13 13. Kecurigaan Chiraaz

"Tidak, aku ingin memberikannya nanti saat kita menikah," tolak Chiraaz mendorong tubuh Abi lalu berdiri di samping jendela.

"Kita akan menikah, Chiraaz," rayu Abi.

"Bagaimana mungkin kita menikah. Kamu saja belum membawaku bertemu keluargamu," rajuk Chiraaz.

"Sabar ya, sebentar lagi." Abi memeluk Chiraz dari belakang. Lidahnya bergerilya di leher Chiraaz, wanita itu hanya mampu memejamkan matanya.

"Emhh, kamu sungguh akan menikahiku?" tanya Chiraaz, menghentikan aktifitas mereka.

"Bagaimana bisa aku menyia-nyiakan wanita sebaik kamu," jawab Abi.

"Tapi, kita masih berbeda keyakinan, Abi." Chiraaz berbalik menatap kekasihnya.

"Apa masalahnya? Tidak masalah jika berbeda keyakinan. Sebab, aku sebagai pemimpin yang akan jadi nasab anak-anakmu nanti." Abi menyungingkan senyum lebar, tatapannya liar pada gundukan gunung kembar Chiraaz yang sedikit menyembul.

"Bagaimana dengan keluargamu?" Chiraaz masih terus bertanya untuk meyakinkan dirinya.

"Mereka semua tergantung padaku. Selama uang mengalir, maka akan lancar saja urusanku dengan mereka."

"Oh, begitu. Tapi tunggu, Abi."

"Apalagi, Chiraaz." Abi mulai dongkol dengan sikap Chiraaz yang terus menolaknya.

"A--aku-- belum pernah melakukan ini dengan siapapun. Jadi-- emh," ucap Chiraaz malu-malu, semburat mera terlihat jelas di wajahnya. Ia pun menundukkan kepalanya.

"Tenang saja Chiraaz, aku akan membawamu menikmati surga dunia," sahut Abi.

"Kata-- temanku, hal itu sakit, Abi."

"Nikmatilah apa yang akan aku lakukan. Sampai kamu tidak akan merasa sakit. Bahkan, akan memintanya lagi," goda Abi tidak sabar. Tidak memberikan Chiraaz sedikit jeda, Abi pun melumat bibir kekasihnya.

Perasaan Chiraaz saat itu tengah berdebar kencang. Selama menjalin kasih dengan Abi, tidak ada yang pernah mereka lakukan selain mengobrol. Baru setelah Abi membelikannya apartemen, mereka berani melakukan lebih, walau sekadar ciuman saja.

Abi memainkan lidahnya dengan sangat liar di mulut Chiraaz, sampai wanita itu merasakan desiran hebat di sekujur tubuhnya. Abi mengangkat tubuh Chiraaz dan menggendongnya ke atas kasur, tanpa melepaskan mulutnya.

Perlahan tangannya yang nakal, mulai merangsek masuk ke dalam baju tidur Chiraaz dan meremas buah kenyal yang tersembunyi. Chiraaz tidak bisa berpikir jernih, otaknya hanya bisa merasakan sensasi yang meledak-ledak. Tanpa ia tahu harus dilampiaskan dengan apa.

"Emmmhh, emmhh aaahh." Hanya suara itu yang mampu Chiraaz keluarkan dari mulutnya. Perlakuan Abi padanya benar-benar membuatnya merasa gila.

"Apa aku bilang, kamu senang, kan?" Abi menghentikan kenakalannya dan menindih Chiraaz.

"Heem," jawab Chiraaz semakin malu, napasnya mulai terengah-engah.

Abi membuka pakaiannya lalu melucuti pakaian Chiraaz dan tubuhnya nampak mulus terawat. Ia menindih tubuh Chiraaz dan menggesekkan menara keperkasaannya di ladang Chiraaz yang sudah basah.

Tidak sabar lagi merasakan nikmatnya surga dunia, Abi memasukkan menara keperkasannya. Menarik tubuhnya maju mundur dengan pelan. Chiraaz meremas seprai saat benda asing itu memasuki bagian kehormatannya. Meski sakit tapi tidak seberapa karena Abi membuatnya rileks.

Hari itu adalah hari di mana Chiraaz menyerahkan kesuciannya pada pria yang sangat dicintainya. Setiap kali bertemu, mereka akan melakukan ritual tersebut sepanjang hari. Sampai semua spot di apartemen sudah mereka coba.

Cinta Chiraaz dan Abi sangatlah indah, sebelum semua tragedi itu menimpa hidup mereka dan sepasang kekasih itu harus merelakan cintanya tidak bersemi sampai pernikahan.

Flashback off.

"Chiraaz, kenapa malah diam? Kamu marah sama aku ya?" tanya Eljovan.

"Sudahlah, El, aku lelah ingin tidur. Lagipula besok aku harus bekerja," kata Chiraaz, saat ia hendak membaringkan tubuhnya ke kasur.

"Kerja apa di hari libur!" Eljovan menggerutu ambil membanting bucket bunga dan boneka yang tidak diterima Chiraz ke atas nakas. Pria itu kesal, karena ingin bercinta malam ini. Akan tetapi Chiraaz malah menolaknya.

Chiraaz terkesiap mendengar gerutuan suaminya, ia lupa bahwa besok adalah hari libur. Melihat bunga dan boneka di nakas, Chiraaz merasa bersalah. Tapi saat ini pikirannya sedang tidak ingin memikirkan hal itu. Urusan dengan wanita yang menuntutnya lebih penting.

Kesal dengan sikap istrinya, Eljovan keluar kamar sambil membanting pintu. Chiraaz mengambil bantal dan menutup telinganya. Ia kembali menangis meratapi nasibnya, kenapa di saat dirinya ingin menjalani kehidupan dengan tenang bersama Eljovan. Ada saja gangguan yang menerornya.

***

Pagi hari saat Chiraaz terbangun, ia kaget tidak melihat suaminya ada di sana. Bahkan area sebelahnya masih rapi, seperti Eljovan tidak pernah tidur di sana. Chiraaz buru-buru bangkit dan berlari keluar kamar mencari Eljovan.

Ruang tamu, dapur, ruang tv semuanya kosong. Bahkan mertuanya juga tidak terlihat di kamarnya. Chiraaz semakin panik, ia bingung apa yang terjadi sebenarnya.

"Astaga, ke mana mereka berdua? Tidak biasanya seperti ini," gumam Chiraaz sambil merapikan rambutnya.

Saat ia menoleh ke arah meja, ada catatan kecil di sana. Ia segera mengambilnya, ternyata itu dari Nyonya Merry yang meninggalkan pesan. Mertuanya itu menuliskan sedang pergi jalan-jalan bersama temannya selama lima hari.

"Mams, pergi jalan-jalan. Berati uang yang kemarin dia minta itu karena ini?" gumamnya lagi kesal.

Chiraaz menghela napas dalam-dalam. Ia tidak menduga mertuanya bisa seegois itu. Saat tengah berpikir, pintu depan terdengar terbuka. Chiraaz buru-buru berjalan ke depan, benar saja Eljovan baru pulang.

Senyum merekah tersungging dari bibir Chiraaz. Eljovan baru saja pulang jogging pagi. Namun, senyum Chiraaz hilang seketika saat melihat Aletha mengikuti suaminya dari belakang. Wanita itu juga mengenakan pakaian olahraga.

"Selamat pagi sayang," sapa Eljovan.

"Pagi, El," sahut Chiraaz datar.

"Kamu baru bangun ya, Mama?"

"Mama pergi dengan temannya." Mata Chiraaz terus melirik pada Aletha.

"Pagi Nyonya Chiraaz, apa kabar anda hari ini?" Wanita itu menyapa dengan ramah.

"Baik," jawab Chiraaz singkat, dipaksakannya wajahnya untuk mengulumkan senyum tipis.

"Kamu tadi mau aku ajak jogging. Tapi sepertinya kamu pulas, aku jadi tidak tega membangunkan," kata Eljovan.

Mereka bertiga duduk di ruang tamu.

"Nyonya Aletha, kalau ada perlu apa-apa. Jangan sungkan meminta tolong ke sini. Kalau saya senggang, pasti saya akan bantu," kata Eljovan pada Aletha.

"Terima kasih atas bantuannya, El," sahut Aletha.

Chiraaz terkejut mendengar Aletha menyebut nama panggilan Eljovan. Selama ini tidak pernah ada yang berani seperti itu pada suaminya.

"Tidak masalah, o yah pagi ini kita sarapan bersama. Biar saya saja yang masak. Sayang, kamu temani Nyonya Aletha ngobrol, ya," kata Eljovan.

Chiraaz menganggukkan kepala sebagai jawaban. Eljovan berpamitan untuk menyiapkan sarapan. Sudah menjadi kebiasaannya jika sedang libur, ia akan memasak di dapur untuk istri dan ibunya.

Saat ini hanya ada Aletha dan Chiraaz berdua saja. Chiraaz tidak sanggup lagi berpura-pura manis di depan Aletha. Wajahnya langsung berubah sengit, menampakan ketidaksukaannya pada wanita itu.

"Mau apa kau datang ke sini?" tanya Chiraaz sengit, nada bicara terdengar dingin.

"Bertamu, sebagai tetangga saja," jawab Aletha santai, wajahnya menyunggingkan senyum lebar.

"Bukan itu maksudku!" seru Chiraaz.

"Maksud anda apa?" Aletha kebingungan melihat raut muka Chiraaz yang masam.

"Kau ke sini mau mengambil suamiku, kan? Jangan berpura-pura polos di depanku," tuduh Chiraaz.

avataravatar
Next chapter