webnovel

Budapest

Mayla bersyukur ada Ganendra yang mau mengambil jatah mobile working-nya hanya untuk menemani keimpulsifan Mayla. Ia sudah jatuh cinta dengan kota yang merupakan bagian dari Hungaria, Budapest. Kota yang terkenal dengan kekayaan kultur, memiliki banyak gua bawah tanah, dan The Mighty Danube River.

Mayla mengangkat kacamata hitamnya yang kemudian ia letakkan di atas kepala. Jari-jari tangannya mengangkat semua rambut tebal Ganendra ke atas, merapikan setiap anak rambut yang keluar. Dengan dua kali gerakan memutar, Mayla berhasil membuat cepolan rambut sebahu Ganendra terlihat lebih rapi.

"Kantor lo bolehin punya rambut gondrong, ya?" Mayla memutar tubuhnya sebelum duduk di samping Ganendra.

"Boleh gue kan bos." Ganendra mengikik meski tangannya tetap fokus mengerjakan pekerjaan di keyboard laptop. "Abis ini mau kemana lagi?"

Mayla membalikkan tubuhnya sedikit miring saat bersandar pada sofa. Tangan kiri sibuk berselancar pada ponsel, tangan kanan sibuk memutar gulungan nikotin.

Ganendra memutar tubuhnya ke samping, menumpu kepala dengan tangan kiri yang diletakkan di atas meja. Tangan kanannya memainkan rambut panjang Mayla. Perlahan ia mendekat ke arah bahu sebelah kiri perempuan yang masih sibuk mencari bangunan untuk toko barunya.

"Taruhan yuk, May." Kini, Ganendra merasa nyaman dengan dagu di bahu Mayla.

"Taruhan apaan?" Mayla tetap sibuk mengecek harga sewa yang ternyata sangat menyenangkan isi tabungannya. Biaya di Budapest tidak setinggi di Los Angeles.

Ganendra mengambil rokok dari tangan Mayla, ia hisap gulungan yang sudah habis setengahnya. "Kalo gue bisa dapetin tempat yang cocok buat bakeri lo, dengan lokasi strategis, bisa jadi aset masa depan buat lo, jadi pacar gue selama di Budapest?"

Mayla menurunkan ponselnya, tertawa meledek, "Kalo lo gak bisa?"

"Sorry gue optimis, pasti bisa." Ganendra berani bertaruh jiwa ambisiusnya akan memenangkan permainan ini.

Mayla memutar tubuhnya menghadap Ganendra, "Gue tau sih lo gila, level berengseknya luar biasa. Tapi, karena gue butuh kemampuan lo… bentar ini termasuk ciuman, pelukan, dan berbuat nista?" Mayla mulai ragu, hatinya belum siap untuk memulai suatu hubungan meskipun itu sementara.

"Lah dari jaman Majapahit juga lo meluk gue sama Kama. Apa bedanya sekarang?"

"Ciuman? Bergulat di ranjang?"

"Yaaaa…" Ganendra mengarahkan tangannya ke kaus kurang bahan Mayla. "Kalo lo mau, gue sih siap-siap aja. Gue kan gak kayak gebetan lo, gonta-ganti perempuan."

"Dra, di Arab ada hukum potong tangan loh." Mayla menangkap tangan kekar Ganendra. Apa itu diraba? Ciuman terakhirnya tujuh tahun lalu sama Abi.

"Kalo nyuri. Lah, ini cuma megang badan pacar gue."

"Zina anjir. Hukum cambuk 100 kali, bangsat!"

"Tai, lo sama Abi juga di neraca pahala dosa, lebih berat ke dosa. Malaikat juga bosen nyatet amal buruk lo." Pukulan kencang melayang ke kepala Ganendra.

"Gak gue terima ya, Dra." Mayla mengikik sebelum akhirnya mengalah, "Iyee ayo jadian, nembak lo gak asik banget dah." Sudah dua minggu bersama Ganendra. Rasanya baik-baik saja atau mungkin karena dia belum berhadapan langsung dengan Kama?

"And when we fell in love, you made me feel special. I want you right here in my arms forever." Ganendra bersenandung sembari menggoda Mayla yang mulai terlihat jengkel. Jari telunjuk perempuan itu terangkat memasukkannya ke dalam mulut dan mengeluarkan suara seperti ingin muntah.

"Najis, belibers banget lo ya."

"Lu tau, berarti sama dong."

"Bener juga, udah ah yuk. Ada tiga tempat yang berpotensi bikin Mayla cepet tajir melintir nih." Mayla mengajak Ganendra pergi dari restoran. Saat ini ada butterfly in the stomach bekerja di perutnya karena sudah tidak sabar mewujudkan ide-ide liar di kepalanya.

Ganendra bak supir dan asisten, menemani Mayla ke tiga titik lokasi berpotensi untuk bakeri barunya. Ganendra tercengang ketika mengetahui Mayla sudah menabung untuk impian Budapest dari sembilan tahun lalu, sebelum ia menginjakkan kakinya di Amerika.

"May, kok lo bisa-bisanya sih ngerti bahasa planet?" Dijamin kalau ada Kama dan Natasya, mereka juga akan mengeluarkan reaksi yang sama karena perempuan di depannya ini mendadak mampu berbahasa Hungaria.

"Think, why I'm not choosing Paris or Italy?" Mayla mengetukkan telunjuknya ke sisi kepala.

"Ah, I just realize it. You fell in love with Budapest." Ganendra mengangguk paham, ini pasti akibat solo travelling Mayla lima tahun lalu kedua kalinya ia ke Budapest. Pantas, Mayla seperti khatam dengan kota ini.

"Tugas lu sekarang negosiasi sampe gol, dia bisa Bahasa Inggris kok." Mayla menyeret Ganendra ke pemilik bangunan. "Abis itu lo harus bikinin kurva inventasi…"

"Paham, tugas gue. Kita masih ada satu bulan di sini, tawaf aja dulu sambil lo pikirin desain ini toko ntar gimana." Ganendra bak melayani seorang klien termahalnya mulai berbicara panjang lebar dengan pemilik bangunan. Mayla sibuk dengan jurnalnya, senyuman selalu muncul saat tangannya mencoret sketsa desain ala kadarnya.

"Done princess, udah gue bayar DP…" Ganendra membungkam mulut Mayla menggunakan tangannya sebelum ada suara protes keluar,. "Anggep gue naroh saham di sini, bayar gue pas udah ada untung. Kata orang itu ada toko peralatan bakeri gak jauh dari sini. Gue bayarin biar totalitas."

"Enak ya jadi Ajeng dulu, punya lakik tajir bener." Mayla memasukkan jurnal ke dalam backpack-nya. "Untung sekarang lakiknya jadi pacar gue." Mayla melenggang pergi, membiarkan Ganendra melayang menembus langit kesepuluh kalau ada.

Sudah nyaris dua bulan di Budapest, Mayla dan Ganendra mirip pasangan kekasih baru. Kemanapun Mayla pergi selalu ada Ganendra di sampingnya. Mayla sering merepotkan Ganendra untuk menemaninya mengurus calon bakeri baru, walaupun suara protes karena panas, lelah, dan pusing mengikuti ketidakpastian Mayla dalam memilih barang. Ganendra selalu berakhir pasrah karena timbal baliknya, Mayla rela menemani Ganendra yang selalu memprioritaskan makan, makan, dan makan dalam perjalanan pekerjaan berkedok liburan.

"May cobain goulash-nya, enak banget woy."

"May ini namanya apa tadi? Horto apaan?"

"Lah ini kol gulung? Kayak temennya siomay."

"Paprikash namanya? Gila ini ayam mirip rendang ya."

Masih banyak lagi celotehan Ganendra tentang semua makanan yang ia cicipi. Mayla hanya bisa tertawa melihat berbagai macam ekspresi Ganendra saat makan. "Mirip youtuber sok nge-review makanan lu. Kasian tuh perut kotak-kotak balik ke LA ilang."

"Biarin, kali ini ada temen gendutnya." Ganendra mencubit lengan Mayla yang memiliki lemak tanpa perlu perempuan ini hilangkan.

"Enak ya ngabisin duit lu. Di sini kerjaan gue jadi cuma tidur, makan, ngopi, sama ngerokok doang." Mayla menghempaskan tubuhnya ke sandaran bangku santai dekat kolam panas private di villa mereka yang lagi-lagi dikeluarkan dari pundi-pundi uang Ganendra. Perutnya terasa penuh setelah menikmati somloi galuska hasil buruannya dengan Ganendra.

"Gak papa buat nyenengin pacar. Berendem yuk, May. Percuma udah gue pesenin ini villa biar bisa nikmatin air panas bareng pacar tapi kagak pernah kita pake." Ganendra sudah mulai membuka kaus dan celana pendeknya.

"Males, kekenyangan, ntar ngantuk." Mayla merenggangkan tubuhnya tidak mau bergerak dari posisi nyamannya.

"Ayo dong Yang, dua hari lagi kan balik." Bayangkan tubuh atletis, nyaris kekar, gondrong pula. Merengek, merajuk dengan mata yang sengaja dibuat-buat manja hanya agar Mayla mau ikut berendam.

"Helah, malu tuh sama otot. Berendem aja kudu bareng." Mayla mengalah, mengingat sudah banyak jasa Ganendra selama mereka di Budapest. Ia mulai membuka kaus lengan pendek dan celana bahannya. Menampilkan tubuh sintal Mayla di beberapa bagian. Terutama dada dan… "Jangan ileran, baru liat lemak gue belom yang lain." Mayla melempar celananya ke arah Ganendra yang tidak berkedip sejak Mayla mulai membuka pakaiannya.

"Pantes Kama mau nempel sama lo, gila gue juga tinggal bareng bisa khilaf berkali-kali."

Mayla hanya mencebik tanpa menghiraukan candaan Ganendra. Kaki-kakinya perlahan masuk ke dalam kolam. Beruntungnya Budapest selalu mempunyai sumber air panas yang mengalir. Mayla merasakan setiap inchi tubuhnya terasa sangat ringan, menikmati aliran air panas yang menyentuh kulitnya.

Ganendra menghampiri Mayla yang sedang menumpukan kedua tangannya di pinggir kolam sambil menikmati pemandangan kota Budapest. "Rencana buka bakerinya kapan, May?"

"Humm mungkin enam bulan lagi. Masih banyak yang harus dikerjain sebelum finishing. Toko di LA mesti gue alihin ke orang lain dulu. Fokus di sini sampe stabil." Mayla memutar tubuhnya ke samping agar bisa mengucapkan setiap kata ini kepada orang yang sudah berbaik hati membantu mewujudkan salah satu mimpinya. "Dra, thank you for everything. I can't make this dream came true without your help."

Ganendra menarik pinggang bak gitar spanyol milik Mayla mendekat ke arahnya. "Pacaran beneran yuk, May. Gue males basa-basi sama lo. Selama di sini gue nyaman dengan hubungan kita."

Mayla tidak terkejut dengan pernyataan Ganendra, sudah tau akhirnya pasti laki-laki ini menuntut lebih. "Dra, apa jaminannya lo bisa bikin gue happy? Abi juga dulu baik banget sama gue, pas dapet maunya dia bisa ngancurin gue sampe bertaun-taun. Bukan maksud nyamain lo sama dia. Gue masih trauma, perasaan gue ke Kama…"

Ganendra memutus pembicaraan Mayla dengan satu kecupan di bibir, hal yang selalu ingin ia lakukan pada Mayla. Status menjadi pacar sementara Mayla tidak pernah mengantarkan dirinya untuk berani melakukan hal ini.

"Dra…"

Ganendra sedang tidak ingin menerima penolakan, tubuhnya semakin merapat, mengubah kecupan menjadi ciuman lembut. Belum ada reaksi balasan dari Mayla, bibir perempuan itu masih tertutup rapat.

"Sorry." Akhirnya Ganendra mengalah, ia menjauhkan wajah serta tubuhnya dari Mayla. Tidak mau ada paksaan, meski hatinya memberontak.

Mayla tertawa meledek, "Aduh anak ibu Rita ngambek. Sini dong Sayang, dingin tau."

Ganendra mencipratkan air ke Mayla. "Bacot, ini air panas mana ada dingin. Gak jago lo ngegombal." Ganendra malah semakin menjauh. Mayla gemas melihat tingkah Ganendra, ia menggerakkan tangan dan kakinya untuk mendekat.

Mayla menyelam, memunculkan kepalanya di antara kedua tangan Ganendra. Mengusap wajahnya yang terkena air dan memberanikan diri untuk membalas ciuman yang diberikan Ganendra. Bibir kenyal, sedikit tebal milik Mayla bermain di bibir Ganendra.

Awalnya sempat terkejut tetapi Ganendra tersenyum senang sebelum membuka mulutnya untuk membiarkan Mayla membelit lidahnya dalam intensitas ciuman panas. Bibir mereka saling menempel, keduanya mengeksplor mulut satu sama lain. Ganendra menempelkan punggung Mayla semakin rapat pada dinding kolam. Mayla mengalungkan kedua tangannya di leher Ganendra, mengunci tubuh kekar itu pada lilitan kedua kakinya di pinggang Ganendra.

"Dra.."Mayla melepaskan pagutan mereka, "Kita coba tapi…" Mayla menempelkan hidungnya pada hidung mancung Ganendra. "Gue gak mau ada yang berubah di antara kita."

Ganendra mengangguk. "Thanks for the opportunity, May." Ganendra kembali menyatukan pagutan bibir mereka. Satu desahan lolos dari Mayla, setelah Ganendra mulai menurunkan ciumannya ke arah leher Mayla. Ganendra menyesap kulit di tulang selangka Mayla begitu dalam hingga meninggalkan jejak kemerahan.

Kedutan nyeri di antara kedua pahanya yang dulu selalu ia rasakan kembali membangkitkan sensasi yang sudah lama tidak ia dapatkan. Tangan besar Ganendra meraba dada Mayla, ditemukannya pengait bra depan Mayla. "May I?" Satu anggukan setuju, membuat Ganendra meneruskan aksinya. Dilepasnya pengait itu sehingga memunculkan dua gundukan kembar sintal Mayla.

'Holy mother fuck' decak Ganendra, otaknya bahkan sudah berpikiran mesum diikuti milik Ganendra semakin menggembung ketika melihat gundukan Mayla yang besar dan bulat sempurna baginya. Ganendra mengalihkan pandangannya ke bibir Mayla, diciumnya kembali bibir itu. Ia sedikit mengangkat tubuh Mayla agar lebih leluasa menjamah, mengelus ujung gundukan Mayla yang sudah mengacung menantang.

'Shit' batinnya pun tidak sanggup menahan desiran panas yang menjalar ke seluruh tubuh. Tidak banyak berpikir, Ganendra menghisap dan menjilat salah satu gundukan. Menyusu seperti bayi kelaparan.

Mayla mendesah dan menengadah. Kedua tangannya menjambak pelan rambut Ganendra. Seolah tahu Mayla mulai 'naik', Ganendra memilin ujung gundukan Mayla dengan telunjuk dan ibu jarinya.

Mulutnya berpindah ke dada yang lain, sementara tangannya turun dan menyusup ke balik celana Mayla. Ditekannya area sensitif Mayla dengan lembut, membuat pemiliknya mengerang.

Mayla menahan tangan Ganendra. Otaknya tiba-tiba bekerja di tengah kenikmatan. Tubuhnya meminta lebih, tapi kepalanya menyuruhnya berhenti.

Ganendra yang merasa area sensitif Mayla mulai basah menggesek jarinya turun ke lubang kenikmatan Mayla dan melesakkan dua jari yang membuat Mayla memekik.

Tubuh Mayla mengejang. Setelah lama tak dijamah, sensasi menyenangkan itu membuat tubuh dan otaknya kacau. Dengan sisa kesadaran, Mayla mendekatkan wajahnya ke telinga Ganendra.

"Dra, jangan.."

Suara Mayla yang berbaur dengan desahan malah membuat Ganendra semakin bergairah. Ia menuntun tangan Mayla masuk ke dalam celananya.

"Tapi gue pengen." Ganendra tersenyum dan melumat bibir Mayla sambil menekan jarinya ke titik sensitif di dalam tubuh Mayla.

Mayla sontak meremas milik Ganendra yang kini berada di tangannya. Remasan tangan Mayla membuat Ganendra menggesek bagian sensitif Mayla dengan ibu jarinya dan menggerakkan jarinya di dalam dengan harapan Mayla akan menggerakkan tangannya.

Harapan Ganendra terkabul. Mayla mulai mengurut milik Ganendra sambil sesekali mendesah dan memekik saat Ganendra menyentuh titik-titik sensitifnya.

Ganendra yang tak tahan lagi menarik celana Mayla sebatas lutut dan menurunkan celananya sendiri. Ia menekan Mayla ke dinding dan melumat bibir Mayla dengan penuh nafsu.

Ia angkat sebelah kaki Mayla ke pinggangnya dan mengarahkan miliknya pada milik Mayla. Keduanya melenguh saat milik mereka bersentuhan.

Saat Ganendra menekan tubuhnya memasuki Mayla, tiba-tiba Mayla tersadar dan mendorong tubuh Ganendra menjauh.

Napas tersengal tidak beraturan secepat kilat Mayla redakan, "Dra, sorry gue gak bisa." Gairah kenikmatan sesaat yang Mayla rasakan lenyap berganti perasaan ketakutan. Mata Mayla menatap bayangan dirinya di air.

"Perempuan murahan kayak kamu tuh gak akan ada yang mau. Sadar, May. Kamu gak bisa lepas dari aku." Teriakan Abi memenuhi gendang telinganya.

"La, kalo suatu saat lo mulai buka perasaan buat gue. Kasih tau gue ya, gue gak janji bisa nyenengin lo terus tapi gue selalu di sini buat lo." Belaian lembut Kama di pucuk kepalanya, mengisi memori indahnya.

Ganendra sadar hati Mayla untuk siapa, ia menggeram kesal sembari menaikkan celananya. Ia mendekat ke arah Mayla. Merapikan celana dalam Mayla, mengaitkan kembali bra yang sudah terbuka kemana-mana.

"Dra, maaf. Gue belom siap." Mayla mengangkat wajahnya, mencari netra hitam kecoklatan Ganendra. "Dra."

Ganendra berusaha tersenyum, "Gak papa, pelan-pelan. Naik gih ntar lo kedinginan." Ganendra mengelus kedua lengan Mayla berkali-kali.

"Bacot, di sini panas mana ada dingin. Gak jago ngegombal lo." Mayla mengulang perkataan Ganendra untuk menyindir laki-laki itu. Mayla menarik tubuh atletis Ganendra, merapatkan tubuhnya untuk memeluk. Berterima kasih karena laki-laki ini mau mengerti kondisinya. "Makasih ya Sayang, nanti balik ke LA nginep di apartemen gue ya, Be." Mayla menahan senyumnya, sungguh menyenangkan menggoda sahabatnya ini.

"Geli, May. Beneran gak cocok lo jadi bucin. Naik deh, gue butuh tenangin yang gak dapet jatah nih malem." Mayla memukul dada bidang Ganendra. Otak mesumnya masih bekerja aktif ternyata. Setidaknya ketakutan itu berganti menjadi perasaan tenang ketika Ganendra merengkuh tubuh Mayla ke dalam satu pelukan nyaman saat mereka tidur bersama.

Namun, kenyamanan dan keindahan semalam tidak berlangsung lama. Suara canda tawa Mayla karena berhasil mengerjai Ganendra terhenti. Hawa hangat ketika keluar dari toko perlengkapan bakeri berubah menjadi dingin. Tubuh Mayla menegang, kepalanya memutar kilas balik kejadian 12 tahun lalu. Sosok masa lalunya berdiri tegak, tersenyum tanpa bisa Mayla artikan maksudnya.

"Hai May."

—-------------------------------------------------------------------------------------------