webnovel

Silent

Ganendra membuka pintu kamar utama yang dijadikan tempat pelampiasan nafsu Abi. Dia tidak pernah tau apa yang terjadi semalam karena memilih duduk di ruang tamu pada kamar presidential suites.

Desahan atau apa pun itu, dia tidak dengar sama sekali setelah pintu tertutup. Ia hanya melihat Abi keluar menggeret koper dengan wajah sumringah.

Pemandangan yang terjadi beberapa saat kemudian membuat degupan di dadanya bertalu-talu nyaring. Pacarnya, iya Mayla pacar seharinya yang bahkan kemarin lusa tidak berani melakukan hubungan badan, kini duduk menutupi seluruh tubuh dengan selimut tanpa sehelai benang dalam kondisi berantakan.

Mayla merapatkan semua tubuhnya dalam satu pelukan. Ganendra memungut semua baju dan dalaman Mayla.

"May, mau sarapan gak?" Hanya pertanyaan itu yang pantas ia keluarkan.

Mayla mengangkat kepalanya, tersenyum tipis melihat Ganendra duduk berhadapan dengannya. Mayla menggeleng, "Gue mau mandi dulu, abis itu balik ke villa." Mayla mengambil seluruh pakaiannya. Membawa selimut yang menutupinya ikut serta ke dalam kamar mandi.

Ganendra menjambak rambutnya kesal, merasa bersalah membiarkan Mayla menuruti maunya Abi. Tangannya bergerak menghubungi satu orang. Satu orang yang paham semua hal tentang Mayla.

"Ka, lagi sibuk?"

Tidak ada sahutan meski tidak juga ditutup oleh Kama.

"Gue serius, Njing. Ini soal Mayla."

Dengusan napas kasar terdengar di seberang sana. "Kenapa?"

Ganendra berdiri keluar dari kamar, tidak nyaman berbicara saat Mayla masih mampu mendengar meski suara air pancuran mulai terdengar. "Dulu Mayla sama Abi gimana? Maksud gue setiap abis selesai bareng Abi."

"Ya Mayla, selalu pengen keliatan kuat padahal enggak. Nutupin semua busuknya Abi." Jawaban Kama tidak menuntaskan rasa penasaran Ganendra.

"Lo pernah ngeliat Mayla pucet, gak nafsu ngapa-ngapain, diem gak jelas gitu beres dia berurusan sama si Abi?"

"Nangis?"

"Gak diem doang."

Kama tiba-tiba tertawa, menyadari satu hal yang luput darinya. "Oh ceritanya ini lo berdua kabur barengan? Pantes lo dicariin ke apartemen gak ada, sama Mayla ternyata. Hebat juga taktik nikung lo."

Ganendra memejamkan matanya sesaat. Tidak ingin terpancing emosi. "Percuma…" Ganendra menghela napas sampai akhirnya membuka mata. Apa yang dilihat dari sorot mata Mayla saat di kolam kemarin lusa, sudah menjelaskan posisinya. "Gue gak bisa nikung kalo di hatinya cuma ada elo."

Suara tawa meremehkan itu hilang, "Mayla apa kabar?"

"Not good, she's been hurt all over again. Gue gak bisa jelasin sekarang…"

"Dra, boleh balik ke LA gak?" Obrolan Ganendra terputus setelah Mayla muncul di ambang pintu dengan rambut basah tanpa mau repot ia keringkan. "Pesen tiketnya sekarang, nanti uangnya gue ganti. Lo jadi nginep di apartemen gue, kan?"

"Anjing, villa? Apartemen? Apalagi yang lo sembunyiin dari gue, bangsat?!" Teriakan Kama terdengar dari sambungan telepon yang belum terputus. Suara Mayla jelas sampai ke telinga Kama.

Ganendra mengangkat satu tangannya, meminta waktu sebentar pada Mayla. "Gue gak bisa jelasin sekarang. Long story short kita jadian dua hari lalu." Ganendra langsung memutus sambungan telepon. Terserah hubungannya setelah ini dengan Kama akan seperti apa. Prioritasnya sekarang adalah Mayla.

"Kita balik ke villa, di mobil gue pesenin tiket balik." Mayla mengangguk menyetujui perkataan Ganendra.

Selama perjalanan kembali ke villa, Mayla lebih banyak diam memandang keluar jendela. Ganendra selalu menoleh ketika ada helaan napas Mayla yang terdengar begitu berat tanpa ingin ia bagi apa yang sudah terjadi antara dirinya dan Abi.

Sesampainya di villa pun, Mayla tidak ada keraguan untuk memasukkan barang-barang miliknya. Wajah girang saat mengurus calon bakerinya hilang, mulut berisiknya berbicara ini dan itu tentang Budapest menjadi senyap. Ganendra tidak mau melihat ini, satu bulan dua minggu Mayla bersenang-senang, selalu ribut dan ekspresif saat mengutarakan sesuatu. Hanya karena gangguan kecil dari si bajingan Abi, perempuan yang tidak pernah menunjukkan gejala kesedihan, kembali menjadi perempuan pemurung.

Ganendra lebih berharap Mayla sekarang menangis, berteriak, marah, atau apa pun itu bukan diam dengan tatapan kosong. Duduk bersebelahan di pesawat yang akan membawa mereka kembali ke Los Angeles pun, Mayla masih sama. Bangku first class yang sengaja Ganendra pesankan agar Mayla tampak nyaman, tidak membuat perempuan ini berkutik untuk menyamankan dirinya. Bangku tetap tegak, kedua tangan memeluk bantal, telinga tersumpal headphone, dan matanya yang tidak berhenti fokus menatap layar kecil di depannya.

Mayla terus mengulang satu musik video clip, Ganendra mengangkat headphone itu keluar dari telinga dan kepala Mayla. Penasaran musik apa yang di dengarkan oleh Mayla selama tiga jam perjalanan.

When I'm away from you

I'm happier than ever

Wish I could explain it better

I wish it wasn't true, mmm

And I'd end up more afraid

Don't say it isn't fair

You clearly werеn't aware that you made me misеrable, ooh

So if you really wanna know

I don't relate to you, no

'Cause I'd never treat me this shitty

You made me hate this city

Billie Ellish - Happier Than Ever

Ganendra terperangah mendengar setiap lirik lagu yang dinyanyikan oleh satu penyanyi esentrik asal Amerika itu. Untaian nada bergenre downtempo, electropop ini menggambarkan setiap goresan luka Mayla. Mewakili setiap ketakutan Mayla saat bersama masa lalunya.

Mayla menoleh, mata bulat yang terbiasa memancarkan kerlingan berbinar sekarang tampak sayu dan redup. Ganendra tercekat, kelu hanya untuk sekedar menyemangati. Ini bukan ranahnya. Ganendra bukan laki-laki yang mampu menenangkan ketika seorang perempuan perlu untuk direngkuh, disemangati, dan mengucapkan 'everything will be okay'. Tidak, dia bukan laki-laki seperti itu. Dulu, ketika Ajeng menangis karena Ganendra semudah membalikkan telapak tangan menyetujui perpisahaan. Ganendra hanya menepuk pundak Ajeng berkali-kali tanpa mengucapkan satu patah kata.

"Semalem Abi ngapain, May?" Ganendra melepas headphone, namun kali ini untuk Mayla berbeda.

"Gak ngapa-ngapain."

"May, cerita, ada apa?" Ganendra menarik tangan kanan Mayla, mengusapnya lembut. Iya, dia rela berubah demi Mayla.

"Dia ngajak nostalgia." Datar Mayla menjawab tetapi pikiran Ganendra melalang kemana-mana. Maksud nostalgia itu apa? Berhubungan badan secara paksa?

"May…"

"Buat apa lo khawatir? Gak akan ada yang berubah." Mayla menarik tangannya, memasangkan kembali headphone. Gagal, Ganendra merasa gagal tidak bisa berbuat banyak untuk Mayla. Perempuan itu kembali membisu sampai di Los Angeles International Airport. Mengantarkan Mayla kembali ke apartemennya di Santa Monica cuma ada kebisuan. Ganendra tidak mau bertanya lagi, Mayla juga tidak berniat untuk membuka suara sedikit pun.

"Dra, kalo gak mau nginep…"

Ganendra membuka pintu apartemen Mayla lebar-lebar, agar ia bisa segera masuk. "Nginep, gue nginep. Mau meluk pacar biar bobonya enak sambil cium-cium dikit lah."

"Haram Dra, bukan muhrim." Balasan Mayla memang datar tapi setidaknya ada sahutan canda. Mayla menyeret kopernya masuk ke dalam apartemen. "Mau makan bilang, gue mandi dulu. Nanti beres baru gue masakin."

"Alhamdulillah, setelah nyaris 24 jam gue di diemin, ngomong juga tuh mulut beo. Mandi bareng boleh?" Memang Ganendra tidak bisa menjelma seperti Kama yang paham dengan situasi perempuan kalau sedang sedih. Tapi, melucu rupanya salah satu keahlian Ganendra untuk merayu. Terbukti dengan sambitan sepatu melayang ke badan Ganendra. Ada sunggingan senyum melengkung di bibir Mayla.

Saat Mayla ingin membawa kopernya masuk ke dalam kamar, Ganendra sigap merebut koper Mayla dari pemiliknya. "Aku bantuin Yang, kamu jangan capek-capek kasian itu lemak ilang. Yuk mandi, lanjutin yang di kolam."

"Dra, tobat gih. Kasian itu otak dipake buat mikirin mesum doang." Mayla menghela napas panjang, badannya sudah remuk sama seperti perasaannya.

"Maafin aku ya, May. Aku bodoh banget biarin kamu sendirian pas gugurin anak kita. Aku masih sayang kamu, balikan ya, May. Nanti kita mulai lagi dari awal."

Perkataan Abi malam itu membuat Mayla merasa waspada. Ketakutan akan kembali hadirnya Abi sudah menyergap hidupnya. Tidak ada lagi kebebasaan yang sudah ia raih dari belenggu Abi selama hampir delapan tahun. Ketenangan saat ini hanya menjadi cerita semu.

"Dra, he makes me hate my life. I can't…"

"Gak bisa apa?" pungkas Ganendra.

"Makanya kalo lagi ngomong jangan dipotong." Mayla menarik selimut sampai sebatas dada.

"Cerita makanya. Lo ngebisu gitu mana gue ngerti." Ganendra memutar tubuhnya menyamping, menumpukkan kepala pada tangan kanannya di atas ranjang.

Mayla menarik napas dalam-dalam dan mulai bercerita semua kejadian semalam. Napasnya terputus-putus menceritakan apa yang Abi lakukan dan ucapkan. Sesak tentang kisah masa lalu kembali menghantui. Kali ini Abi mempersiapkan diri untuk mengejar Mayla kembali pada pelukannya.

Ganendra diam, untuk memeluk Mayla pun ia tidak sanggup. Matanya tetap menatap Mayla, namun tubuhnya tidak memberikan reaksi atas cerita Mayla.

"Ada setan Dra di badan gue?" tegur Mayla heran.

"Hah?"

"Lo napa liatin gue?"

"Gak, jinnya Abi nempel, pantesan merinding dari tadi." Kekeh Ganendra, pada akhirnya memang reaksi ini yang bisa ia berikan. "Bobo aja yuk, capek 10 jam di pesawat." Ganendra membalik badannya terlentang, mungkin mood Mayla lebih baik setelah tidur.

"Makasih ya, Dra. Makasih gak pernah terlalu ikut campur masalah gue." Mayla mematikan lampu di dekat tempat tidur. Memutar tubuhnya ke samping, berpikir rencana lain karena masa depannya yang mendadak berantakan. Bersiap menghadapi ketakutannya yang kembali muncul di permukaan.