webnovel

Lucknut 10

Setelah cukup lama membersihkan diri, Dhena menyeka seluruh air di tubuhnya dengan handuk, lalu melilit tubuhnya dengan handuk itu. Dia berjalan keluar kamar mandi, kemudian berganti pakaian, tanpa memakai pakaian dalamnya terlebih dahulu.

"Da, Uda Rayan..."

Dhena coba membangunkan suaminya.

"Yan bangun, Yan," bisik Dhena di telinga Rayan, sambil menggoyangkan tubuh suaminya.

"Hemm..."

"Yan, ayo bangun."

"Eh..."

Rayan terkejut melihat siapa yang membangunkannya. Bukan teman kontrakan seperti biasanya, tapi Dhena. Dhena melihat itu justru terkekeh, sama persis dengan reaksinya tadi waktu terbangun dan melihat Rayan memeluknya.

"Hehe, maaf Sayang kaget aku. Tak pikir siapa, ternyata istriku yang cantik jelita, hehe."

"Ih kamu ini lho Yan, baru bangun juga udah ngegombal aja. Sana buruan mandi wajib, abis itu kita ibadah dulu."

"Iya, ini jam berapa?"

"Tuh udah setengah 5."

"Kamu udah mandi, Sayang?"

"Udah dong, sekarang giliran kamu."

"Ya udah kalau gitu, aku mandi dulu."

"Yan mau dibikin teh apa kopi?"

"Hmm, kopi aja ya, Sayang, pake krim."

"Ya udah aku bikinin."

Selagi Rayan mandi, Dhena membuatkan kopi untuk suaminya. Terkadang dia masih tersenyum sendiri, menyadari ini adalah kopi pertama yang dia buat sebagai seorang istri, kopi pertama yang dia buat untuk suaminya.

Setelah Rayan selesai mandi dan berganti pakaian, mereka beribadah terlebih dahulu. Setelah itu barulah duduk-duduk bersantai sambil menikmati kopi buatan Dhena.

"Gimana kopinya, Yan?"

"Hemm, gimana apanya?"

"Yaa, kopi buatanku, gimana rasanya?"

"Ooh ini,,," Rayan menyadari maksud dari pertanyaan Dhena. "Ya jelas nikmatlah, ini kopi paling nikmat yang pernah aku minum lho, Yang."

"Ah masak sih? Itu kan cuma kopi sachetan, masak senikmat itu?"

"Iyalah, jelas. Apapun bentuknya, karena ini adalah buatan istriku, yang penuh cinta dan kasih sayang, rasa nikmatnya itu berlipat-lipat, Sayang. Ggak ada yang ngalahin."

"Haha, kamu bisa aja."

"Hehe, aku serius lho. Aku bakal terus ingat kalau ini adalah kopi pertama yang diberikan oleh istriku buatku."

"Hihi.."

Dhena tak tahu lagi mau menjawab apa, dia begitu tersipu dengan pujian dari suaminya. Tapi dia merasa bahagia, Rayan adalah suami yang pintar menyenangkan istrinya. Meskipun ini baru hari pertama, tapi dia berharap hari-hari selanjutnya akan terus seperti ini.

"Oh iya Sayang, entar mau sarapan di bawah apa di sini aja?"

"Hmm, di sini aja ya, Da? Soalnya, aku masih agak susah buat jalan."

"Oh, masih sakit ya, Sayang?"

"Iya, padahal semalem udah enggak lho, tapi pas bangun tadi kok kerasa sakit ya? Badanku juga agak pegel gimana gitu."

"Oh ya wajar, Sayang, namanya juga baru pertama. Kamu aja kalau baru pertama kali olahraga, atau fitnes gitu, pasti besoknya pas bangun badannya pegel-pegel, iya nggak?"

"Iya sih. Tapi, hmm, Rayan pasti udah gak pegel ya?kan bukan yang pertama, hihihi."

"Eh kok gitu?"

"Yaa kan Rayan udah pengalaman, hehe."

"Haduuh, Sayang jangan dibahas dong. Itu kan saat SMA waktu di kampung, hehehe."

"Hehe gak papa, kan aku juga udah tahu. Kalau gitu kan, kamu bisa ajarin aku, hehe."

"Haha, ajarin apaan, Sayang? kayak gitu gak perlu diajarin, entar juga jago sendiri, kalau sering, hehe."

"Emang mau sering-sering? Gak takut bosen apa?"

"Sama kamu, gimana aku bisa bosen, Sayang? Hehe."

"Tuh kan, nggombal terus."

"Haha."

Keduanya tertawa bersamaan. Candaan kali ini terasa begitu bebas, karena memang sudah tak ada batasan bagi keduanya. Dhena pun sudah tak perlu lagi menahan-nahan untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan dan dia maui dari Rayan.

"Hmm Yan.."

"Kenapa, Sayang?"

"Boleh nanya gak?"

"Lah, ya nanya aja, emang ada apaan, Sayang?"

"Tapi jangan marah, lho."

"Iya iya, aku nggak marah. Kenapa, Sayang?"

"Hmm, yang semalam itu, hmm, aku udah bisa muasin kamu belum?" Dhena sedikit menunduk, sebenarnya dia ragu dan malu menanyakan ini, tapi dia benar-benar ingin tahu.

"Hah? Maksudnya?"

"Iyaa.. kan, hmm, Rayan udah pernah kayak gitu dengan mantan-mantanmu, menurut mas, aku gimana? Ada yang kurang gak? Terus apa yang harus aku lakuin biar uda merasa puas?"

"Kok nanyanya gitu, Sayang?"

"Yaa kan sekarang aku istrinya Rayan, jadi aku harus tau kan apa yang Rayan suka, termasuk soal urusan ranjang. Biar kamu gak kecewa dan berpaling pada wanita lain."

"Hahahaha..."

"Lho kok malah ketawa sih Yan? Aku serius nih?"

"Iya iya, maaf, Sayang. Ya udah aku jawab, tapi kamu juga jangan marah ya."

"Gak akan kok, asal kamu jujur aja."

"Iya, ini jujur kok. Gini, Sayang. Memang dulu aku pernah kayak gituan sama orang lain, sama beberapa cewek. Tapi jujur, yang semalam itu bener-bener beda. Gimana ya, nikmatnya itu luar biasa. Bener-bener baru pertama kali ini ngerasain kenikmatan seperti itu. Mungkin karena kita ngelakuinnya secara sah, nggak ada pikiran lain-lain."

"Bener, Yan?"

"Bener Sayang. Kamu itu spesial, karena kamu baru pertama kali melakukannya."

"Emang, dulu cewek-cewekmu nggak ada yang masih, hmm, maaf perawan?"

"Gak ada. Terus terang, ada rasa gak enak di hatiku."

"Gak enak kenapa?"

"Hmm, yaa, aku dapetin perawan kamu, tapi kamu, yaa gitulah, Sayang. Gak dapat perjakaku."

"Ya udah, kita kan udah pernah bahas ini, dan aku bisa terima semuanya kok. Asal setelah ini kamu janji cuma ada aku di hati dan hidupmu."

"Pasti itu, aku janji, Sayang."

Rayan mengecup kening istrinya.

"Jadi, aku udah cukup buat memuaskanmu semalem?"

"Sangat cukup, Sayang, lebih dari cukup malah. Kamu tahu gak, semalam itu, baru pertama kali lho aku keluar secepat itu."

"Hah? Yang bener? Emang bisa lebih lama?"

"Yaa bisalah, haha."

"Waduh.."

"Kenapa, Sayang?"

"Yang semalem aja aku udah lemes gitu Da, gimana kalau lebih lama?"

"Yaa nanti kamu bakal rasain kok. Emang pasti lebih lemes, tapi yang jelas, lebih nikmat juga, hehe."

"Hehe."

Mereka masih terus melanjutkan obrolan pagi itu, sampai matahari terbit. Rayan akhirnya menelpon bagian restoran dan minta sarapan mereka untuk diantar ke kamar.

Ternyata selain membawakan makanan, para petugas hotel itu juga membawakan sprei baru untuk ranjang Rayan dan Dhena. Setelah mengganti, petugas itu memberikan sprei yang dipakai untuk pertempuran semalam kepada Rayan.

"Lho ini gak dibawa, mbak?" tanya Rayan keheranan.

"Oh gak Pak, ini bisa bapak dan ibu bawa pulang, mungkin untuk kenang-kenangan," jawab petugas itu sambil tersenyum.

"Oooh iya iya, makasih, hehe," jawab Rayan tersipu, menyadari maksud dari petugas hotel itu. Dhena pun juga tampak tersipu mendengarnya.

"Ya udah, Pak. Kami tinggal dulu. Nanti kalau sudah selesai sarapannya bisa telpon ke room service, biar kami ambil sekaligus kami bersihkan kamarnya."

"Iya mbak terima kasih."

Sepeninggal para petugas itu, Rayan dan Dhena pun menyantap hidangan sarapan. Sambil makan mereka pun bergurau, terlebih soal sprei putih dengan bercak merah di tengahnya itu. Saat sedang sarapan, handphone Dhena berbunyi, dia mengambil dan melihatnya, ternyata sebuah pesan dari mamanya. Diapun membalas pesan itu beberapa kali, sampai kemudian dia terdiam dan menatap Rayan.

"Kenapa, Sayang?"

"Ini, Mama ngirim WA."

"Kenapa emangnya?"

"Mama minta dikirimin foto, Da!"

"Oh, ya udah kirim aja, ayo foto dulu."

"Bukan, bukan foto kita."

"Lha terus foto apaan?"

"Hmm, foto bukti Da, seprei berdarah, kata Mama."

"Wahahahaha. Mama ada-ada aja sih. Ya udah sini biar aku fotoin."

Dhena menyerahkan handphonenya pada Rayan, kemudian Rayan mengambil foto seprei yang tadinya sudah dilipat dan disimpannya.

Setelah itu dia kembali menyerahkan kepada Dhena untuk dikirimkan pada mama mertuanya. Beberapa saat kemudian datang balasan dari ibunya, yang membuat Dhena tertawa lebar.

"Kenapa lagi, Yang?"

"Ini lo balesan dari mama, masa dia bilang, wah sukses dong kalian semalem? Gitu!"

"Haha, mama kok jadi kepo banget sih? Haha, ada-ada aja deh."

Mereka berdua tertawa geli dengan itu dengan tetap melanjutkan acara sarapannya.

Setelah selesai, beberapa saat kemudian Rayan menelpon room service. Para petugas room service kemudian datang sekaligus untuk membersihkan kamar Rayan.

Selama dibersihkan, Rayan dan Dhena menunggu di kursi sofa yang menghadap ke arah jendela sambil ngobrol. Setelah kamar selesai dibersihkan, mereka pindah tempat, sambil menonton televisi.

"Hari ini kita mau kemana, Da?"

"Hmm, kemana ya? Kamu mau kemana?"

"Aku sih terserah Rayan aja. Tapi aku lagi pengen di sini aja, berduaan sama kamu, hehe."

"Wah sama dong. Ya, udah kita di sini aja. Lagian kan lusa kita juga jalan-jalan ke Bali trus dilanjut minggu depan ke Singapur."

"Iya, Da."

Rayan dan Dhena akhirnya memilih untuk menghabiskan waktu mereka di kamar hotel ini saja.

Mereka membicarakan banyak hal, mulai dari awal mereka bertemu, kegiatan sehari-hari, pesta pernikahan sampai sebagian rencana ke depannya.

Dhena sangat mendukung rencana-rencana Rayan, dan dia siap untuk membantunya.

^^^