2 Part. 2 Sepertinya aku tidak bisa lepas dari Bryan

"Nit makan siang bareng bisa gak, Denis ulang tahun kita mau traktir nih," Yuri meneleponku ketika aku berangkat menuju kantor.

"Nanti gua tanya bos ya, soalnya lagi banyak kerjaan," aku memberi alasan agar teman-temanku maklum. Tapi sebenarnya aku tidak terlalu sibuk hari ini karena laporan sudah aku bereskan kemarin, tapi tetap saja aku tidak bisa keluar dari ruangan Bryan.

Sesampai dikantor seperti biasa aku membuatkan kopi dan membawa sarapan untuknya dari rumah, aku sudah membuatkan sandwich roti pesanannya kemarin.

"Ini isinya apa?" Bryan menunjukan sandwich yang ia pesan kemarin.

"Sesuai permintaan Bapak semalam," lalu aku lihat Bryan mengambil sepotong sandwich dan memakannya dan dia seperti biamenpasti akan menyukainya.

"Pak nanti pas makan siang boleh saya minta izin sebentar untuk keluar?" aku bertanya setelah dia selesai dengan sarapannya.

"Lalu saya makan siang dengan siapa?" dia berkata sambil mengecek lembaran laporan keuangan yang aku berikan tadi.

"Apa boleh saya minta tolong Mas Adi untuk menemani Bapak makan siang?" tanyaku dengan hati-hati, Adi adalah manager qc dia teman dekat Bryan sejak jaman SMA, itu yang aku dengar.

"Gak usah, kalau memang harus dan penting kamu keluar ya sudah, tapi jam satu kamu harus sudah ada diruangan saya lagi," katanya yang terdengar seperti rengekan anak kecil ditelingaku.

"Baik Pak, nanti jam satu saya sudah kembali keruangan Bapak," aku melihat wajahnya dari tempat duduk ku, kulit muka yang licin dan hidung yang bagus membuatku iri jika melihatnya, belum lagi jari tangannya yang lentik dan panjang-panjang, terkadang aku minder kalau sedang menulis sementara Bryan didepanku.

***

"Hai kirain lu gak bisa ikut, sekretaris bos besar memang sulit diajak keluar sekarang," Indri menggodaku.

"Pake jurus apaan lu bisa keluar dari ruangan si cantik?" Adrian bertanya penasaran.

"Gue bilang ada keperluan penting, tadinya gak ngasih cuma gue bilang jam satu gue dah balik lagi," mereka tertawa dengan penjelasan ku

"Nit lu gak bosen emang dipingit mulu ama tuh bos?" Ray bertanya padaku .

"Namanya pekerjaan Ray, suka gak suka kan musti dijalani, kalau bosen tar gue jadi pengangguran dong, yang bayar cicilan apartemen gue siapa? kalau gue gak kerja," jawabku sambil tertawa. Kami asyik mengobrol Denis sengaja memilih restoran yang tidak jauh dari kantor dan bisa ditempuh dengan jalan kaki.

"Sudah jam satu kurang 10 menit, gue balik duluan ya takut dicariin," aku pamit pada teman-temanku, sebenarnya masih ingin sih ngobrol bareng mereka hanya saja aku takut Bryan mencariku.

"Buset dah yang dipingit, udah kaya calon penganten aja lu?" Denis menggodaku, sementara yang lain tertawa aku cuma bisa nyengir. Malas aku kalau harus mendengar ocehan Bryan, apalagi aku sudah janji jam1 sudah kembali keruangannya.

Aku mengetuk ruangan kerja Bryan, setibanya dipintu ruangannya, kemudian masuk setelah dia mengizinkan. Aku lihat dia sedang memandangi jalan raya, postur tubuhnya jika dilihat dari belakang sangat sempurna. Namun pandanganku teralihkan ketika aku melihat di meja masih ada makan siang yang belum tersentuh Bryan.

"Siang Pak, Bapak belum makan siang?" Tanyaku penasaran.

"Belum, nunggu kamu." Bryan lalu duduk di kursi depan meja rapat dimana makan siangnya selalu diletakkan disana.

"Tapi saya sudah makan Pak," aku menjelaskan padanya.

"Memangnya kenapa, kamu gak mau nemenin saya makan?" ada wajah kesal terlihat disana.

"Bukan begitu Pak, harusnya bapak tadi makan saja, kalau terlambat makan nanti bapak bisa sakit," aku berusaha menjelaskan sebijak mungkin agar dia tidak marah.

"Ya sudah kalau gitu temani saya makan," pintanya lagi.

"Tapi saya belum sholat Pak," sudah hampir jam satu lebih 20 menit aku lihat jam ditanganku.

"Ya sudah kalau gitu kita sholat dulu," aku nyaris menepuk jidat, kalau saja bukan Bos besar didepanku.

"Jadi Bapak belum sholat juga?" Dia hanya menggelengkan kepalanya. Aku berjalan menuju Toilet didalam ruanganya untuk mengambil air wudhu, sepertinya aku memang tidak bisa lepas darinya.

***

Aku membuka mataku, kulihat sudah jam 4 pagi. Aku bergegas untuk sholat subuh dan setelah itu aku berniat melanjutkan tidurku, hari libur adalah hari yang menyenangkan buat ku karena terbebas dari rutinitas dan wajah Bryan yang dingin.

Bergegas aku kembali keatas kasur setelah menyelesaikan sholat subuhku.

Diluar hujan sepertinya membuat ruangan kamar tidur kutambah dingin. Baru saja aku memejamkan mata suara ponselku berbunyi. Ku lihat Bryan yang menelepon, padahal biasanya hari libur begini dia tidak pernah menggangguku.

Aku melihat jam didinding kamarku, "jam 5.30, tumben?" pikirku. Namun dari pada disemprot olehnya, bergegas aku mengangkatnya

"Saya minta tolong, Jam 9 ke apartemen saya, temani saya keundangan," aku masih bingung dengan perintahnya.

"Maksudnya Pak?" Aku ingin meyakinkan apa yang diucapkan olehnya.

"Kamu gak budek kan? tumben nanya dua kali?" Bryan seperti kesal. Ini orang kenapa sih, lagian ini kan hari libur nyuruh kok seenaknya.

"Ya, saya gak paham, Bapak nyuruh saya keapartemen buat nemenin keundangan, ya tumben aja gituh, lagian ini kan hari libur pak saya mau istirahat," jawabku kesal, jujur saja aku tidak pernah berbicara keras padanya apalagi menolak perintahnya kalau hari kerja. Masalahnya ini kan hari libur, masa hidup aku musti 1 x 24 bareng dia selama tujuh hari ngurusin kantor, kan gak mungkin juga.

"Ya sudah, kalau gak mau dimintai tolong," dia mematikan teleponnya.

"ih dasar," aku pelempar ponselku kekasur. Sial udah gak bisa tidur lagi. Aku memandang keluar, kamar masih hujan. Aku kembali membaringkan tubuhku tapi kok kepikiran ya, ah bodo amat, besok malam juga dia udah pesan ini pesan itu pikirku. Ponselku kembali berbunyi, kali ini yang masuk sebuah pesan aku melihat siapa yang mengirim.

"Wah jangan-jangan aku dipecat," pikirku, pelan-pelan aku buka pesan dari Bryan.

"Sory pagi-pagi saya dah bikin kesal kamu, saya cuma minta tolong temanin ke pesta nikahan sepupu saya, kalau memang ini dianggap kerja, saya bayar upah lemburnya," aku sempat terbengong membacanya

"Gak salah nih orang, bisa juga minta maaf, kirain aku suatu yang tabu untuk minta maaf sama orang," Aku tersenyum sendiri membaca pesannya.

"Ok saya terima permintaan maaf bapak, trus ngapain minta temenin saya buat kepesta, temen bapak kan cantik-cantik," aku sebenarnya sebal, karena kalau dengan teman-temannya dia bisa tuh tebar pesona, giliran sama aku yang setiap hari, kecuali sabtu minggu. Selalu pasang muka kaku kaya kanebo kering berhari-hari gak kena air.

Pernah suatu hari, aku tidak sengaja melihatnya di salah satu kafe, pas ketika teman kuliahku mengajak kumpul Karena sudah lumaxan lama tidak kumpul, ternyata Bryan juga ada disana, dia tertawa-tawa dan disebelah kiri kanannya duduk teman perempuannya. Aku sempat speachless melihatnya, untung dia tidak sadar kalau aku ada ditempat yang sama dengan dirinya.

"Sok tau, mau nenemin apa gak sih?" aku tertawa dalam hati, karena merasa menang. Dasar bos nyebelin.

"Iya saya kesana jam 10," aku mengundur waktu dari waktu yang dia minta.

Lagi pula mana ada orang nikahan pagi-pagi kecuali mau ikut akad nikah, itupun jam 7 pagi harus udah jalan dari rumah.

"Aku kan bilang jam 9 bukan jam 10," aku kembali terkejut dengan bahasanya sejak kapan dia beraku kamu. Aku coba scroll keatas pesan yang dia kirim hampir semua bahasanya kaku dan memerintah.

"Saya kan perlu kesalon dulu Pak. Memang mau saya temenin, tapi muka sama rambut saya lecek kaya gembel," aku kembali membalas pesannya.

"Udah gak usah banyak alesan, pokoknya jam 9 udah disini," balasnya. Dasar pengganggu kebahagian orang, akhirnya aku turun dari tempat tidur lalu mengambil handuk untuk mandi.

***

avataravatar
Next chapter