1 Menolak Perjodohan

Pantulan diri sosok gadis cantik terlihat di kaca besar di dalam kamar mewah itu. Wajahnya yang bulat dengan pipi yang chubby membuat dirinya sangat mengemaskan seperti boneka. 

Siapapun yang melihatnya, pasti ingin menyentuh dua pipi itu lalu mencubitnya gemas. Oh, jangan lupakan matanya yang bulat, coklat caramel dan jernih itu mampu menghipnotis siapapun. Hidung kecil yang mancung dan bibir yang berbentuk love saat tersenyum lebar. Dia gadis yang cantik dan bertubuh mungil.

"Ah, aku harus cepat pergi!" Dia menyudahi menatap dirinya di cermin dan segera keluar dari kamar.

"Livia?" 

Gadis itu baru saja melintasi ruang tamu dan akan menuju Pintu rumah namun, berhenti saat namanya dipanggil seorang wanita. 

Dia menoleh ke samping dan melihat beberapa orang yang duduk berhadapan dengan orang tuanya. Saking terburu-burunya hingga Livia tak menyadari keberadaan mereka.

"Ya Ma, ada apa?" Sahut Livia pada wanita tadi, ibunya yang bernama Liana.

Dia tersenyum canggung saat dirinya kini menjadi pusat perhatian 5 orang di ruang tamu. 2 orang lainnya adalah ayah dan ibu nya.

"Kemarilah, Nak. Ada yang Papa ingin sampaikan." 

Livia memandang bingung pada orang tuanya, tapi akhirnya dia menurut dan duduk di tengah-tengah antara ibu dan ayah nya.

"A_ada apa sih Pa_Ma? Kok, serius banget?" Livia menatap tiga orang di hadapannya. Mereka sedang tersenyum manis padanya mau tak mau Livia pun ikut tersenyum pada mereka.

Mereka bertiga mungkin sekeluarga. Seorang wanita dan pria dengan senyum ramah, dan seorang laki-laki dewasa yang duduk di tengah itu adalah anak mereka. Wajahnya tegas dan terlihat berkharisma. Sifat yang mungkin menurun dari ayahnya.

"Lebih baik kamu kenalan dulu sama Om Amsol,  Tante Dewi dan putra mereka, Galen Sanjaya," Bima_ ayah Livia mengelus lembut punggung putrinya. "Ayuk, Sayang. Jangan diam saja, kenalan dong sama mereka."

Jujur, sampai saat ini pikiran Livia sedang mengambang memikirkan perihal ini. Untuk apa pertemuan ini? Dan jika boleh Livia katakan, dia cukup risih berada di posisi tersebut karena tatapan intens dari laki-laki yang bernama Galen itu.

"Hai, Om_Tente dan ... Kakak. Kenalin nama aku Livia Angelina, panggilan nya Livia." Sapanya sekaligus memperkenalkan diri dengan sedikit canggung.

"Kamu sangat cantik, Livia. Tante tidak sabar ingin punya menantu seperti kamu." Dengan gemas Dewi mencubit pelan pipi chubby Livia.

"Anak bungsu Pak Bima memang tak perlu diragukan lagi. Dia gadis impian banyak lelaki, termasuk anak saya pastinya. Hahaha ..." Canda Amsol tertawa kecil diakhir kalimat.

"Ah, Pak Amsol bisa saja," Jawab Bima terkekeh. Sedangkan Liana hanya tersenyum menanggapi itu.

"Galen, apa kamu tak mau menyapa calon istimu?" Amsol menyadarkan Putranya. "Ayo, jangan diam saja. Kalian akan menikah tapi, tak saling menyapa. Jangan terlalu kaku, lakukan pendekatan dengan Livia."

"Iya, anak muda sekarang ternyata lebih kaku daripada zaman muda kita. Sewaktu aku melamar istriku Liana, aku berusaha menunjukkan sikap jantelman di depannya," Bima mendapat tatapan malu dari istrinya.

"Iya, kamu benar Bima. Aku pun seperti itu dengan istriku. Tapi, waktu itu kami telah berpacaran selama 2 tahun lamanya sebelum aku melamarnya." Amsol ikut menimpali mengingat-ingat masa mudanya.

"Hais, kenapa kita jadi bahas masa lalu? Sudahlah itu telah berlalu, sekarang waktunya anak-anak kita yang merasakannya," potong Liana diangguki oleh Dewi.

"Biasalah Li, suami kita ini masih ingin kembali muda," ucap Dewi sembari mengelus puncuk kepala Galen. "Sayang, jangan melihat calon istrimu terus dong. Atau kalian ingin waktu bicara berduaan?" 

"Bolehkah?" Akhirnya suara laki-laki itu terdengar. Entah kepada siapa dia meminta izin? Namun, tatapan matanya itu terus menuju pada Livia.

"Ma_maaf, semuanya. Ini ada apa ya? Bisa kalian jelaskan? Livia tidak paham dengan ini?" Livia mencoba berpikir positif, tapi percuma saja. Dia cukup menangkap semuanya meski berkata dia tak paham. 

Livia hanya ingin mendengar penjelasan yang sebenarnya.

"Loh, kita sampai lupa mengatakannya. Begini sayang, Galen_laki-laki yang ada di hadapamu ini adalah calon suamimu. Kalian akan menikah 1 bulan lagi, tepatnya di hari ulang tahunmu," perkataan Liana sangat jelas hingga membuat dugaan Livia sejak tadi terbukti benar.

Kini, Livia berdiri dengan tangan mengepal. Menunduk menyembunyikan wajahnya yang memerah.

"Maaf, tapi aku tidak menerima perjodohan ini. Aku tidak ingin menikah dengan laki-laki yang tidak kucintai," penuturan yang tegas dan penuh penekanan itu terucap di bibir Livia. Meski ada nada getar namun, dia mencoba kuat dan tidak menangis saat ini. 

"Livia menolak tegas perjodohan ini! Permisi semuanya."

Derap langkah kaki yang berlari itu menuju keluar rumah meninggalkan keheningan yang baru saja dia ciptakan. Baru beberapa menit di ruang tamu itu terdengar canda tawa namun, semua musna ketika Livia memutuskan untuk menolak perjodohan itu. Bahkan Livia tak habis pikir. Tega sekali orang tuanya menerima tanpa meminta persetujuannya.

***

Bruk!

Suara tercipta dari dua orang yang bertubrukan. Livia yang berlari sambil menunduk tak sengaja menabrak seseorang.

"Maaf, aku tidak melihatmu," sesal Livia masih tetap menunduk karena menyembunyikan tangisannya.

"Eh, nggak apa-apa kok," Suara laki-laki. Berarti orang yang ditabrak Livia adalah laki-laki yang memakai sepatu bercorak merah putih yang dia lihat kini. "Kamu ... Lagi butuh sesuatu ya? Apa perlu aku bantu?"

Livia menghapus kasar jejak air matanya dan perlahan mengangkat pandangan menatap lelaki itu. 

"I_iya. Aku lagi cari Laki-laki yang bernama Aidan. Kamu tahu di mana dia?"

"Maksud kamu, Pak Aidan? Dosen Ekonomi itu, ya?" Tebak laki-laki itu.

"Ah, kamu benar sekali. Dia ada di mana, ya?" 

"Siang ini Pak Aidan sedang mengajar di ruang 3 ekonomi. Kamu tinggal lurus, naik ke lantai dua lalu belok kiri dan terakhir belok kanan. Kamu akan sampai di ruangan itu."

Livia bengong dengan mulut setengah terbuka. Pertama kalinya dia datang ke universitas itu dan dia buta arah. Bahkan jalan masuk ke gedung ekonomi saja dia telah tersesat. Dia sempat bertanya pada satpam penjaga kampus sebelumnya akhirnya bertemu dengan laki-laki berkacamata bulat di depannya ini.

"Mari saya antarkan ke sana," Laki-laki itu ternyata cukup peka dengan keterdiaman Livia.

Tak cukup 10 menit Livia dan laki-laki itu sampai di ruang 3 ekonomi.

"Pak Aidan masih mengajar, apa kamu mau menunggu?" Laki-laki itu bertanya.

Livia menatap dari luar pintu sosok laki-laki tinggi dan wajah yang dia puja sedang menerangkan sesuatu di papan tulis pada mahasiswanya. Saking fokusnya melihat itu, tak sadar air mata Livia menetes jatuh ke pipi  begitu saja.

"Hei, kamu gak pa-pa?" 

Suara Laki-laki itu membuat Livia terlonjak kaget.

"Ya Ampun ... aku baik-baik saja, Kak. Terima kasih sudah mengantarku ke sini. Aku akan menunggu di sini sendiri." Ada penekanan di akhir kata. Livia ingin sendirian.

"Ba_baiklah. Saya tinggal dulu, ya," Laki-laki itu tersenyum sebelum akhirnya dia melangkah pergi dari sana.

Livia duduk di kursi tunggu sembari menunduk dalam. Lagi-lagi dia menangis tersedu-sedu meski suara tangisnya tak terlalu keras.

"Kamu butuh ini?" sebuah tangan yang memegang sapu tangan terulur ke hadapan Livia. Beberapa saat Livia mematung membiarkan sapu tangan itu tetap menggantung di tangan orang itu. "Baiklah ... Aku yang akan menghapus air mata ini. Marmutku tidak boleh menangis."

Akhirnya Livia mengangkat wajah dengan air mata berderai. Tatapan Livia beradu dengan mata hitam milik kekasihnya yang selalu memancarkan kehangatan, "Aidan .... "

Bersambung....

Hai, jangan lupa terus dukung author agar semangat melanjutkan kisah mereka ya. Maaaciiw^_^

avataravatar
Next chapter