3 Part. 3 Salah minum obat ?

"Pak saya sudah sampai diapartemen Bapak, apartemennya lantai berapa dan unit berapa?" Aku masih kebingungan karena lupa menanyakan lantai berapa tadi, yang aku tahu dia tinggal ditower dua karena aku memang baru mengantarnya hanya sampai depan apartemen, belum pernah masuk kedalam apartemen.

"Minta tolong sama sekuriti, bilang kamu mau ke tempat saya lantai 9 unit 9001" aku bergegas kemeja resepsionis, apartemen cenderung sepi atau mungkin masih pagi. Tak lama setelah itu petugas sekurity mengantar aku sampai pintu lift, dan sekarang aku sudah berdiri didepan kamar apartemennya. Ia membuka pintu lalu menyuruhku masuk. Ruangan tamu yang rapih dan ruangan tengah yang luas, dihiasi piano dan tv dengan layar sangat lebar entah berapa inc. Apartemen yang luas, berbanding terbalik dengan apartemen yang aku punya, hanya ada satu kamar, ruang tv, kamar mandi dan dapur kecil.

"Kamu mo bikin aku sarapan gak?" Pintanya sambil duduk disamping ku, aku menengok sebentarnya ternyata dia sedang menatapku Dan... tersenyum , ajaib...aku berdiri menuju pantri namun tanganku ditariknya.

"Mau kemana?" Jujur hatiku tidak jelas rasanya, cepat-cepat aku mengusir rasa itu.

"Sadar woy Arnita," pikirku dalam hati. Aku tersadar ketika tanganku terasa digoyang-goyang.

"Kamu mikirin apaan sih?" Tanyanya lagi tanpa melepaskan tanganku.

"Lagi inget-inget tadi kompor di apartemenku udah mati belum ya?" aku menjawab asal, kata teman-teman dekatku, aku itu paling jago ngeles kalau udah kepepet. Aku buru-buru berjalan kepantri tapi kenapa tangan ini gak dilepas.

"Pak kita gak lagi mau nyebrang jalan, jadi gak usah pegangan gini," aku melihat kearah tangannya yang masih memegang tanganku sambil berjalan menuju kepantri. Dia cuma senyum lalu duduk dikursi makan pantry menunggu aku selesai membuatkan roti bakar untuknya.

"Ini kopi sama rotinya," aku menyodorkan roti dan kopi yang ia minta didepan meja makan dimana dia duduk.

"Terima kasih ya," kembali aku dibuatnya shock, sudah berapa kali dia membuatku shock hari ini.

" Tenang Nit, tenang mungkin dia hanya salah minum obat semalam," aku masih mencoba menenangkan hatiku.

Aku memperhatikan Bryan menikmati roti yang aku buat, ada yang berbeda kali ini. Biasanya aku menyiapkan sarapan dikantor dan tidak pernah melihatnya menggunakan baju santai seperti itu, kali ini aku menyediakan roti dan kopi untuknya diapartemennya dan dia masih menggunakan kaos oblong serta celana pendek, rambutnya yang bisa ditata dengan hair pomade, kali ini dibiarkan sampai menutupi jidat licin nya.

"Kamu pindah sini, " dia mengagetkanku yang sedang melamun tidak jelas, sambil mengeser kursi makan disampingnya. Seperti biasa aku melakukan perintahnya tanpa bertanya. Lalu dia memandangku yang sedang menikmati teh hangat buatanku sendiri. Ia menghentikan memakan roti buatanku, lalu menaruh tanganya sebagai penyanga kepalanya sambil menatapku.

"Kenapa pak? ada yang aneh dengan saya biasa dikantor, sekarang disini," aku berkata sambil memakan roti yang aku buat sendiri.

"Kamu gak tanya, kenapa saya minta tolong kamu buat nemenin keundangan?" Tanyanya masih menatapku.

"Emang boleh nanya? tar katanya bawel. Saya ini bos kamu ikutin aja yang saya suruh, kerjakan!" kataku mengikuti kata-katanya jika aku bertanya. Dia malah tertawa, ini fix dia salah minum obat. Aku memandangnya heran lalu mendekatkan mukaku kewajahnya sambil mencium bau yang keluar dari mulutnya, siapa tahu dia habis mabuk semalam dan belum hilang mabuknya.

"Kamu kaya anjing pelacak kalau gitu," dia berkata tanpa mengalihkan pandangan matanya padaku. Aku membuka mataku, Bryan tersenyum.

"Bapak gak lagi mabukan?" Tanyaku dia tertawa dan menggelengkan kepalanya.

"Saya sadar 100%," jawabnya pasti.

"Bapak ganteng kalau ketawa ada lesung pipitny ternyata," aku mengamatinya, tanggung gila pikirku.

"Baru nyadar emang kalau aku ganteng, eh bukan kamu sama gerombolan kamu bilangnya aku cantik ya?" Bryan menatapi wajahku seperti sedang mengulitiku.

"Kok tau?" Tanyaku sambil memundurkan wajahku dari wajahnya.

"Tau lah, kalian kan manggil aku bos cantik kalau lagi ngerumpi," Bryan mengambil cangkir kopinya lalu meminumnya.

"Ih siapa yang suka ngerumpi, tapi bener sih saya sama temen-temen manggil Bapak bos cantik, tapi memang bener, Bapak itu lebih kek cantik dari pada ganteng," aku jawab seenaknya tanggung lah pikirku, kalau mau ngehukum aku, sekalian jadinya.

"Trus saya kudu piye, orang udah dari sananya," jawabnya, aku melihat wajahnya bisanya kalau lagi kesal tampang menyebalkan keluar, tapi ini tidak . Wahhh kayanya kesambet nih orang atau mungkin kalau weekend dia berubah jadi setengah malaikat gitu.

"Trus kamu mau keundangan pake baju ini?" Dia bertanya sambil menarik lengan bajuku.

"Iya lah emang mau pake apa, gak bagus bajunya ya?" aku berdiri lalu melihat ke arah tubuhku, baju yang kugunakan berbahan sifon halus dan kerudung kain super premium voal warna cream sesuai dengan bajuku. Oh iya aku berjilbab sejak dibangku SMA.

"Yang bilang gak bagus siapa?" Bryan masih memandangku.

"Jam berapa ini, bapak gak siap-siap?" Tanyaku melihat dia masih menggunakan kaos oblong dan celana pendek.

"Ngapain, baru jam 10 lewat?" Dia melihat jam didinding.

"Emang undangannya jam berapa?" Tanyaku lagi karena biasanya undangan kawinan itu jam 11 sampai jam 1 siang.

" Jam 7," Bryan nyengir kearahku tanpa dosa.

"Jam 7 malam?" Tanyaku meyakinkan jawaban Bryan, ia menganggukan kepalanya sambil senyum-senyum.

Ya Tuhan hilang muka menyebalkannya, tapi diganti dengan kelakuan nya membuatku ingin mengigitnya.

"Trus ngapain saya musti datang pagi-pagi kalau acaranya malam?" aku memandangnya cemberut.

"Kamu kalau cemberut lucu ya, padahal kalau dikantor selalu pasang muka manis terus," Bryan menatapku sambil memegang jari tanganku. Ini orang maunya apa sih dalam hatiku.

"Memang gak suka kalau berdua sama aku, pas gak jam kerja ya?" Tanyanya yang bikin aku tambah bingung. Ya kalau dia pacarku pasti seneng banget, ini dengan bos yang nyebelin mana udah kaya orang kesambet lagi hari ini kelakuannya. kalau kelakuannya seperti biasa dia dikantor masih mending, aku gak akan bingung jadinya. Ini tiba-tiba ramah, sama senyum terus lagi. untung aku gak diabetes liat senyum manisnya.

"Mama kemarin udah pesankan baju untuk kamu, katanya biar maching sama batik aku," Bryan berkata santai, ini lagi ngomong apa coba kok bawa-bawa emaknya sih.

"Maksudnya gimana sih, makin bingung saya Pa?" Bryan tertawa lalu menuntunku duduk kesofa depan ruang tv.

"Jadi begini, yang mau nikah itu anaknya Om Dodi, Om Dodi itu sepupunya Mama, nah pasti disana banyak yang nanya donk ke aku, kok aku belom nikah, pacar kamu mana dan lain-lain makanya pas mama telepon, aku bilang aku mau pergi sama kamu," Bryan memegang jemari tanganku.

"Trus kenapa musti saya yang menemani Bapak?" tanyaku polos, sangking sudah bingung sama kelakuannya yang absurd.

"Soalnya kemarin aku dipaksa kerumah Mama dan terus dia memaksa aku untuk bertemu dengan anak temannya, agar nanti bisa diajak kepesta kawinannya saudaraku tapi aku bilang kalau aku sudah punya pacar, biar Mama gak maksa-maksa lagi aku buat ketemu dengan anak temannya," jawabnya menjelaskan. Lalu hubungannya dengan aku apa, kan bikin bingung.

"Kalau udah punya pacar, kenapa gak pacar bapak aja yang dibawa? biar sekalian kenalan sama keluarga Bapak," aku melepas tangannya yang masih memegang jari tanganku.

"Soalnya aku bilang sama mereka, pacar aku itu kamu," Bryan menatapku tersenyum sementara aku melihatnya dengan mata melotot dan mulut terbuka, bisa-bisanya nih kunyuk jadiin aku tumbal.

"Jangan celangap gitu ah, tar aku cium baru tau rasa," Bryan memandangku masih dengan tersenyum, aku buru-buru menutup mulutku dengan tanganku

"Bapak benar-benar ngaco ya," aku menunjuk wajahnya dengan jariku dia malah mau mengigit jariku yang buru-buru aku tarik, kebayang kalau sampai kegigit bisa-bisa rabies aku.

"Kok ngaco, aku cuma realistis aja, kenal kamu hampir 2 tahun, enam bulan aku belajar tentang kamu. Realistis donk kalau aku lebih milih kamu dari pada ketemu orang yang baru aku kenal, terus disuruh keundangan dikenalin jadi calon istri aku, tau-taunya orangnya gak sesuai dengan keinginan aku," Bryan merubah posis duduknya.

"Jadi bapak nyuruh saya bersandiwara didepan mereka, gak takut dosa bohongin orang tua? saya gak mau ah, dosa ngebohongin orang tua," hal paling tidak aku suka dalam hidup aku adalah harus berbohong, karena buat aku mau baik atau mau buruk, bohong ya tetap bohong dan itu dosa. Apalagi sama orang tua walaupun aku sudah tidak punya orang tua, aku gak mau berbohong apalagi Bapak Hermawan dan Ibu selama ini begitu baik dengan ku, malah pernah ibu Hermawan memintaku untuk tinggal dirumahnya karena semua anaknya bersekolah diluar negeri, hanya aku menolak alasanku kasihan ibu panti tidak ada yang membantu menjaga adik-adik karena yang lain harus mengurus adik-adik bayi, akhirnya Ibu Hermawan memintaku menginap setiap hari minggu dan aku mengiyakan.

"Yang nyuruh kamu bohong siapa?" Bryan berdiri lalu masuk kekamarnya sementara aku belum mengerti jalan pikiranya kalau alasan memilih aku untuk menemaninya keundangan masih masuk diakal, lalu suruh bohong jadi pacarnya bagaimana ceritanya. Bryan kembali ke ruangan dimana aku duduk.

"Kamu mau gak jadi istri aku?" aku shock dengar omongannya, aku memegang jidatnya dengan telapak tanganku, normal tapi Tiba-tiba Bryan membuka kotak kecil yang dia ambil dari kamarnya, sebuah cincin dengan mata merah cantik dikeliling batu berlian dipinggirnya.

"Aku sehat, gak usah pegang-pegang jidat aku," aku menarik tanganku dari jidatnya.

Aku hanya diam memandangi cincin di tangan Bryan, sumpah cincin itu benar-benar cantik.

"Maksudnya Bapak apa?" Aku beralih pandangan dari cincin ke wajah Bryan, dan tidak ada tanda-tanda dia sedang mempermainkan aku.

"Aku serius melamar kamu, maaf aku gak bisa romantis kaya orang-orang," Bryan melepaskan cincin dari kotaknya lalu memasangkan dijari manisku.

"Cukup buat aku mengenal kamu selama enam bulan," aku hanya memandangi tangannya yang memasang cincin dijari manisku, dan pas tidak longgar ataupun kekecilan. Bryan menatapku yang masih diam seperti patung karena kaget bercampur bingung

"Kamu suka cincinya?" Bryan mengambil wajahku dengan kedua tangannya. Dan aku hanya menganggukkan kepala seperti biasa jika dia memerintah.

"Kamu belum jawab pertanyaanku Ar?" Dia masih memegang kedua pipiku.

"Pertanyaan yang mana?" jujur aku amnesia kalau begini.

"Menikahlah dengan ku," Bryan mengulang pemintaannya tadi. aku terdiam sejenak.

"Boleh saya tanya sesuatu?" Aku aku membuka mulutku, berusaha meyakinkan diri kalau ini pasti mimpi aku mencubit tangan Bryan.

"Aw sakit Ar," Bryan mengusap tangannya yang aku cubit.

"Sakit ya, berarti aku lagi gak mimpi dan Bapak juga gak lagi ngigau," aku mengusap-usap tangan Bryan yang memerah akibat aku cubit.

"Sekarang saya mau nanya serius nih Pak, boleh ya?" aku memandangnya serius dia malah tertawa.

"Kok ketawa?" aku kesal, karena susah-susah buat serius Bryan malah tertawa.

"Iya maaf deh, ya udah kamu mau nanya apa?" dia berusah untuk memasang muka serius sepertinya.

"Kenapa bapak pilih saya buat jadi istri bapak, toh selama ini juga Bapak gak pernah ada manis-manisnya sama saya?" Aku masih penasaran pada niatnya sebenernya.

"Soalnya kalau aku menujukan rasa suka sama kamu dan memperlakukan kamu istimewa, nanti kamu di nilai orang bisa jadi sekertaris aku karena aku suka sama kamu, bukan karena kemampuan kamu. Belum lagi orang-orang yang sirik sama kamu, aku males lah kaya kejadian di drama-drama gitu lah, dan tadi aku bilang, 6 bulan waktu yang cukup untuk aku mengenalmu lebih dekat, kamu sih gak sadar kalau aku ngurung kamu, biar kamu gak bisa jelalatan kemana-mana matanya," Byan menatap ku lucu. Aku baru sadar hampir 6 bulan aku kerja diruangan dia, makan siang bareng menikmati sarapan bersama bahkan untuk sholatpun diselalu menjadi imamku. tapi rada lebay juga kalau kehidupanku kaya di drama-drama sih.

"Di Islam kan gak kenal pacaran yang ada taaruf, anggap aja kita ditaarufkan oleh pekerjaan," Bryan tersenyum melihat aku mulai tidak terlalu bingung dengan situasi yang ada.

"Jadi mau kan jadi istri aku?" kembali Bryan mengulangi permintaannya.

"Ya sudah kita jalanin saja dulu," aku menjawab permintaan Bryan.

"Itu jawaban orang gak yakin, aku minta jawaban iya dan tidak, Arnita," dia berkata dengan suara agak kencang.

"Gak usah teriak gitu kali," aku berusaha membekap mulutnya dia malah menarik tanganku dan memelukku, mata tajamnya masih memandangiku.

"Bapak begini bukan karena disuruh kawin buru-burukan? tapi dari dulu udah suka sama aku cuma gengsi," Godaku pada Bryan.

"Memamg dan yang minta kamu jadi sekertaris aku ya aku sendiri , soalnya pas liat kamu aku mikir gini, anak tuyul dari mana nih kok lucu amat," Bryan menggodaku.

"Ih brengsek saya dibilang tuyul," aku memukul wajah Bryan pelan dia malah tertawa.

"Trus kenapa itu muka Bapak selama ini kaku kaya kanebo kering kalo lagi sama saya?" gantian aku yang meledeknya.

"Kalau aku manis-manis sama kamu tar kamu jaim, gak natural. Aku kan lagi cari istri beneran bukan lagi cari istri pura-pura, selain itu untuk jaga wibawa lah," aku baru sadar kalau aku masih dipeluknya.

"Lepas ah gerah?" aku melepas tangan Bryan yang dibalas dengan kecupan dipipi.

"Ih apaan sih, belum muhrimnya tau," aku menyusut bekas bibirnya di pipiku. Bryan tertawa.

"Ya udah besok aku halalin," Bryan tertawa melihat aku yang kembali cemberut.

"Kamu gak lapar udah jam 12 nih, tapi mendingan sholat dulu deh," Bryan berdiri lalu berjalan ke arah kamar mandi untuk ambil wudhu sementara aku memandangi cincin yang diberikan Bryan padaku.

"Udah gak usah diliatin terus gak bakal aku ambil lagi, cepet ambil wudhu kita sholat dulu," godanya. Aku bergegas menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan sholat bersamanya seperti biasa.

***

avataravatar
Next chapter