webnovel

Little Piece of His Past

Natasya menatap mata Kama, mereka bermain mata. Bertanya-tanya dalam benak mereka masing-masing, apa yang sudah terjadi selama dua bulan terakhir ini? Hubungan mereka dengan Mayla dan Ganendra meregang. Mereka nyaman satu sama lain sampai terlihat seperti keluarga kecil baru. Issac hari ini pun berani memanggil Kama dengan sebutan 'dad'. Setelah dua bulan tidak bertemu, yang terjadi adalah, Natasya cemburu pada Mayla, Kama tidak selembut itu lagi pada Mayla, dan sekarang ini apa yang mereka lihat. Mayla yang selalu bersikap baik-baik saja, menunjukkan sisi rapuhnya.

"Gila pagi-pagi muka lo pada kenapa suram amat?" Datang-datang Ganendra langsung menyindir tiga manusia yang diam dengan guratan wajah sendu. Ganendra sengaja datang karena diminta oleh Mayla untuk membantunya pindahan.

Tidak ada sahutan, semua masih sama pada kondisi semula. Ganendra bersiap untuk mengeluarkan setiap kata sarkasnya, sampai ia mendengar suara isak tangis Mayla di dalam pelukan Natasya.

"May, lo gak apa-apa?"

Mendengar suara Ganendra, secepat mungkin Mayla mengusap setiap tetesan bening yang menghiasi wajahnya. "Eh, bentar ya, Dra." Mayla mengurai pelukan dari Natasya dan segera bangkit dari rasa keterpurukannya. "Gue beresin dulu barang." Mayla bergegas masuk ke dalam kamar lamanya.

Pusat perhatian Kama dan Natasya sekarang tertuju pada Ganendra. Natasya yang pertama kali membuka mulutnya, memastikan kebenaran berita yang semalam ia dengar.

"Kowe wis dadi karo Mayla, ta? Lha mbiyen nesu mbek opo?(1) " ujar Natasya dengan logat Jawa Surabayanya. Ganendra adalah temannya sejak SMP, ia merasa bahasa ini adalah yang paling pas untuk menanyakan seputar hubungan Ganendra dengan Mayla.

Ganendra tidak langsung menjawab, ia memilih duduk di salah satu sofa ruang tamu. Meluruskan badannya, akibat baru menerjang badai kemacetan malam minggu. "Lha kowe mbek Kama pisan, rak enek sing mbalesi chatan-ne Mayla. Nek saiki aku karo Mayla, masalahe nang endi?(2)"

"Sejak kapan kamu pacaran?" Natasya kembali dalam mode asas kesopanan budaya Jawa yang malas ber'gue-elo' pada Ganendra.

Ganendra melihat Natasya dan Kama bergantian, "Di Budapest, aku yang ngajak Mayla jadian. Masalahe opo sih?"

"Lo nikung. Mana yang katanya karena asas persahabatan, lo gak bakal berani rebut Mayla dari gue." Kini Kama yang bersuara. Dia merasa kecewa dan marah atas tindakan Ganendra. Menurutnya itu merebut kesempatan untuk bersama Mayla.

Ganendra menegakkan tubuhnya, berdecak sebal atas pernyataan Kama. "Gini, yang mulai duluan di sini siapa? Kalian, kan? Tau kenapa Mayla mendadak ngilang sampe ke Budapest? Tau apa yang udah Mayla lewatin karena kecewa sama kalian? Gak, kan?" Tidak ada reaksi baik dari Kama maupun Natasya. "Ya udah, gue ngajak Mayla jadian karena ada sebab. Mayla nangis kayak tadi gak hari ini doang."

"Maksud lo?" Kama mulai mendekati Ganendra. Sadar kalau Kama akan bertindak impulsif untuk memukul Ganendra, Natasya langsung menahan lengan Kama.

"Maksud apaan?" Ganendra tau gerak gerik Kama yang sudah mulai terbakar cemburu. "Lo mau nyalahin gue atas dasar apa?" Ganendra berdiri, mendekati Kama untuk melihat dari dekat reaksi Kama. "Bukannya sekarang lo lagi main rumah-rumahan sama cece dan Issac?"

"Dra, apaan sih. Gak usah sok nantangin deh." Natasya langsung berdiri di antara Kama dan Ganendra. Menghindari agar dua orang ini tidak saling baku hantam.

Kama berjalan cepat menuju kamar Mayla, membuka pintu kamar tanpa permisi dengan si pemilik kamar itu. Tangannya bergerak cepat menurunkan semua barang-barang Mayla, terlihat seperti mengusir mantan teman tinggalnya ini.

"Ka," Mayla menegur Kama.

Kama mengacuhkan teguran Mayla. Kama terus mengeluarkan isi barang-barang Mayla dan melemparnya ke arah koper.

"Ka," sekali lagi Mayla meminta perhatian Kama.

Kama menarik resleting koper sampai koper milik Mayla tertutup rapat. "Gak usah pikirin lagi cicilan rumah. Gue tanggung sendiri. Pergi sekarang sama Nendra." Kama hendak berjalan menuju pintu hingga suara Mayla menahan langkahnya.

"Bicara bentar boleh gak?"

"Ngomong apa? Pacar lo nungguin di depan." Kama kembali melangkah ke arah pintu kamar.

"Tante Ria ada di LA. Katanya mau ketemu sama lo." Mayla berhasil menarik perhatian Kama. Sorot mata Kama yang semula penuh amarah berubah menjadi kecewa. Dia berbalik menghadap Mayla yang sedang mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.

"Hubungin ke sini aja katanya, tante Ria di sini sampe bulan depan. Gue pamit, thank you." Mayla menaruh kartu nama itu di atas kasur dan bergegas menyeret kedua kopernya, memastikan tidak ada lagi barang tertinggal.

Kama menahan salah satu gagang besi koper Mayla. "Lo ketemu nyokap? Kapan?" Kama memandang mata merah sembab Mayla. Meminta jawaban pada satu-satunya perempuan yang pernah bertemu dengan ibunya.

Mayla bersandar pada pintu lemari, mengingat kilasan memori tiga hari lalu saat satu panggilan nomor yang tidak dikenal terus menghubungi ponselnya. Mayla tidak pernah mengangkat telepon atau membalas pesan dari orang asing.

***

Dua pesan beruntun masuk, mengusik Mayla yang sedang mengerjakan pesanan kue.

"Ini nomor Mayla Aruna Adhitama, kan? Maaf ganggu, ini tante Ria. Ibu Kama".

Seen

"Mayla ada waktu siang ini? Bisa ketemu tante di Bistro 476 Eve?"

Seen

Mayla terdiam membaca dua pesan itu. 'Bagaimana tante Ria bisa tau nomornya? Sedang apa tante Ria di LA? Kenapa tidak langsung menghubungi Kama?' berbagai banyak pertanyaan muncul di benak Mayla. Ia memutuskan untuk membalas pesan itu meski terasa aneh.

"Halo tante, bisa tapi jam 2, gak apa-apa? Aku lagi ada orderan pesenan."

Sent

Satu pesan itu berujung berubah menjadi deringan panjang pada ponsel Mayla. Setelah bercakap basa-basi sebentar. Akhirnya disetujui pertemuan direncanakan ini pada pukul dua siang. Jarak antara bakeri dan Bistro 476 Eve hanya memakan waktu sekitar setengah jam. Mayla sedikit terlambat lima menit dari waktu yang dijanjikan. Terkendala meeting dengan seorang pelanggan yang meminta pesanan kue untuk acara bridal shower.

"Tante Ria," sapa Mayla pada sesosok wanita paruh baya yang duduk membelakanginya. Mayla sangat mengenal postur tubuh ibu Kama seperti apa. Meski sudah belasan tahun tidak bertemu, wanita asal Solo itu tetap tidak berubah. Cantik dan manis. Mata, bentuk wajah, kulit, dan bibir beliau mirip dengan anak lelakinya.

"Astaga May, ini beneran Mayla? Cantik banget rambut panjang gini." Tante Ria langsung memeluk tubuh Mayla, sesaat setelah ia menoleh dan berdiri dari posisi duduknya.

Mayla membalas pelukan itu, teringat masa kecilnya yang sering diberi kue putu mayang dan pancong kalau sedang mampir ke rumah Kama. Tidak sampai masuk ke dalam cukup di perkarangan rumah. Entahlah, baik Kama atau pun ibunya tidak pernah mengajak Mayla untuk masuk ke dalam rumah. Selalu beralasan berantakan. "Tante juga masih cantik ya, apa kabar?"

"Loh tadi kan di telfon kamu udah nanya, Tante jawab baik. Duduk May, kamu mau pesen apa?" Tante Ria menyuruh Mayla duduk di sampingnya.

"Gak usah tadi aku udah pesen sebelum nyapa kok." Mayla memperhatikan penampikan tante Ria yang jauh berbeda dibandingkan dulu. Lebih berkelas, tidak ada raut kesedihan, terlihat lebih berisi. "Tante ada perlu apa ke LA? Kok bisa tau nomor aku?"

"Nemenin suami ada urusan sekalian nganter anak tante liat-liat kampus di Montana. Terus Tante inget kamu buka bakeri di LA. Hubungin ayah kamu, minta nomor biar bisa ketemu," jelas Tante Ria.

"Tan, tau aku buka bakeri dari ayah?"

"Sempet baca ulasan tentang bakeri kamu. Kenapa?"

"Gak papa." Mayla hanya perlu konfirmasi terkait berita kenapa tante Ria bisa tau ia membuka bakeri. Sial memang, karena satu ulasan semua hal tentang dirinya mendadak jadi berita keberadaannya selama ini.

"May, Kama sehat?" Tante Ria mengubah posisinya menyamping agar bisa berhadapan langsung dengan Mayla. "Tante bingung harus hubungin ke mana. Tante mau ketemu, mau liat kondisi Kama. Setelah pergi, Kama gak pernah bales pesen Tante. Dia juga gak ngasih kabar apa-apa padahal udah pernah Tante kirimin alamat rumah lewat pesen." Tante Ria meraih salah satu tangan Mayla, menggenggam erat, "Kama baik-baik aja?"

Mayla berada di posisi yang tidak berhak untuk merespon semua perkataan ibu Kama ini sebetulnya. Ini bukan ranahnya untuk memberikan jawaban terkait Kama. Sudah dua bulan pula ia menjauhi Kama. Satu-satunya orang yang pantas ditanya adalah Natasya. "Baik, Kama sekarang kerja di salah satu agency di sini. Naik jabatan jadi Assistant Senior Video Editor. Kami sempat tinggal serumah karena lumayan harga rumah sekecil itu juga, Tan." Mayla tertawa pelan.

"Kalian sempet serumah?" Tante Ria terkejut dengan ucapan Mayla barusan.

"Eh gak gitu…umm maksudnya dulu waktu kami pindah daripada sewa apartemen gak lega, kenapa gak sekalian punya rumah aja, patungan berdua. Soalnya kami juga gak kepikiran balik ke Indonesia," sanggah Mayla cepat-cepat.

"Oh, ya Tante gak apa-apa kalian tinggal bareng. Seneng malah, gak kepikiran kalian nikah aja, May?"

Mayla tersedak ludahnya sendiri, "Tan sekarang…" Mayla mengumpulkan keberanian untuk berbicara jujur. "Gini, Kama sekarang sama Natasya. Ada satu kondisi kesehatan Kama yang kayaknya lebih bisa dimengerti sama Natasya." Mayla mengeluarkan ponselnya dan memberikan kontak Natasya yang langsung ia kirimkan pada Tante Ria. "Itu aku kirimin nomor Natasya, kalau ada apa-apa bisa langsung hubungin Natasya aja."

***

Kama terdiam cukup lama setelah mendengar cerita pertemuan Mayla dengan ibunya. Dia tidak tau harus berekspresi apa. Bagaimana ia harus menjabarkan rasa kecewa, marah, senang, lega yang bercampur menjadi satu.

"Gue pamit ya, Ka. Masih ada urusan lagi." Mayla memecahkan jeda keheningan diantara mereka.

"La."

"Ya?"

Kama mendekati Mayla, rindu untuk berbicara lagi dengan Mayla seperti biasanya. Nyamannya bersama Natasya tetap tidak bisa menggantikan perasaan belasan tahun yang ia pendam untuk Mayla. "Lo kenapa? Ada apa, La?" Sungguh Kama penasaran ada apa selama dua bulan ini, apa yang sudah terjadi pada Mayla?

Mayla menggeleng, senyuman terpaksa itu tidak bisa ia elakkan. "Sehat-sehat ya, Ka. Nanti ada waktu kita kumpul lagi." Mayla kembali menyeret kopernya sebelum ditahan lagi oleh Kama.

"Lo pernah gak sedikit aja punya perasaan sama gue? Ngebales apa yang selama ini selalu gue tawarin?"

Mayla tidak berbalik, terdengar helaan napas panjang. Begitu berat dan tersirat kekecewaan di sana. Mayla menoleh lalu mengangguk dan berjalan pergi meninggalkan Kama dalam kebisuan. Kalau Mayla membalas perasaanya kenapa dia pergi?

————————————————————

1. Kamu jadian sama Mayla? Terus kemarin marah-marah itu buat apa?

2. Lah kamu sekarang juga sama Kama, gak pernah bales chatnya Mayla. Kalau sekarang aku sama Mayla, masalahnya di mana?