webnovel

Lucknat 16

Hari pertama menjadi pembina dan pengawas SPB, benar-benar sangat berkesan bagi Dhena. Dia bahkan tak pernah bermimpi apalagi menduga akan bertemu kembali dengan muridnya yang sempat mengisi kisi-kisi hatinya.

Setelah peristiwa memalukan dan menyakitkan dengan Rafly, Dhena sempat shock bahkan nyaris trauma, kehilangan percaya diri hampir setahun lamanya. Selalu ketakutan dan tak mau dekat dengan lelaki manapun.

Apalagi setelah cerita memalukan itu menyebar di kalangan keluarga besar Rayan. Dhena benar-benar merasa hina. Dan ketika itu, Rizal datang memberikan warna dan gairah dalam hati Dhena yang dingin dan membeku.

Walau dengan cara-cara yang sangat sederhana, Rizal berhasil mengobati luka dan trauma hati Dhena. Namun sayang hanya dua bulan saja.

Andai waktu itu hubungan mereka tidak terganggu dan Rizal tidak menghilang, mungkin jalinan kasih di antara mereka masih bermekaran hingga kini.

Bunga cinta yang dulu layu sebelum berkembang, ternyata tidak benar-benar layu.

Hanya dengan sedikit sentuhan nostalgia, taman cinta di hati Dhena dan Rizal seketika tumbuh subur.

Sungai-sungai asmara yang dipenuhi bunga berjuta warna, mengalir deras membasahi jiwa-jiwa yang gersang, haus dan dahaga cinta kasih yang murni dan nyata.

Jauh di lubuk hatinya, Dhena sangat ingin mengajak Rizal ke rumahnya. Namun masih banyak hal yang perlu dipertimbangkan.

Selain karena tak nyaman dengan adanya Rifky yang membawa mobilnya, Dhena juga khawatir hal yang tak terduga, semisal suaminya pulang mendadak.

Dhena tidak merasa takut pada suaminya. Namun dia tak ingin jalinan kasih antara dirinya dengan Rizal kembali terganggu.

Sesampainya di rumah, Dhena segera menceritakan kabar gembira itu pada Noviar. Sahabat sekaligus pendengar setia untuk segala curhat suka dan dukanya.

Sejak pertama bertemu kembali dengan Rizal, Dhena sudah tak sabar ingin menelpon Noviar.

Namun ramainya pengunjung stand dan sibuknya anak-anak SPB, memaksa Dhena untuk menunda semuanya.

Dia menumpahkan segala cerita indahnya setelah bisa tiduran di atas kasurnya.

Noviar yang sedang menginap di salah satu hotel di Jakarta, sangat antusias dan gembira mendengar kabar pertemuan sahabatnya itu. Dia kini bisa mendengar kembali suara renyah penuh semangat dari mulut Dhena yang telah lama hilang.

Noviar sangat memahami dan mengerti seberapa besar cinta Dhena pada lelaki muda itu. Dia satu-satunya saksi hidup perjalanan cinta yang tersendat antara Dhena dan Rizal.

Noviar bahkan tahu kisah Toilet Gate Anyer.

Dulu Dhena pernah mengajak Rizal bertemu dengan Noviar. Namun Rizal tak menyadari jika pertemuan itu sengaja diatur oleh Dhena dan Noviar untuk memperkenalkan dirinya.

Sampai saat ini, Rizal tak pernah tahu kalau Noviar mengetahui semua hubungan dirinya dengan Dhena. Setelah puas bercerita dengan Noviar, Dhena melanjutkan video call dan chatting dengan Rizal.

Dua kekasih yang lama terpisah, menghabiskan malam dengan saling bercerita, hingga keduanya tertidur. Dan mereka bertemu kembali dalam mimpinya.

Tak sampai tiga jam Dhena menikmati tidurnya.

Tetapi, dia bisa terbangun dengan sangat mudahnya dalam keadaan jiwa dan raga yang segar bugar. Pikirannya nyaman dan tenang. Dia bahkan merasakan seisi dunia menebarkan kembali segala keharuman dan keindahannya.

Namun tak berlangsung lama. Keceriaan dan keindahan yang sedang Dhena rasakan harus hilang lenyap ketika sesosok lelaki yang sudah hampir dua bulan tak tampak batang hidungnya, tiba-tiba datang mengacaukan segalanya.

Dengan wajah tanpa dosa dan senyum mesra sok akrab, Rayan menemui Dhena yang hampir masuk ke dalam mobilnya untuk berangkat kerja.

"Tumben kamu pulang? Gak dicariin sama istrimu. Emang kamu udah mandiin anak-anakmu? udah ngasih mereka sarapan? Udah beres nyuci baju dan bekas ompolnya?"

Dhena yang sudah kehilangan respect dan simpatinya, memberondongkan pertanyaan pada suaminya dalam nada sedikit mencibir.

"Sudah Dhen." Rayan menjawab polos sambil cengengesan.

Dhena memutarkan matanya, jengah.

Raut wajahnya yang cantik berubah angker dan menakutkan.

Dhena tak perduli semua kecantikannya hilang lenyap di depan lelaki yang kemungkinan beberapa hari lagi akan menjadi mantan suaminya.

"Rayan, kamu itu suami apa pembantu sih? Emang kamu gak mampu nyari lagi asisten rumah tangga atau baby siter?" Dhena menatap wajah Rayan yang memelas.

"Saat ini masih belum, Dhen. Elisa belum mau lagi punya asisten."

"Iyalah. Siapapun pasti gak mau suaminya direbut. Apalagi sama asisten rumah tangganya. Bilangin sama Elisa kalau cari asisten itu yang udah uzur." Dhena nyerocos.

"Udah tahu punya suami mata keranjang, masih nekat ajak asisten yang lebih cantik dari nyonya besarnya. Akhirnya sang tuan, tergoda dan main mata," lanjut Dhena menyindir dan mencibir.

"Husst, sembarangan aja kalau bicara," sergah Rayan menyangkal.

"Sembarangan? Yan, cerita kamu selingkuh sama asisten rumah tanggamu itu udah jadi trending topik gosip di group WA emak-emak komplek juga guru-guru. 'Eh suaminya Bu Dhena selingkuh dengan pembantunya'. Untung aja mukaku udah kebal. Kalau si Elisa ikutan di group itu, sudah pasti pingsan dan left seketika, hahaha." Dhena tertawa renyah merasa puas sudah bisa meng-kick balik.

"Iya, tapi uda sama sekali tidak seperti itu. Semua hanya fitnah dan gosip."

"Hahaha, emang gue pikirin. Omongan kamu tak pernah sinkron dengan kelakuanmu." Dhena kembali mencibir.

Rayan sedikit gelagapan dan salah tingkah.

"Terus sekarang kamu mau ada perlu apa? cepetan ngomong, aku mau berangkat kerja, dah kesiangan," lanjutnya dengan nada yang masih mencibir.

"Oh iya, mau ngingetin lagi, barang kali Dhena berubah pikiran, mau ikut undangan ke resepsinya Reynita. Kalau mau ikut, biar sekalian uda pesankan tiketnya. Nanti malam jam 7, kita terbang." Wajah Rayan seketika semringah, dia berharap Dhena mau menemaninya datang ke resepsi pernikahan adiknya Rafly.

"Gak minat, titik," tegas Dhena.

"Kenapa?" Rayan melongo.

"Kenapa malah kamu yang linglung? Bukankah keluarga besarmu yang mulia itu gak mau melihat wajahku yang sundal dan pelacur ini?" Dhena mendekatkan wajahnya ke muka Rayan.

"Masya Allah Dhen, jangan bicara begitu." Rayan sedikit mengelakkan wajahnya.

"Yang bicara begitu kan keluargamu sendiri. Si Rosdiah yang memfitnah dan menyebar-nyebarkan gosip busuk kemana-mana." Dhena makin terpancing.

"Ya udah kita itu keluarga, sebaiknya saling memaafkan. Jangan ada dendam diantara kita, tak baik. Biar bagaimanpun Reynita ponakan kita. Dia adiknya Raf..."

"Stop!" bentak Dhena memotong kalimat, "jangan pernah sebut-sebut nama itu di depanku. Kalian sama busuknya. Sekarang aku kembali mencium bau busuk kalian. Pura-pura baik mengajakku ke Padang, padahal di sana sudah disiapkan jebakan baru. Terkutuk kalian semua!" Dhena tiba-tiba berteriak lantang.

"Masya Allah Dhen! Siapa yang ngejebak kamu?" Rayan berusaha meredakan emosi istrinya.

"Stop! Malas aku bahas hal yang mubadzir." Dhena menyilangkan kedua tangannya di dada, setelah menyimpan tasnya ke dalam mobil.

"Lagian siapa kita? hanya tinggal menunggu ketok palu, kita sudah tak ada ikatan persaudaraan lagi." Dhena terdiam sejenak, hatinya sangat berat mengatakannya.

"Dan... Aku harap, kamu gak terlalu lama di Padang. Jangan sampai tak datang lagi saat sidang." Dhena kembali menurunkan intonasinya.

"Dhena, please turunkan dulu egomu. Temanilah suamimu ini ke resepsi Reynita,. Kali ini aja, please." Rayan memohon dan berharap.

"Rayan wanitamu banyak. Ajak saja istrimu yang shalihah itu. Atau selingkuhanmu yang lain. Kenapa harus bawa aku? Bukankah aku ini istri laknat?"

"Masya Allah Dhen, kamu jangan menyimpan dendam terus."

"Yang dendam siapa? keluargamu yang hobinya fitnah. Aib saudara sendiri disebar-sebar." Dhena makin kalap.

"Dhen, sudahlah. Sebaiknya kita bicara di dalam, sebentar aja."

"What? kamu gak liat aku udah siap berangkat kerja?" Dhena membentangkan kedua tangannya, "mubadzir waktu aku kalau hanya ngelayanin omong kosongmu, Rayan!" lanjut Dhena seraya membuka pintu mobilnya.

"Jangan gitu Dhen, dosa kamu menolak ajakan suami."

"Emang lu masih merasa suami gue?" tanya Dhena dengan mata mendelik. "kapan lu ngasih nafkah lahir batin sama gue!" Dhena benar-benar terpancing emosinya.

"Sudah empat bulan, lu melalaikan kewajiban. Artinya kita sudah sah untuk bercerai." Dhena mengatur napasnya yang naik turun. Sekuat tenaga dia menahan kakinya agar tidak refleks menendang.

"Asal lu tahu, saat ini gue sibuk dengan Afrizal." Dhena mendekatkan kembali mukanya ke muka Rayan yang sedikit pucat pasi.

Rayan sangat tahu apa akibatnya jika istrinya sudah mengeluarkan jurus-jurus bela dirinya.

Bisa jadi hari ini terkahir dia menghirup udara segar.

"Afrizal, siapa dia?" tanya Rayan terkejut.

"Jangan pura-pura bloon!" bentak Dhena, "Pacar gue yang dulu pernah lu ancam-ancam mau dibunuh." Dhena kembali bicara lantang, kepalang tanggung.

"Berati kalian masih berhubungan?" tanya Rayan melongo.

Dhena kembali menarik napas panjang, menenangkan jantung dan dadanya yang bergemuruh terbakar emosi.

"Kalau iya, kamu mau apa?" lanjutnya dengan suara yang sedikit tenang.

Rayan terbelalak. Amarahnya tersulut. Jantungnya berdebar, hati panas membara. Api cemburu seketika membakar seluruh jiwanya.

"Rayan, tujuh tahun aku menahan diri. Tadinya berharap kamu bisa berubah. Ternyata malah makin gila. Pembantu, pelayan toko dan mungin entah siapa lagi wanita yang kamu tiduri. Terus sekarang kamu marah aku selingkuh? Enak saja kamu jadi orang!" Dhena berkacak pinggang.

"Dhen Afrizal itu masih bloon."

"Ya usia dia baru 24 tapi pemikiran dia jauh lebih dewasa daripada kamu."

"Berati tak salah gosip selama ini. ternyata kamu suka main sama brondong?"

"Kalau iya, lu mau apa? lu mau ngancam ngebunuh Rizal lagi?" Emosi Dhena kembali tersulut. Dia maju sedangkan mendekati Rayan, dengan posisi tubuh siap menyerang.

"Rayan!" bentaknya, "Kenapa ponakan lu gak diancam?" geram Dhena.

"Bukankah dia juga pernah selingkuh sama gue? Hahaha salah ya. Dia gak selingkuh tapi sekongkol sama lu dan si Rosdiah buat ngejebak gue." Dhena makin kasar.

Rayan mulai ketar ketir melihat kedua tangan Dhena yang sudah mengepal.

"Dasar keluarga otak kotor. Kalau kalian mau punya harta yang banyak, usaha yang bener! Jangan ngejebak orang!" Dhena menutup umpatannya seraya membalikan badan dan masuk ke mobilnya.

Setelah duduk di belakang kemudi, Dhena menatap suaminya yang masih berdiri kaku di samping mobilnya.

"Yan, ayo keluar! Aku mau berangkat kerja. Mau ngapain kamu di sini?" Dhena menghidupkan mesin mobil dan memundurkannya perlahan.

Rayan segera beranjak dan naik kembali ke motornya yang diparkir depan garasi.

Sang suami itu mengendarai motor sportnya hingga luar gerbang.

Setelah mobil Dhena keluar dan melaju meninggalkannya, Rayan duduk si atas motor. Lalu mengeluarkan ponselnya.

Tak lama dia bicara dengan seseorang di seberang telpon. Singkat, tegas penuh kemarahan.

"Afrizal, rupanya lu masih berani main-main sama gua, brengsek!" maki Rayan seraya memasukan kembali ponsel ke saku celananya.

"Anak ingusan mau coba-coba mengacaukan rencana gua!" Rayan mendengus dan menunjukan sebelah tangannya ke telapak tangan satunya lagi.

"Berarti lu sudah bosan hidup, Rizal!" Rayan menarik gas motornya dan melajukan dalam kecepatan rendah.

Setelah keluar dari kompleks perumahan elite, motor sport warna merah metalik itu berlari kencang berlawanan arah dengan mobil Dhena.

"Lu cari mati, Rizal, tunggu waktunya!" Rayan menggeram kasar di balik helm full face-nya.

^^^