1 Melawan Takdir

Ruangan temaram dan sepi menemani pria yang kesakitan, suara teriakannya menggema di suatu sudut ruangan. Angin yang runtut mengibas-ngibas hordeng diiringi samar-samar rintik hujan di luar penthouse.

August – ia berlutut dengan kedua tangannya mengepal kuat, kepalanya terasa sangat sakit seperti jiwa ditarik dari atas. Keringat membasahi seluruh wajah, dahi, hidung hingga leher. Lelaki itu tidak bisa bergerak.

"Sakit sekali." August melirih hampir-hampir tak terdengar.

Lalu pria itu mencengkeram sofa, berpaut – untuk membantunya berdiri. Sayangnya usaha yang dilakukan sia-sia. Beranjak pun ia tak mampu. Beberapa kali August menggeram, perlahan embusan napasnya mulai tersengal.

Ia akan melawan takdir hari ini, tetapi August melupakan tubuhnya yang terus membutuhkan darah sebagai santapan. Tubuh gagahnya ambruk ke lantai – August memulai lagi dengan merangkak, lelaki itu hendak menuju dapur ingin mengambil bungkusan darah dalam lemari khusus penyimpanannya.

Usaha yang gagal, ia tak mampu lagi ke mana-mana.

"Takdirku berakhir di sini." Ucapan pria penunggu penthouse sebelum mata uniknya menutup.

Di waktu yang sama, ketukan pintu dari luar kediaman August tak henti-hentinya terdengar. Serta seorang laki-laki mengumpat tak kalah kerasnya.

"Sial. Di mana access cardnya." Umpatan yang terlanjur mengiringi sembari mencari kunci masuk penthouse. Bisa di katakan dia orang terpercaya August. "Dapat kau kartu kurang ajar." Imbuhnya masih kesal.

Zay. Ia dipercaya menemani pria yang keras kepala dan selalu menolak takdir yang mengikat. Sudah lima hari semenjak terakhir kali August meminum darah, bahkan kantong-kantong darah tersebut tersusun rapi yang sengaja Zay siapkan.

Dengan cepat Zay mencari keberadaan temannya setelah akses pintu terbuka.

"Sudah kuduga," katanya. Ia berlari menghampiri August – pria di sana terbaring dengan posisi menghadap ke kanan, tepat di samping sofa. "Kau bahkan tidak lebih dari seorang pengecut." Lalu kedua belah tangan Zay membawa pemuda yang tak sadarkan diri itu.

Zay kemudian bergegas menuju Blood Bank Refrigerator, tempat khusus penyimpanan darah milik pria keras kepala. Seperti tanpa dosa, Zay membuka mulut August yang terkesan terpaksa, menggunakan dua jarinya untuk menekan pipi kiri dan kanan. Kemudian menuangkan darah dari dalam kantong tepat ke mulut August.

Seusai meminum, tubuh yang telentang terlihat berubah – cukup tenang tetapi masih terkulai lemas. Bekas darah tampak tersisa dari sudut-sudut bibir.

"Aku akan membantumu ke kamar." Kata Zay mendapati temannya membuka mata yang sayu. Mata unik August melirik lemah, pasrah menuruti perlakuan penolongnya.

August menjadi diam setelah berbaring di atas ranjang. Rasa sakit yang menyiksa berangsur hilang. Ia memerlukan waktu untuk mengistirahatkan tubuh aneh itu.

"Aku sudah mengira hal ini bakal terjadi. Kenapa kau tidak mengantisipasinya? Kau akan terus melawan takdir, hah?" Zay mengoceh sendiri di sebelah August yang terbaring nyaman.

Pada akhirnya Zay si pemuda berambut sedikit pirang mencari tempat empuk untuk beristirahat, pula menunggu anak keras kepala di sana bangun. Sembari mengurangi rasa bosan, laki-laki itu membuka ponsel.

(Zay. Ada kerjaan untukmu. Aku meminta jasa otak pintarmu itu membantu sesuatu) baru saja Zay membuka handphone, saudara sepupunya mengirimkan pesan teks.

"Dengan gratis?" Ia menyepelekan.

(Imbalan yang kuterima?) balasan pesan dari Zay, seiring mengangkat senyuman liciknya.

(Apapun yang kau mau) saudara sepupu membuat pria yang sering memanfaatkan keadaan semakin tertarik.

(Setuju. Beritahu saja apa yang akan kuperbuat)

***

Suara game online dari telepon pintar milik Zay memenuhi kamar pemilik penthouse. Entah berapa jam ia bermain – dengan santai sambil sesekali memantau temannya.

"Ah… aku bosan. Benar-benar bosan," Zay menoleh pada ranjang August. "Kapan kau akan bangun? Cepatlah sadar, sudah dua belas jam kau tidur seperti itu. Kau tidak kasihan padaku? Mataku sakit karena main ponsel terus." Zay pemuda yang pintar tetapi sering mengomel sampai membuat pendengar menutup telinga. Hanya saja kali ini August sedang tertidur, tak perlu membuang tenaga untuk menutup telinga.

Kejenuhan tak berujung mendatangkan rasa kantuk, bahkan ia menguap sebanyak tiga kali. Zay membuang ponselnya ke sembarang arah, mencari posisi ternyaman untuk tidur – berbaring di sofa bed seperti orang gelisah.

"Yang benar saja. Mana ada manusia tidur selama itu," gerutunya yang entah keberapa. "Aku lupa kalau kau bukan manusia, Gust."

Pemuda berambut sedikit pirang itu berusaha menutup mata, nyatanya ia telah pulas menyeberangi alam yang luas. Tanpa sadar Zay tertidur juga. Mimpi indah siap menghampiri – jika ia memiliki keberuntungan.

Belum lama teman setia pemilik penthouse terlelap – August pun terbangun dari tidurnya. Tubuh yang seolah akan mati tadi seketika menjadi normal kembali. Tatapan bingung dari pria di atas ranjang seperti bertanya sekaligus mengingat apa yang terjadi dua belas jam sebelumnya.

"Zay. Zay. Bantu aku bangun." August memanggil lemah.

Tidak ada sahutan dari pengguna sofa bed di depan. Mungkin sebentar lagi ia bangun, August tak akan mempersalahkan. Lima belas menit sudah untuk pemilik penthouse menunggu teman semasa kecil terjaga.

"Sepertinya bukan aku yang pasien di sini." August bergumam kesal. Penantiannya sia-sia.

Menit ketiga puluh, barulah terlihat tanda-tanda pergerakan Zay yang menggeliat. Matanya perlahan terbuka, melayangkan pandangan ke sekitar, ia belum sadar sepenuhnya, mungkin setengah jiwanya masih berkeliaran di alam mimpi.

Lalu Zay melabuhkan tatapannya pada seseorang di atas ranjang – August yang lemah. Mata itu berkedip beberapa kali, sedang mengenali pemuda di hadapannya.

Seperti terbesit sesuatu, Zay segera mengingat siapa laki-laki di sana, bahwa teman masa kecil baru saja terbangun dari tidur panjangnya.

Bergegas Zay mendekat kemudian menyodorkan gelas berisi cairan kental, gelas biru pekat yang bisa menyamarkan warna darah, ia hendak mengelabui August. Jika diberikan secara terang-terangan August pasti menolak dengan tegas, menyatakan jika dirinya sedang berusaha menjadi manusia.

Mengkonsumsi darah sama saja memberi peluang jiwa itu kembali.

"Minumlah." Suruh Zay.

August tampak ragu. Ia menaruh curiga pada si teman.

"Zay. Aku tidak mau, aku mau air biasa." Balas August. Ia mengetahuinya dari aroma darah yang khas.

"Kau tahu, Gust. Tubuhmu bisa pulih seperti ini karena meminumnya," arah pandangnya menunjuk gelas yang digenggam. "Kau tidak bisa terus-menerus melawan kodratmu yang sudah ditentukan." Zay menghela napas. "Kurasa kau lebih tahu daripada aku."

"Aku tidak suka dengan tubuh ini, Zay. Tubuh aneh yang ketergantungan terhadap darah." August menyingkirkan selimut dari tubuhnya.

"Lalu kau tidak akan meminum darah lagi? Begitu? Kau tidak ingat kemarin kau seperti orang setengah mati? Kau ingin kesakitan seperti orang gila setiap saat?" perkataan Zay meninggi. "Apa salahnya meminum darah empat hari sekali. Sekali saja. Hanya untuk menjaga tubuhmu agar tidak berulah." Ia tak bisa mengontrol amarah.

Laki-laki berambut sedikit pirang beringsut, ia menjauh, mencomot tas pada sisi sofa bed. Langkah Zay menuju pintu, ia akan pergi dari penthouse ini.

"Kau mau ke mana?" August bertanya dengan menatap Zay aneh.

avataravatar
Next chapter