27 27. Ancaman Dua Sisi

"Terima kasih untuk malam ini, El," ucap Aletha pada Eljovan, saat ini mereka berdiri di depan pintu.

"Sama-sama, semoga kamu bisa lebih menerima masa lalu dan berjalan di kehidupan sekarang," balas Eljovan.

"Aku akan mencobanya, memang berat melupakan. Tapi yang pasti, aku bisa melewati semuanya." Seutas senyum tersungging di wajah Aletha.

"Ya sudah, selamat beristirahat."

"Kamu juga," balas Aletha.

"Selamat malam."

"Malam juga, El."

Eljovan tersenyum lebar, Aletha menutup pintu rumahnya. Saat berbalik Eljovan terkejut melihat Chiraaz berdiri di depan pintu lift. Dari tatapannya saja istrinya itu menampakkan kekecewaan yang mendalam.

'Sejak kapan dia di sana?' Eljovan bertanya dalam hatinya.

Panas hati Chiraaz melihat Eljovan keluar dari rumah Aletha. Ia ingin melabrak wanita itu, tapi Chiraaz sadar hal tersebut tidak disukai suaminya. Bumi yang dipijaknya seakan runtuh, Chiraaz benar-benar merasa cemburu.

Di depan pintu rumah Aletha, Eljovan masih menunggu Chiraaz yang berjalan pelan ke arahnya. Dengan sikap tenang dan biasa saja, Eljovan tahu Chiraaz sedang cemburu. Saat mereka semakin dekat, Eljovan merentangkan tangan hendak memeluk istrinya. Akan tetapi, Chiraaz hanya melemparkan tatapan sinis dan melewatinya begitu saja.

"Hei, ada apa denganmu sayang?" tanya Eljovan berjalan mengiringi Chiraaz.

"Aku bekerja di luar sana dan kamu berduaan dengan wanita lain di sini? Luar biasa, El," sahut Chiraaz datar.

"Dia itu tetangga baru kita, Chiraaz. Ehem, kamu cemburu."

"Tidak!"

"Bohong." Eljovan terkekeh pelan.

Chiraaz hanya diam malas menanggapi, hatinya sangat kesal pada sang suami. Eljovan memperhatikan kunci yang ada di tangan Chiraaz. Matanya melihat ada bercak darah di pakaian istrinya.

"Chiraaz, darah apa itu?" tanya Eljovan.

Degh!

Chiraaz yang terkejut sontak menghentikan langkahnya. Matanya melirik pada tangan Eljovan yang menunjuk pakaiannya. Ia tidak sadar jika ada darah yang menempel di sana, mendadak ia merasa gelisah.

"Kenapa kamu diam?" tanya Eljovan.

"Eh, itu anu El. Tadi--."

"Ada apa? Kamu terluka?" Eljovan memeriksa keadaan Chiraaz.

"Tidak, aku tadi menolong Merry, temanku," jawab Chiraaz berbohong.

"Benarkah?"

"Iya," jawab Chiraaz singkat. Dalam hatinya ia berkata tidak mungkin jujur pada Eljovan. Jika suaminya itu tahu dirinya berduaan dengan seorang pria di sebuah rumah. Apa pendapatnya nanti.

"Kunci mobil ini?" Eljovan menunjuk kunci di tangan Chiraaz.

"Oh, ini, aku dapat fasilitas dari kantor. Hari ini kami menang projek besar, El."

"Waaawww congrats my wife."

"Thank sayang, aku lelah sekali, El," kata Chiraaz sambil mengusap tengkuknya.

Tiba-tiba Eljovan menggendong tubuh Chiraaz. "Baiklah, mari kita beristirahat," ucapnya.

"El, turunkan aku. Malu!" seru Chiraaz menepuk bahu Eljovan.

"Tidak ada siapa-siapa di sini, tenang saja." Eljovan mengedipkan sebelah matanya. Chiraaz tersenyum lebar dan merebahkan kepala di dada bidang suaminya.

'El, aku harap ini bukan sekadar mimpi. Aku ingin semua tetap berjalan seperti ini dalam rumah tangga kita,' ucap Chiraaz dalam hatinya.

***

Di rumahnya Edward tengah berbaring, sekujur tubuhnya baru terasa sakit, sehingga ia terpaksa memanggil dokter pribadi dan meminta obat. Berharap Chiraaz akan menemaninya malam itu, ternyata Chiraaz malah menolak dan pergi begitu saja. Edward hanya ingin ditemani minum sepanjang malam, ia ingin lebih dekat dengan Chiraaz.

"Sialan, dia salah paham. Dia pikir, aku lelaki macam apa," gerutu Edward.

Pria itu mencoba memejamkan matanya, akan tetapi bayang wajah Chiraaz seperti lukisan hidup di matanya. Entah kenapa ia sangat menyukai segala sesuatu tentang Chiraaz. Baik ketika menjadi karyawan, maupun di luar pekerjaan.

Sudah lama Edward tertarik pada Chiraaz, tapi otaknya masih cukup waras mengingat wanita itu telah bersuami. Semakin Chiraaz berontak padanya, Edward merasa tertantang menaklukan hati wanita itu. Sejauh ini semua rencananya mengerjai Chiraaz sudah berhasil.

"Hanya sedikit lagi Chiraaz, hidupmu akan lebih dekat denganku," gumam Edward, seutas senyum tersungging dari bibirnya.

***

Chiraaz dan Eljovan sudah berbaring di kasur. Seperti biasanya Eljovan selalu membuka laptop sebelum tidur. Chiraaz melirik suaminya yang sibuk dengan benda kotak di depannya. Hatinya kesal karena Eljovan membiarkannya marah.

"Dasar laki-laki nggak peka," gerutu Chiraaz.

"Apa sih, aku dengar loh." Eljovan menyahuti gerutuan istrinya.

"Kamu tuh nggak peka ya, El!" seru Chiraaz.

Eljovan menoleh pada Chiraaz, ia melepaskan kacamata dan menyimpan laptopnya. "Apa? Karena kamu melihatku keluar dari rumah Aletha?"

"Hmmm." Chiraaz memutar bola matanya malas.

"Tadi Aletha ke sini bawa sup. Dia kira kamu sudah pulang dan mengajak makan malam. Tapi, aku yang tiba-tiba datang mengejutkannya. Sup itu tumpah ke bajunya dan aku merasa bersalah, Chiraaz." Eljovan mencoba menjelaskkan.

"Lantas, kalian makan malam berdua, begitu?"

"Ya, habisnya kamu juga belum pulang. Aku pikir daripada bosan, lebih baik--."

"Sudahlah, kamu nggak punya perasaan sekali. Membicarakan wanita lain di depanku." Chiraaz membalikkan badan membelakangi Eljovan.

"Yah, jangan marah dong."

"Udah, aku capek, ngantuk, aku mau tidur saja!"

"Hmmm, ya sudah. Aku cuma kasihan sih, ternyata dia punya masa lalu seberat itu. Keasyikan cerita jadi lupa waktu," kata Eljovan.

Degh!

Telinga Chiraaz seperti tertusuk pisau tajam, entah apa yang sudah Aletha ceritakan pada suaminya. Chiraaz ingin berbalik dan bertanya, tapi ia takut Eljovan curiga. Beberapa saat terdiam menunggu Eljovan bercerita lagi, Chiraaz hanya mendengar suara keyboard yang di ketik.

Hatinya semakin gelisah mengingat semua yang ia lalui hari ini. Permintaan Edward untuk bermalam dan pertemuannya dengan Aletha. Sekujur tubuhnya terasa panas, Chiraaz bangun dari tidurnya dan berjalan keluar kamar.

"Chiraaz, kenapa?" tanya Eljovan.

"Panas," jawabnya singkat.

"Panas?" Eljovan langsung melihat suhu AC di remote nya. "Temperatur setinggi ini dan dia masih kepanasan? Aneh," gumamnya.

Chiraaz membuka kulkas lalu mengambil air dingin di botol. Tenggorokannya yang dahaga langsung terasa segar. Helaan napas terdengar berat dari indera penciumannya. Saat ini Chiraaz merasa keadaannya sedang tidak baik.

"Fayaaz, cuma dia yang bisa bantu aku," gumamnya.

Beberapa saat Chiraaz terdiam memikirkan sesuatu. Secepatnya ia harus menyingkirkan Aletha dari apartemennya. Karena selama ada wanita itu, hatinya tidak akan tenang. Chiraaz berjalan ke ruang tv, lalu mengambil ponsel dan mengirimkan pesan pada Fayaaz.

[Fayaaz, besok sore kita bertemu di tempat biasa.]

Usai mengirimkan pesan pada sahabatnya, Chiraaz segera masuk ke dalam kamar. Ekor matanya melirik Eljovan yang masih sibuk dengan laptop. Pria itu tidak meliriknya sama sekali, Chiraaz akhirnya memutuskan untuk berbaring lagi.

Saat tengah mencoba memejamkan mata untuk tertidur. Chiraaz mendengar ucapan Eljovan yang terputus-putus menyebut nama Aletha. Sesekali pria itu menarik napas panjang, seakan memiliki masalah yang sangat berat.

"Semoga keadilan yang kamu tuntut segera didapat, Aletha. Kamu wanita hebat, punya tekad kuat. Semoga wanita pengganggu itu akan mendapatkan balasannya," ucap Eljovan.

avataravatar
Next chapter