26 26. Pembicaraan Jebakan

Tok, tok, tok.

Aletha mengetuk pintu rumah Eljovan, beberapa saat pintu masih belum dibuka. Aletha menunggu dengan sabar lalu mencoba mengetuk pintu kembali.

"Mungkin dia belum pulang," gumamnya.

"Aletha." Suara Eljovan sontak membuat Aletha terkejut, sehingga mangkuk sup yang dipegangnya goyang dan mengotori pakaiannya.

"Ahh, El, maaf," ucap Aletha.

"Ya ampun baju kamu jadi kotor." Eljovan merebut mangkuk sup dari tangan Aletha.

"Tidak apa-apa, biar saya pulang saja," kata Aletha menepis tangan Eljovan yang berusaha membantunya. Ia pun berlalu menuju rumahnya.

Eljovan menatap sup mangkuk di tangannya, Aletha sudah masuk ke dalam rumahnya. Eljovan merasa bersalah pada wanita itu, setelah menerima pesan lantas ia tidak menjawabnya. Seutas senyum tersungging dari sudut bibirnya, ia pun masuk ke dalam rumah.

***

Chiraaz dan Edward duduk berdampingan, saat ini mereka tengah menikmati vodka yang merupakan minuman favorite Edward. Suasana balkon yang dihiasi lampion kecil, juga pemandangan indah kota menambah keromantisan yang ada. Edward senang bisa menikmati waktu berdua dengan Chiraaz.

Akan tetapi pria itu tidak tahu bahwa Chiraaz sangat gelisah, Chiraaz takut Eljovan semakin mencurigainya jika terus terlambat pulang. Edward menyimpan gelasnya di meja, matanya menatap lekat pada Chiraaz. Sebagai lelaki normal, Edward mengagumi kecantikan wajah wanita itu.

"Kamu seperti gelisah, Chiraaz?" tanya Edward.

"Tentu, Ed," jawab Chiraz jujur.

"Ada apa?"

"Pantaskah kita berduaan di rumah ini? Sementara aku sudah menikah." Pandangan Chiraaz lurus ke depan, ia tidak ingin bertatapan dengan Edward.

"Kamu ini, memangnya apa yang kita lakukan? Kita hanya makan malam dan bicara, lagipula di rumah ini ada cctv." Edward mengarahkan jari telunjuk ke dekat lampion yang ada di sudut balkon.

"Ya ampun." Chiraaz mengusap wajahnya dengan kasar.

"Santai saja Chiraaz," kata Edward.

"Ini di luar jam kerja, Ed. Aku ingin bertanya padamu."

"Tanyakan saja."

"Kenapa kamu begitu senang mengerjaiku? Apa kesalahanku padamu? Ap--apa aku kurang maksimal dalam bekerja?" cecar Chiraaz.

Edward tersenyum tipis penuh arti, ia menuangkan lagi vodka ke gelasnya. "Kenapa wanita diciptakan untuk bicara cepat," ucapnya.

"Untuk membungkam pria menyebalkan sepertimu, Ed."

"Ya, kecerewetan kalian itu membuat para pria sangat pusing."

"Jangan mengalihkan pembicaraan, Ed. Jawablah pertanyaanku!" seru Chiraaz kesal.

"Oke," jawab Edward terkekeh pelan. Chiraaz memutar bola matanya malas.

"Begini, sebagai seorang bos, aku hanya ingin memiliki karyawan yang cekatan dan terampil dalam melakukan pekerjaannya. Kamu, sudah berhasil melewati itu," lanjut Edward menjawab pertanyaan Chiraaz.

"Hmmm, baiklah. Pada kesimpulannya aku karyawan yang baik," sahut Chiraaz.

Edward menyinggingkan senyum lebar seraya mengendikkan bahunya. Mereka berdua terdiam menikmati minuman di gelas masing-masing. Otak Chiraaz masih terpikirkan soal surat pengadilan, Chiraaz ingin bertanya tapi ragu.

"O yah, soal surat pengadilan itu," kata Edward.

"Iya, apa bagaimana? Pak?" Refleks Chiraaz antusias, wajahnya tidak dapat ia sembunyikan.

"Sudah kuduga kamu menunggu pembahasan ini." Edward menyunggingkan seringai tipis.

Chiraaz hanya diam menelan ludahnya, ia merasa malu ketahuan.

"Aku ada sedikit penawaran," kata Edward.

"Iya?" Sebelah alis Chiraaz terangkat, wajahnya semakin tegang.

"Bermalam bersamaku di sini, menghabiskan waktu bersama layaknya orang dewasa. Setelah itu aku--."

Plaaakk!

"Apa otakmu sudah tidak waras, Ed!" Chiraaz memotong ucapan Edward yang belum selesai dan menghadiahkan sebuah tamparan.

"Aku belum selesai bicara, hei," kata Edward mengelus pipinya.

"Stop it! Silahkan tunjukkan saja surat pengadilan itu. Jika kamu pikir bisa mengancamku dengan hal itu, kamu sangat salah Ed," kata Chiraaz dengan nada tegas.

"O yah?" ejek Edward.

"Aku pikir, kamu pribadi yang berbeda. Tapi ternyata kamu sama saja seperti pria lain, yang memanfaatkan ketidakberdayaan seorang wanita," ucap Chiraaz, air matanya meluncur turun. Ia bangkit dan meraih tas nya, ia berlalu begitu saja meninggalkan Edward.

"Chiraaz, tunggu," panggil Edward menyusul Chiraaz yang mulai menuruni tangga. "Hei, dengarkan dulu ucapanku Chiraaz."

"Sudahlah, terima kasih untuk makan malamnya," sahut Chiraaz diiringi isak tangis yang tidak tertahan. Mendengar perkataan Edward, ia sangat terluka dan semakin merasa dilecehkan oleh seorang pria.

"Kamu itu kenapa sulit sekali diajak bicara baik-baik, aku hanya ahhhh."

"Pak Edward!"

Chiraaz terkejut saat melihat Edward jatuh di tangga dan tubuhnya terus berguling ke bawah. Karena tidak seimbang saat mengejar Chiraaz, kaki Edward tersandung satu sama lain. Chiraaz segera turun ke bawah memastikan keadaan Edward.

"Astaga, Pak Edward berdarah!" pekik Chiraaz panik melihat darah di dahi Edward.

"Aku tidak apa-apa, Chiraaz, ahhh." Edward menahan keningnya.

"Maa--maafkan saya Pak Edward," ucap Chiraaz. "Ayo, kita duduk dulu. Di, di mana kotak p3k?"

"Ada-- di dapur."

"Oke, oke, sekarang anda-- kamu-- duduk saja dulu," kata Chiraaz dengan nada gugup. Ia pun memapah Edward untuk duduk di sofa.

Setelah Edward duduk di sofa, Chiraaz bergegas ke dapur dan mencari kotak pertolongan pertama. Saat tengah sibuk mencari kotak tersebut, ponselnya yang ada di dalam tas berdering. Chiraaz merasakan getaran tersebut tapi tidak diindahkannya.

Saat ini ia hanya ingin menolong Edward yang tengah terluka. Matanya berpendar ke sekitar dapur, kotak pertolongan pertama langsung ia ambil dari tempatnya. Dengan cepat ia kembali dan mengobati luka Edward yang terus mengeluarkan darah.

"Pak, sepertinya luka anda terlalu dalam. Kita ke rumah sakit sajja," kata Chiraaz.

"Tidak usah, kemarikan saja obat merah," sahut Edward.

"Tapi, Pak."

"Ah." Edward merebut kontak p3k dari tangan Chiraaz.

"Maafkan saya, Pak."

"Diamlah, ambilkan tisue," pinta Edward.

Chiraaz meraih tisue di meja, membersihkan darah di kening Edward perlahan. Melihat banyaknya darah, Chiraaz merasa sangat bersalah. Pelan-pelan ia mengusap kening Edward, wajah pria itu nampak menahan rasa sakit.

***

Eljovan mengetuk pintu rumah Aletha, pria itu kembali dengan membawa makan malam di nampan. Aletha nampak kebingungan melihat Eljovan yang kembali ke rumahnya.

"El, ada apa?" tanya Aletha.

"Aku ini meminta maaf," ucap Eljovan seraya menyodorkan sushi di tangannya.

"Waaw bagus sekali," puji Aletha melihat sushi yang nampak menggiurkan.

"Maaf, tadi tidak sempat membalas pesan. Karena aku pikir, aku akan--." Eljovan menghela napas dalam.

"Kenapa?"

"Karena aku pikir, aku akan makan malam bersama Chiraaz. Tapi, dia masih bekerja dan belum pulang," jawab Eljovan. Ia memaksakan seutas senyum tersungging dari bibirnya.

"Masih bekerja selarut ini?" Aletha melirik jam yang ada di dinding.

"Begitulah," sahut Eljovan singkat.

"Eh, tunggu dulu, El. Kamu mau minta maaf, untuk apa?" tanya Aletha.

"Karena sudah membuatmu terkejut sampai terkena tumpahan sup."

"Ya ampun." Aletha terkekeh pelan, ia menggelengkan kepalanya dan mengajak Eljovan masuk ke dalam rumah.

Eljovan baru menyadari bahwa Aletha sudah memakai pakaian tidur berbentuk dress yang menampakan kaki mulusnya. Eljovan menelan ludah dan menggelengkan kepalanya.

'Apa yang kau pikirkan, El.' Bisik hatinya.

avataravatar
Next chapter