webnovel

Met You

- Hontown, 1998 –

Suara bel yang tidak sabaran itu memaksa si empunya keluar dari kamar. Setelah memutuskan tidak ikut dengan yang lain, Camellia memilih mengurung diri dengan cemilan plus koleksi buku terbarunya, sebelum suara yang terdengar terpaksa menarik perempuan itu keluar dari surga dunianya itu. Berteriak tunggu, saat bel tak kunjung berhenti.

Belum sepenuhnya pintu terbuka, ia terpaku pada sosok yang mengganggu ketenangannya. Berdiri kikuk ditempat. Merasa familiar, Camellia memutar kembali ingatannya dan menemukan kalau ternyata laki – laki itu adalah orang pertama yang ditangkap bola matanya sejak pindah tiga minggu lalu. Juga orang yang sama yang dilihatnya dari jendala kamar David sore kemarin. Belakangan Camellia tahu bahwa mereka akan berada disekolah juga kelas yang sama. Tapi, yang tidak ia tahu saat itu adalah bertahun tahun kedepan manusia dihadapannya ini akan selalu mengambil peran dalam hidupnya.

Laki - laki itu persis seperti tokoh dalam novel yang dibaca Camellia tadi, membuatnya tak sengaja mendengus. Perempuan itu hanya setinggi bahunya, parasnya diatas rata - rata laki - laki yang pernah ditemui Camellia dulu, dandanannya betul - betul cerminan anak zaman sekarang. "Playboy" sempat terbesit di benaknya namun langsung lenyap setelah pria dihapannya itu tersenyum lembut - entah kenapa ia berharap kesimpulan sepihaknya itu tidak benar -. Tanpa sadar membawa perempuan itu kembali ke dalam imajinasinya, pada Archer yang sedang menunggu tenang dikasurnya.

'Nice to finally meet the person the whole school was talking about. I'm Jason.'

Wow. Kata satu - satunya yang terpikir oleh Camellia untuk mendeskripsikan suara si Jason ini. Berat dan terdengar sangat elegan, tidak mengindikasikan kekasaran sama sekali. Setelah waktu yang sangat lama dan kejadian yang begitu banyak, ia sudah lupa seperti apa suara ayah kandungnya, tapi yang pasti laki - laki dengan suara lembut lagi tegas hanya ia dengar saat ayah angkatnya berbicara - yang membuat perempuan itu merasa paling diberkati -. Sepertinya, suara laki – laki itu akan masuk daftar nomor dua - tepat dibawah sang ayah - suara yang ingin Camellia dengar setiap harinya. Keheningan mengisi ruang diantara mereka, lalu ia sadar belum menerima uluran tangan didepannya.

'Camellia. Nice to meet you too.'

'There. Mom told me to give you some cookies as a welcome gift . With a little message that contains hope you feel at home here. A little late, though.'

Mengikuti arah yang ditunjuk Jason, Camellia mendapati kotak kecil lengkap dengan pita birunya diatas meja teras. Sementara pria dihadapannya masih tersenyum secerah mentari, Camellia mendapati dirinya ikut tersenyum meski tak selebar yang didapatnya. Satu dari dirinya yang belum berubah sejak hampir setengah tahun meninggalkan panti, Camellia masih sering menahan diri. Baginya saat ini jarak yang pas sangatlah penting. Mencoba tidak terlalu dekat namun juga tidak terlalu jauh. Berusaha tidak agresif sampai meninggalkan kesan buruk atau terlewat ramah yang juga berujung dengan citra jelek. Tidak ada yang bisa menebak masa depan dan sakit hati karena kehilangan adalah hal yang tidak ingin Camellia lalui. Lagi. Mungkin karena itu, ia merasa aneh sendiri dengan senyum yang terpatri diwajahnya.

'It's okay.. Thank you so much.'

'You know what.. You've nothing to worry about. They're good people. I can guarantee that.'

Untuk yang itu Camellia juga tahu bahkan sangat tahu, makanya ia ada disini sekarang. Saat pertemuan pertama dipanti beberapa bulan lalu, sebagian dirinya sangat senang, seolah meminta Camellia untuk ikut detik itu juga. Bertolak belakang dengan pertemuan - pertemuan yang ia lalui sebelumnya. Saat itu, tidak ada rasa takut yang mengikuti bahkan setelah tahu kalau ia akan tinggal ber mil - mil jauhnya dari panti. Satu dari mimpinya terwujud - hidup jauh dari kota yang melenyapkan nyawa orang tua kandungnya- karena dua orang mulia itu. Yang selalu jadi pengingat untuk Camellia terus berbakti. Terlebih setelah mengerti alasan mereka mengangkatnya. Banyak - banyak, dimasa mendatang, mimpinya akan terkabul sebab dukungan keluarga Peterson.

'See you around, then. Don't wanna bother you any longer.'

Berkedip, Camellia sadar ia sudah pergi terlalu jauh. Refleks, ia hanya mengangguk sebagai jawaban yang menghantar pria berlesung pipit itu undur diri. Camellia mengamati sampai Jason menghilang dibalik kemudinya sebelum ia kembali ke pelukan kasur empuknya. Tak sengaja matanya menangkap jam juga tanggal hari ini membuatnya membenarkan kemana mobil merah itu pergi. Malam Minggu. Yang lagi - lagi Camellia tidak tahu kenapa ia peduli. Menyelisik pertemuannya dengan Jason tadi, Camellia baru ngeh kalau selama tujuh menit itu, ia hanya mengangguk dan melamun. Perempuan itu menggerutu, mengeluh sebab dirinya masih saja kaku. Sedikit takut dengan nasibnya disekolah nanti, yang penuh dengan hal baru.

***

Yesterday Once More mengalun lembut menemani Camellia yang begitu sibuk dengan perlengkapan sekolahnya. Hari pertama disekolah baru, suasana baru, juga teman baru. Walau komunikasi masih jadi masalah besar dan bertemu orang banyak bukanlah passion-nya, tapi setidaknya perempuan itu berharap dandanannya tidak terlalu menggambarkan "baru" yang bisa membuatnya jadi "santapan lezat". Bahkan sejak minggu lalu, ia terus berdoa supaya hari - harinya berlalu dengan membosankan. Karena untuk beberapa hal menjadi orang yang membosankan jauh lebih menyenangkan. Sayang, semangatnya yang pas - pasan itu sangat bertolak belakang dengan yang ditunjukkan kedua orang tuanya dilantai bawah. Kebisingan mereka dimulai dari pagi buta. Kembali merapikan pakaian, Camellia ikut bersenandung. What a nice song..

'Cam, hurry up. You'll be late.'

Pemandangan meja makan penuh kehangatan sudah pernah dirasakannya selama 10 tahun (on and off ) di Liebevolles Haus dimana sekitar 35 anak berkumpul di dua meja makan besar. Keakraban yang terlihat membuat tempat itu tak seperti "rumah singgah". Alena dan Amira - si kembar - dengan cerita yang tak pernah habis, Frans dengan kacamata dan buku yang tak pernah lepas - paket komplet - , Kevin, Alan juga Amel dengan keusilannya. Semua. Setiap anak dengan kelebihan dan kenakalannya menjadi penyempurna tempat itu. it's a home with a lot of members. Sampai Berta - penduduk terlama, si yang paling sempurna - selalu tidak sadar menggunakan Aksen dasarnya - German - jika mulai terusik yang selalu mengundang tawa. Ia terdengar seperti anak yang baru bisa bicara. Selamat untuk Ibu Meisha, pendiri Liebevolles Haus, imigran German yang telah merawat Berta dari umur enam tahun sampai sekarang.

Ketika berkas – berkas pengangkatannya masih dalam pengurusan, Camellia sudah memulai pendekatan dengan keluarga Peterson. Bahkan berkali - kali menginap dirumah bibi calon orang tua angkatnya itu, tempatnya tak jauh dari Liebevolles Haus. Sekitar dua jam. Yang pertama disukai perempuan itu dari waktu pagi, siang, juga malamnya disana adalah waktu makan. Selalu mengingatkannya pada Liebevolles Haus dan isinya. Jadi pemandangan pagi dan sengala kerepotannya adalah hal yang biasa untuk Camellia.

Tapi sekarang, kala matanya menangkap semua gerak, setiap percakapan diruang makan pagi ini - mulai dari ayah dengan korannya, David dan celotehnya yang sesekali menghasilkan tawa, juga ibu bersama menu sarapan favoritnya, roti bakar -, perasaan aneh menyelinap masuk. Membuatnya sedikit melankolis. Kehangatan yang entah kenapa tidak sama dari sebelumnya, menghantar rasa canggung dalam diri Camellia. Berbeda tapi dalam kesan yang baik.

'Good Morning'

'Good Morning, sweetie..'

'Oh, you look gorgeous. It's fit you well. So cereal or toast?'

'Thank you, mom. Toast, please'

'Oh my god.. Too formal'

Camellia tahu adiknya itu tidak akan membuang sedikit ruangpun untuk mengkritik nya. Which is sometimes good and mostly bad.

'Mom complimented me and I thanked her. And She offered to which I replied please. It's called manners, David.'

'Still, sister. I thought I told you, manners save no one at KATHAROS High School'

Ya, dua hari lalu. David telah memberi kuliah panjang saat Camellia hanya meminta gambaran besar dari sekolah barunya itu. Katharos High School termasuk salah satu sekolah menengah atas terbaik disana yang juga satu kompleks dengan sekolah sang adik. David mungkin sudah melihat banyak kejadian sampai memastikan tidak melewatkan apapun. Dari kejadian tingkat rendah hingga level tinggi. Yang entah bagaimana bisa berlanjut sampai di prestasi sang tetangga -Jason-. "He's so cool" , "One day i'll be like him" , "Make sure to be his friend. But don't ever enter his friendship circle. They're cruel." dan kalimat peringatan lainnya. Camellia hanya menjawab sekenanya karena ia memang tidak begitu peduli. Lulus, Kuliah, Kerja, dan membalas kebaikan keluarga Peterson adalah tekadnya sejak barang - barang milik perempuan itu sudah menghilang dari Liebevolles Haus. Fixed Price.

Baru juga niat membalas, sang ayah melerai lebih dulu.

'Guys, don't start.'

Sesederhana teguran sang ayah, ke empat orang itu memulai sarapan pertama disemester baru. Sempat sang ibu menyampaikan rasa sedihnya sebab selama hampir setengah hari ia harus sendirian dirumah. Meski berkali - kali diizinkan ayah untuk kembali berkarir, ibu malah berkata lebih suka mengurus suaminya itu daripada orang lain. Kalau sudah begitu, baik Camellia maupun David memilih masuk kamar. Terhitung 24 tahun bersama sejak masih pacaran, tapi dua orang itu masih dalam fase bulan madu. Terkadang, Camellia dan David harus jadi korban malu. Mereka selalu menggoda dengan panggilan Lovebird yang dihadiahi senyum manis Mr. & Mrs. Peterson.

Setelah sarapan, Camellia kembali fokus pada bacaan barunya - Pride and Prejudice - sembari menunggu sang Ayah yang masih bersiap juga David dengan panggilan alamnya. Kegiatan itu terhenti ketika suara klakson memekikkan telinga terdengar. Menengadah, ia menemukan Chevrolet Silverado terpatri didepan rumah Jason. Ia melihat laki - laki yang berkunjung kerumahnya dua minggu lalu itu menghampiri orang dibalik kemudi yang Camellia yakini adalah temannya. Senyum manis tak lepas dari wajah tampan nya. Ada sesuatu dari senyum Jason, seolah memaksa siapapun yang melihatnya harus ikut menjiplak.

Merasa diperhatikan, objeknya itu balik menatap. Entah apa yang ia katakan tapi empat orang dalam mobil itu ikut menoleh ke arah Camellia sebelum senyuman serta lambaian tangan menyambut perempuan itu. Lima orang termasuk Jason. Classic. Tidak ingin memberi kesan jelek, ia pun membalas singkat. Namun, perasaan was - was menghampiri manakala Jason mendekat. Berdiri pas didepan pagar dan memberi isyarat untuk Camellia merapat.

Seolah terhipnotis oleh mata berwarna abu - abu itu, Camellia pun menutup jarak yang ada. Senyum belum juga hilang dari si laki - laki. Setelah menjelaskan maksud hatinya ingin mengajak Camellia berangkat bersama, perempuan itu menolaknya halus.

'Dad insisted on taking me on my first day. Old-fashioned.'

'Hahaha.. Sounds like him. Convey my regards then.'

'I will.'

....

'See you at school'

Camellia hanya tersenyum, berdiri canggung didepan pagar sendiri sampai mobil beserta penumpangnya itu lenyap dari jarak pandangnya. Tidak menyangka ia baru saja menahan napas cukup lama. Why socializing is so hard?!. Perempuan itu mulai berpikir ia mengidap gangguan kecemasan sosial. Panggilan sang Ayah mengalihkan perhatiannya. Pamit, ketiganya pun berangkat bersama.

Perjalanan sekitar 20 menit itu diisi dengan wejangan sang Ayah dan David dengan MP-Man nya. Tentang yang boleh dan tidak boleh Camellia lakukan, betul - betul seperti ini adalah pengalaman pertamanya ke tempat umum. Padahal dalam hitungan minggu ia akan berusia 17 tahun, sangat cukup umur untuk tahu yang baik dan yang buruk. Tapi tetap saja Camellia tersenyum. Sebelum turun Camellia berpesan jangan terlalu khawatir.

'That's daddy's job, always worry about their children. Until you find a good man and get married.'

Ada lelucon disana, dari cara sang ayah menyampaikannya. Tapi Camellia tidak tahu bagaimana merespon, jadi ia hanya tersenyum. Tak lupa menyampaikan salam dari Jason, lalu cadillac coklat itupun berlalu. Dan dua bersaudara itu juga masuk ke sekolah masing - masing.

***

KATHAROS High School begitulah yang tertulis di bagian depan sekolah itu. Bangunannya tidak begitu megah tapi tidak bisa juga dikategorikan konservatif. Modelnya ibarat kastil tapi sejak awal, sejarahnya tidak pernah mengatakan kalau bangunan itu dulu digunakan kaum bangsawan atau sejenisnya, tempat itu memang didirikan sebagai tempat belajar. Artistik, seperti bangunan zaman dulu namun sangat cocok di semua era. Khas juga Klasik adalah kata yang pas. Dari luar, bangunan yang didominasi warna coklat itu seperti berbicara kondisi didalamnya. Bak masuk kandang singa. David sudah mengingatkan, persaingan disini tidak bisa dianggap sepele. Sebenarnya Camellia sudah mengajukan keberatan, menurutnya sekolah biasa pun cukup. Tapi sang ibu yang berkeras. "Having you and david in the same school calms us down. You guys can look after each other.". Pada akhirnya satu selalu kecil daripada tiga.

Dan disinilah Camellia sekarang. Sepanjang perjalanannya menuju ruang guru, perempuan itu berusaha sebaik mungkin supaya tak canggung yang justru membuatnya terlihat aneh. Ia seakan mendengar semua gerombolan siswa diseluruh penjuru sekolah menggosipnya, dimana faktanya tertarik pun tidak ada. Tapi tetap saja, rasa cemas mengambil banyak bagian dari dirinya. Membuat langkah kakinya di penuhi pikiran negatif. Perjalanan lima menit terasa satu jam.

Baru 10 menit berlalu, Camellia sudah merasa pengap. Tidak ada satupun guru yang tersenyum padanya atau menunjukkan sedikitpun sikap ramah. Wali kelas perempuan itu belum datang dan kelas baru akan dimulai 15 menit dari sekarang, total Camellia harus menunggu diruangan itu 25 menit lamanya. Camellia masuk kategori terlambat, sebab pindah saat semua murid di kelas dua sudah mulai fokus dengan masa depannya. Kata David - Lagi - Biasanya yang seperti itu dipandang sebelah mata. Yang semakin menambah alasan dirinya insecure. "Bagaimana kalau ia tidak bisa bersaing?", "Seperti apa masa depannya nanti kalau ia ternyata tidak bisa lulus dari sana?" , "Kalau yang dikatakan David benar, ia bisa jadi korban selanjutnya. Mengakhiri hidup karena lingkungan yang keras". Kurang lebih begitulah isi pikiran Camellia selama waktu menunggunya berjalan.

Lorong sebelum ruang guru, Camellia menemukan beberapa lemari kaca bersama piala - piala terpajang didalamnya, kalau tak salah ingat tempat dinamakan Dreamy Alley. Yang jadi pembuktian dari cerita David. Di perhatikan Camellia tadi, nama Jason terpasang di hampir setengah dari piala disana. Dari akademik sampai non akademik. Dan diantara itu semua Lacrosse adalah juaranya. He's a master at it. Sekarang perempuan itu sedikit tertarik dengan kehidupan Jason Ross. Kenapa bisa pria itu hidup seperti karakter novel – novel yang dibacanya. Jika beruntung dan bisa berteman, Camellia bisa mengambil setengah dari kepintarannya. Khayalannya itu membuat senyum terbit diwajahnya. Jangan salah paham, Camellia bukanlah orang bodoh hanya saja kepintarannya standar. Yang butuh usaha lumayan besar untuk bisa ada diatas.

Jam menunjukkan pukul 07:58, dua menit lagi sebelum bel masuk terdengar tapi yang di tunggu Camellia tak kunjung tampak.

'You must be Camellia. Mrs. Anderson isn't feeling well, so I'll take you to class and teach the first hour.'

Pernyataan itu mengalihkan Camellia dari lantai marmer dibawahnya. Wanita dihadapannya berumur sekitar 50 an. Caranya membawa diri berbicara banyak, tanpa perlu wanita itu menjelaskan panjang lebar tentang dirinya. Hari ini Camellia akan tahu jika wanita itu adalah guru fisikanya yang ber-image sangar, Mrs. Wallis. Berminggu – minggu setelah hari itu, Camellia tahu jika hidupnya di KATHAROS high school tidak akan jauh dari Mrs. Lissa Wallis. Menyedihkan.

Belum sempat Camellia membalas, sang guru sudah melesat keluar. Terburu – buru, perempuan itu mulai menyeret badannya, mengekor seperti anak bebek. Ah.. it's gonna be a long day.

Dihelanya napas ketika telah melewati satu momen terberat. Beruntung perkenalan dirinya tidak menghasilkan scene dramatis. Sementara Mrs. Wallis sibuk dengan materi yang akan diajarkan. Camellia yang duduk kedua dari belakang, mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru kelas. Memilah – milah siapa yang bisa dijadikannya teman. Sekarang, ia hanya perlu mencari orang tepat supaya 24 bulan yang akan Camellia lewatkan disana tidak begitu sunyi. Mata birunya tak sengaja menangkap mata abu - abu milik Jason, duduk dibarisan ketiga dari belakang, bersandar di dinding dan tersenyum bak sang surya kearah Camellia. How could she missed it. Camellia sama sekali tidak melihat pria itu tadi. Sembari membalas senyum ramah Jason, terlintas dibenak Camellia untuk menanyakan apa pipi pria itu tidak keram tersenyum terus namun menepisnya jauh.

Camellia adalah tipe orang yang mudah sekali fokus namun secepat itu juga buyar. Sesudah pagi yang berjalan sangat lancar, bahkan telah bercakap - cakap dengan Clara juga Bella yang duduk tepat didepan perempuan itu. Siang ini Camellia menghadapi pelajaran yang cukup menguras pikiran terlebih mentari diluar sana tidak mendukung. Pendingin ruangan saja dibuat tak berdaya. Sekuat mungkin di cobanya fokus meski panas siang itu sudah melahap hampir semua teman kelasnya. Bahkan dia bisa melihat beberapa orang sudah dialam mimpi, menatap kosong pada guru sejarah yang menjelaskan didepan sana. Camellia meyakinkan dirinya untuk bertahan sedikit lagi biar hari pertamanya berakhir dengan sempurna manakala seseorang tiba - tiba duduk disampingnya. Rupa - rupanya Jason masih memiliki semangat pagi yang akhirnya tidak membantu sama sekali.

Laki - laki itu mulai mengacaukan konsentrasinya. Menanyakan apa yang disukai Camellia dan yang tidak ia sukai. Apa yang akan perempuan itu lakukan pulang nanti. Apa dia bisa berkunjung kerumah Camellia sore ini. Atau apa ia mau ikut dengannya nanti. Mulai menyebutkan nama – nama yang asing bagi perempuan itu, lalu memintanya memilih. Dan masih banyak lagi hingga kepala Camellia hampir pecah. Terberkati lah Camellia karena disaat dirinya hampir meledak bel pulang pun berbunyi. Secepat kilat ia mulai membersihkan barang - barangnya dan segera kabur dari tempat itu. She was totally wrong. He was much different from Archer. How could he be so chatty.

Perempuan itu bukanlah penggemar olahraga terlebih lari, Hell.. Ia sering sekali mengomel jika orang rumah bersekongkol menyeretnya keluar dari pembaringannya. Karena itu setiap kegiatan olahraga disekolahnya yang dulu, perempuan itu selalu saja mencari alasan. Namun tidak hari ini, ketika Jason terus saja memanggilnya, Camellia berjalan begitu cepat, berharap laki – laki itu tidak mengikutinya sama sekali. Malamnya perempuan itu curhat pada sang adik, yang langsung menatapnya menyengir.

'Welcome to Katharnos High School.'

***

Camellia tidak pernah tahu bagaimana ia bisa sampai disini, bagaimana dua bulan berlalu begitu saja. Tapi selama kurun waktu itu, ia tidak menemukan hal yang salah atau berbeda, malahan semua orang begitu supel, mudah untuk Camellia ajak bicara kecuali yang meyangkutmasalah prestasi, ia tetap saja orang asing. Tapi yang pasti David tidak 100% jujur padanya. Camellia harus mencari cara untuk membalas adiknya itu nanti.

Yang si perempuan sadari dari waktu dua bulan yang berlalu itu, dirinya dan Jason telah berteman. Laki - laki itu berkeras, tidak melepaskan kesempatan sekecil pun untuk membuat Camellia risih namun selalu berujung rasa senang bahkan yang perempuan itu tidak sanggah - sanggah sampai menumbuhkan rindu. Menghabiskan waktu dengan Jason sangatlah menyenangkan, itu adalah asas awal Camellia bisa berteman dengannya. Terlebih dengan kecakapan laki - laki itu, Camellia sering sekali mendapat wawasan baru. Tapi didunia dengan radius rata - rata 6.371 km ini, tidak ada satu makhluk pun yang sempurna. Dibalik sifat supel seorang Jason, ia masih saja orang terberat bagi Camellia untuk diajak bersekutu dalam hal apapun. Kritis. Perfeksionis. Ambisius. Untungnya Humoris.

Sekarang ini salah satunya. Sudah lebih setengah jam ia duduk sendiri, ditinggal Jason yang masih saja betah berkelana di antara rak - rak berisi puluhan literatur itu. Mereka ada diperpustakaan kota sore ini. Bertopang dagu, ia terus saja membolak - balik bacaan dihadapannya tidak karuan. Gaya Camellia saat ini menunjukkan daya tariknya akan benda persegi ditangannya telah mencapai titik terendah. Begitu susah menemukan sesuatu yang sesuai dengan hati dari partner tugasnya itu. Apalagi untuk Camellia yang sangat kurang membaca puisi. Satu - satunya sastra modern kesukaan Camellia hanyalah novel. Menghela napas, perempuan itu mulai berpikir diskusi ke-2 mereka ini tidak akan menghasilkan apa - apa.

Dua minggu lalu, kelas B2 dapat tugas dari guru bahasa dan sastra, dimana setiap kelompok siswa harus menemukan puisi dan menelaah isinya yang akan dikumpulkan tiga minggu sejak hari itu. Ini hari sudah terhitung dua minggu, mereka hanya punya tujuh hari tersisa, bersama tugas - tugas dari guru yang lain. Entah karena yang diajarkan sang guru atau memang karena pribadi asalnya, Mr. Anderson tidak pernah menyusahkan muridnya. Dari tiga kelas dengan 60 siswa dan seribu kepribadian, tidak pernah ada yang membicarakan selain pujian untuk sang guru. Sangking supel dan mudahnya beliau diajak berdiskusi, kadang - kadang kelasnya hanya berisi tawa, sering sekali berisi imajinasi dan harapan. Yang paling di senangi Camellia saat materi resensi. Gadis itu selalu unggul walau lagi - lagi masih dibawah Jason. Karena keluwesan sang guru itulah Camellia berakhir sekelompok dengan Jason. Banyak yang iri, terlebih Cindy, satu dari perkumpulan si Jason. Dari gelagatnya seperti menyimpan rasa, tapi kelihatannya Jason tidak peduli. Hal yang sering terjadi dalam pertemanan. One-sided love.

Saat itu Jason hanya menawar dengan senyum. Camellia yang begitu haus akan nilai langsung mengiyakan. Detik ini, Camellia merenung mungkin saja dia terlalu "murah", kalau salah - salah ia bisa jadi korban bully, karena si Cindy ini mirip Draco, karakter dalam fantasi J. K. Rowlling. Seharusnya, ia bisa dapat teman kelompok yang lebih "mudah" , Erik mungkin atau Galang, siapapun yang bisa membuatnya berbaring dikasurnya detik ini juga. Huff.. Bahkan Clara dan Bella sudah selesai dari minggu lalu.

'I think both are great options. You read it first and we'll discuss it again tomorrow, after school. I have...'

Camellia tidak begitu memperhatikan berkataan Jason kala pria itu melempar dua buku puisi dengan kertas yang terlipat di ujung masing - masing, menandakan ia telah menghabiskan setengah jam yang ada dengan mendalami bagian tersebut sebelum memperlihatkannya pada Camellia. Yang menarik perhatian perempuan itu adalah kata besok yang ia dengar. Secepat telinga nya menangkap kata itu secepat itu pula dia berdiri, menjadi pusat perhatian karena suara bising yang ia ciptakan. Untungnya kali ini rasa girang Camellia menang dari rasa malu, karena tanpa basa - basi ia meninggalkan kursi panas itu dengan Jason mengekor, tentu setelah meminta maaf. Gentlemanly Attitude.

'Try reading one at a time. Start with O Captain! My Captain!. One of Whitman's masterpieces and it will grow within you.'

'Okay..'

'Ever tasted Dead Poets Society?'

'No..'

'Oh god. You're so behind Camellia.'

Si empunya nama memperhatikan Jason dengan saksama. Fokus pria itu masih 100% di jalan, keuntungan untuk dirinya. Mulai dari tempat parkir sampai detik ini, dimana rumah mereka sudah terlihat di ujung sana, Jason belum berhenti memamerkan kecintaan nya pada sastra modern itu. Berdongeng, Jason menjabarkan alasannya jatuh hati pada bapak penyair Amerika itu. Mencibir manakala perempuan itu tidak tahu sama sekali yang ia bicarakan. Bahkan melamarkan diri untuk menonton bersama Camellia film yang disebutkannya tadi. Sepanjang jalan itu pula, Camellia sadar akan kecintaan Jason pada seni. Sungguh sisi yang baru ia ketahui.

Setelah berterima kasih, Camellia mulai membuka pagar, pikirannya saat ini sudah bersarang dikasurnya. Namun ucapan Jason menghentikan geraknya.

'Hey.. If you've read some. find one that describes me for you, will you?'

Kalimat itu keluar dengan lugasnya bersama alis tebal yang naik turun dan bibir yang tersenyum sempurna. Tanpa menunggu jawaban, pria itu sudah melesat pergi. He has practice this afternoon. Lacrosse.

Lama berdiri diam, sebelum perempuan itu meninggalkan tempatnya. Menggerutu adalah kegiatan paling banyak yang dilakukannya hari ini. Not productive at all.

'Nuts' ia membatin.

..xoxo..

Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!

Creation is hard, cheer me up!

I tagged this book, come and support me with a thumbs up!

Like it ? Add to library!

Dinda_Diandracreators' thoughts