkan kepalanya dan mengacungkan jari jempolnya, bangga dengan suaminya.

Khaibar menghela nafas panjang lalu siap untuk membalas qobulnya. "Saya terima nikahnya Kimberly Putri Isabel binti Kendrick dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang sebesar 50 juta dibayar tunai." Khaibar pun sama dia juga sangat lancar karena dalam hatinya dia tak mau mengecewakan ibunya dan malu dihadapan semua orang.

Penghulu pun tersenyum, menoleh ke semua orang dengan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Bagaimana para saksi?"

"Sah, sah, sah," balas mereka serempak dan sangat lantang.

"Alhamdulillah," ucap penghulu dan setelah itu ia pun berdoa dengan khusyuk, mendoakan kedua mempelai panjang lebar, seusai berdoa penghulu pun menyerahkan surat-surat penting untuk ditandatangani oleh kedua mempelai.

"Selamat ya kalian sudah sah menjadi suami istri, semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah, barokah," seru penghulu saat Khaibar dan Kimberly sudah selesai menandatanganinya. Penghulu pun menunjuk ke arah mereka agar saling bersalaman dengan penuh kasih dengan kecupan bergantian di pipinya.

Khaibar hanya menurut dan mengecup Kimberly dengan cepat dan malu-malu. Kimberly yang diperlakukan seperti itu dia mematung dan tersenyum dengan sendirinya.

"Kalau begitu saya pamit dulu ya," pamit pak penghulu dengan menenteng tasnya. Suster pun saling tersenyum dan pergi untuk melanjutkan urusannya kembali, sementara papa Kendrick mengantarkan penghulu ke luar bersama saudara ipar laki-lakinya.

Kimberly melirik ke arah Khaibar dengan memicingkan matanya menaruh curiga. Dia teringat dengan mahar yang diberikan Khaibar yang berjumlah 50 juta itu. Keysa pun berfikiran sama dengan Kimberly, karena bagaimana seorang Khaibar bisa mempunyai uang itu, bahkan mereka tak habis pikir dengan Khaibar yang berani sebelumnya.

'Ada apa dengan mereka melirikku seperti singa yang kelaparan.' Batin Khaibar.

"Hey, menatu gembel, kamu dapat uang dari mana? Apa mencuri?" tanya Keysa dengan ketusnya. Kimberly yang teringat pun tertawa terbahak-bahak.

"Jadi ... begitu?"

avataravatar
Next chapter