1 Prolog

"Kamu bukan anak yang kami maksud! Pergilah!"

Di tengah derasnya hujan keluarga itu mengusir Devan dari kediamannya. Remaja itu di lempar keluar rumah hingga membentur aspal. Kepalanya berdarah. Bahkan tak hanya kepalanya, dadanya juga terluka. Ia mendapatkan penyiksaan sebelum akhirnya keluarga itu mengasingkannya. 

Sambil menangis ia menahan luka dalam dirinya. Rasa sakit hati itu membawakan ia pada satu kenangan lama. Kenangan bagaimana sepasang suami istri itu mengambilnya dari sebuah panti asuhan saat ia berusia 7 tahun. 

Namun, nampaknya selama ini keluarga itu keliru. Mereka mengangkat anak yang salah. Anak lelaki hasil hubungan gelap keduanya saat belum menikah yang mereka sembunyikan di panti, ternyata bukanlah Devan. 

Dan hari ini pun tiba.

Tanpa perasaan keluarga itu mengusrinya. Mereka mengusir Devan setelah sekian lamanya melekatkan cinta pada hatinya. Hari-hari mereka lalui dengan menyakiti Devan saat tahu bahwa ia bukanlah anak dari darah mereka. Hingga akhirnya mereka melempar Devan keluar dari istana megah yang selama ini telah memberinya banyak cinta. 

Remaja berusia 13 tahun itu hanya bisa menangis di tengah derasnya air hujan. Ia hanya bisa menggaungkan kesedihannya tanpa seorang pun yang peduli padanya. Tanpa peduli lagi dengan luka di beberapa tubuhnya, ia berjalan dengan langkah tertatih. 

"Bagaimana aku hidup setelah ini, Ma... Pa?" gumamnya sambil terus melangkah. 

Hingga akhirnya Devan tak mampu menahan tubuhnya. Langkahnya berakhir di depan sebuah rumah sederhana. Ia terjatuh di sana dengan luka yang terus keluar dari tubuhnya yang terluka. 

Beberapa saat kemudian seorang pria datang dan membawa nya masuk ke dalam rumah. 

"Kasihan sekali Mas dia." ucap seorang wanita sambil membawa sebuah kotak obat dan memberikannya pada suaminya. 

"Ambilkan aku air hangat untuk membersihkan lalukanya! Anak ini sudah kekehilangan banyak darah."

Beruntungnya Devan. Nyatanya pria yang menyelamatkannya itu adalah seorang dokter. Di bantu oleh istrinya ia merawat luka di tubuh Devan. Devan yang tak sadarkan diri menerima pertolongan dari seseorang yang baik.

Tak lama setelah ia mengobati, Devan membuka kedua matanya. Ia nampak bingung dengan sekelilingnya. Ia melihat seorang pria dan wanita yang menyambutnya dengan senyuman. 

"A-aku dimana?" tanya Devan penuh tanya. 

Devan masih nampak kebingungan melihat sekitarnya. Suasana rumah yang begitu asing di matanya. Sebuah rumah yang nampak lebih sederhana dari sebuah istana tempatnya tinggal dahulu.

"Di rumah kami, Nak." jawab seorang pria yang tadi juga menyambutnya dengan senyuman. 

"Namamu siapa, Nak?" tanya istri pria itu dengan sama ramahnya. 

"Devan, Nyonya." jawab Devan sambil menahan sakit di beberapa bagian tubuhnya. 

Devan kembali memperhatikan sekitarnya. Lalu kembali terfokus pada sepasang suami istri yang menolongnya. Mereka tersenyum ramah pada Devan.

"Perkenalkan, aku Dokter Hanson dan ini istriku, Miranda." pria bernama Hanson itu akhirnya memperkenalkan dirinya. 

Devan tersenyum seakan ingin memberi salam perkenalan pada keduanya. Ia merasa sangat bersyukur karena ada seseorang yang mau menolongnya saat terkapar di tengah derasnya hujan. Entah apa jadinya jika mereka tidak menolongnya. Sekarang, hanya perasaan syukur yang terpatri dalam batin Devan. Meski sebagian hatinya masih terluka karena sikap kedua orang tua yang membuangnya layaknya sampah di hari dengan cuaca yang sangat buruk hari ini.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Nak?" tanya Hanson ingin tahu. 

Dan Devan pun pada akhirnya menceritakan semuanya. Ia menceritakan semuanya yang telah terjadi. Ia menceritakan bagaimana perlakuan mereka selama ini setelah mengetahui fakta kebenaran tentang dirinya. Ia ceritakan sikap semena-mena mereka terhadap dirinya hingga memperlakukan Devan seperti seekor binatang.

Hanson dan Miranda merasa prihatin dengan cerita Devan. Mereka yang selama ini menginginkan hadirnya seorang putra sampai detik ini belum terkabulkan. Mendengar cerita Devan yang di buang begitu saja membuat mereka ikut bersedih. Apalagi dengan banyak luka memar di tubuh Devan yang menandakan bahwa remaja itu telah melewati fase terburuk dalam hidupnya.

"Devan, jika kamu mau, jadilah anak kami!" tawar Hanson. Miranda ikut tersenyum mendengar tawaran baik suaminya.

Bagaikan menemukan satu kebahagiaan yang hilang mendengar perkataan Hanson  yang begitu baik padanya. Devan pun tersenyum bahagia. Ia tak menyangka bahwa akan ada seseorang berhati baik yang mau mengangkatnya sebagai seorang anak. 

"Benarkah itu, Tuan? Tuan ingin menjadikan saya sebagai bagian dari keluarga ini?" tanya Devan dengan sejuta harapan yang telah ia gantungkan kepada Hanson dan Miranda yang baru saja di kenalnya.

Hanson dan Miranda hanya tersenyum. Miranda memberi kecupan di pipi Devan untuk meyakinkannya. Melihat Devan yang nampak merasa sakit hati karena terasingkan membuat Miranda sangat menyanginya meski baru pertama kali bertemu. Apalagi keinginannya untuk memiliki buah hati belum juga Tuhan berikan. Dia berpikir, pertemuan mereka dengan Devan adalah hal yang luar biasa. Luar biasa karena Tuhan memberikannya satu kesempatan untuk menyayangi seorang anak meski bukanlah yang terlahir dari rahimnya sendiri.

"Setidaknya, dengan satu kebaikan, Tuhan mengabulkan impian kami untuk memiliki seorang anak suatu hari nanti." Miranda melanjutkan. Wanita itu juga menaruh banyak harapan pada Devan. Ia berharap Devan menerima tawaran mereka yang ingin mengangkatnya sebagai anak.

Sambil tersenyum Miranda mengungkapkan isi hati yang sebenarnya kepada Devan. Di belainya rambut Devan di tatapnya sepasang mata indah milik remaja itu dengan mata berkaca-kaca.

"Apakah Tuan dan Nyonya akan membuang saya juga apabila seandainya kalian sudah memiliki seorang anak?" tanya Devan dengan ketakutannya.

Remaja itu takut melukai dirinya sendiri setelah mendapatkan cinta keluarga yang baru. Rasa trauma itu tentu saja masih sangat melekat di hatinya. Ia tak ingin merasakan lagi kepahitan seperti yang di terimanya hari ini.

Mendengar ucapan Devan, Miranda tersenyum. Ia membelai rambut Devan. Memandangi anak laki-laki itu dengan perasaan sejuk. Ketulusannya lah yang menawarkan cinta itu untuk Devan. Ia ingin menunjukkan bahwa cinta itu ada untuk Devan meski keduanya belum lama di pertemukan.

"Untuk apa kami membuang seseorang yang telah memberikan satu keberuntungan itu? Kami malah sangat bersyukur karena Tuhan mempertemukan kami dengan anak setegar dirimu, Devan." jawaban tulus dari Miranda membuat Devan berlega hati. Ia merasa bahwa tengah mendapatkan satu keberuntungan baru. 

"Terimakasih, Tuan..." ucap Devan sambil memeluk Hanson.

"Terimakasih, Nyonya..." lanjutnya sambil memeluk Miranda dengan perasaan haru. 

Miranda dan Hanson tersenyum. Kemudian ketiganya berpelukan erat. Devan kini merasa jauh lebih baik. Karena ternyata cinta untuknya di dunia masih ada dan kini Tuhan berikan.

"Terimakasih Devan, karena datang di waktu yang tepat."

Bersambung...

Salam sejahtera para readers yang baik hati.

Jangan lupa!

Tinggalkan pesan.

Dukung author dengan vote, komen dan subscribe.

Saya sangat membutuhkan masukan dan dukungan dari kalian semua.

avataravatar
Next chapter