webnovel

Pemakaman

Langit kelabu menurunkan rintikan hujan. Aku melepaskan kacamata hitamku lalu memandangi kelima batu nisan milik ibuku, kakakku, keponakan, kakak ipar, dan Joe. Aku hanya diam mematung memandangi batu nisan satu persatu. Air mataku sudah mengering. Aku sudah terlalu banyak menangis selama perjalanan dari Seattle-Jakarta.

Aku berlutut, mengusap pada nama batu nisan ibuku. Semua ini berlalu terlalu cepat. Aku belum sempat meminta maaf pada ibuku serta Joe.

"Aku minta maaf," suaranya yang pernah jadi relung kebencian di hatiku muncul dengan tiba-tiba.

Aku mengangkat wajahku dan menatap wajahnya yang kini menggelap tidak terurus dan baju yang ia kenakan juga kumal. Penampilannya sangat berbeda jauh dari yang terakhir kulihat.

"Om Danni," gumamku. Dia adalah sepupuku yang mengawali penderitaanku dan keluargaku. "Aku pikir hatimu sudah terbakar dengan iblis." Aku menyunggingkan sebuah senyuman yang tampak seperti joker face.

"Sekali lagi maafkan aku. Dulu aku terlalu gila harta. Aku menyesal," sesalnya.

"Percuma kau meminta maaf pada mayat keluargaku. Mereka tidak akan menjawabnya. Lebih baik kau pergi sebelum aku menjebloskanmu ke penjara!" usirku.

Danni pun enyah dari pandanganku. Ia melangkah dengan langkah gontai. Wajahnya terlihat sekali penuh penyesalan. Aku hanya bisa tersenyum miris menatap kepergiannya.

Kevin menggenggam kedua lenganku, memintaku bangkit dan menjauh dari makam keluargaku di saat orang-orang yang melayat sudah pergi satu persatu. Kini hanya ada aku, Kevin, dan Jane. Aku menatap ke sebrangku, Jane sedang menangisi makam ayahnya yang tidak lain adalah Joe. Matanya lebih bengkak dariku. Aku tahu bagaimana hancurnya perasaan Jane. Ia baru saja bertemu dengan ayahnya dan tidak lama kemudian ayahnya meninggal dengan cara tak wajar.

Ma, bahkan aku belum sempat memberitahumu tentang cucu kedua mama dariku, gumamku dalam hati. Aku mengusap pipiku yang lengket karena bekas air mata yang mengering.

"Ayo pulang," ajaknya.

Aku menahan kakiku agar tidak bergerak sama sekali. Aku masih ingin berada di sini, memandangi makam keluargaku untuk yang terakhir kalinya. Aku masih tidak percaya mereka telah tiada. Aku tidak percaya mereka meninggal dengan cara yang tidak wajar, tubuh mereka seperti terbakar tapi tidak ada yang mau memberi penjelasan padaku sedikit pun termasuk Kevin.

Tanganku menaburkan bunga pada makam ibuku untuk yang kesekian kalinya. Selama hidupnya, aku merasa belum bisa memberikan sesuatu yang membanggakan kepada orang tuaku.

Rintikan hujan yang tadi kecil berubah menjadi deras. Kevin memayungiku dengan payung hitam. Aku memejamkan mataku dan berdoa pada Tuhan semoga jiwa keluargaku diterima di sisi-Nya. Saat aku membuka mata, aku menemukan Jane berhadapan dengan Kevin. Jane menatap Kevin dengan tatapan yang kuartikan penuh dengan kebencian.

"Apa kau puas? Nyawa siapa lagi yang ingin kau lenyapkan? Ibuku meninggal karenamu dan sekarang ayah serta keluargaku juga meninggal karena hal yang sama!" Jane berteriak di depan wajah Kevin. Ia menarik kera kemaja hitam Kevin seakan-akan Jane ingin melenyapkan Kevin detik itu juga. "Kau tidak ada bedanya dengan Abraham Duncan si tua bangka ayahmu itu. Keturunannya pembunuh!"

Refleks aku melangkah mundur. Aku menutup rapat-rapat mulutku dengan kedua telapak tanganku. Mataku membulat sempurna setiap kali mendengar ucapan yang keluar dari mulut Jane.

"Bukan kah dulu kalian meninggal karena kecelakaan mobil?" suaraku nyaris kalah dengan suara derasnya hujan. Hujan membasahi kami semua, menjadi saksi bisu di antara kami.

Jane menggeleng dan tersenyum remeh. "Kami di bakar hidup-hidup. Beruntungnya aku selamat. Kematian keluarga kita saat ini persis seperti ibuku dulu. Mereka," Jane menunjuk ke arah makam yang masih baru, "dibakar hidup-hidup."

Kevin menarik lengan Jane dan menyeretnya dengan kasar namun Jane menepis tangan Kevin. "Tutup mulutmu Jane. Aku tidak mungkin melenyapkan mereka. Berhenti menghasut istriku!" teriak Kevin.

Bibirku seperti dijahit, sulit sekali untuk membuka mulutku. Aku berusaha berdiri setegak mungkin agar tidak terjatuh. Pandanganku sudah mulai kabur. Aku tidak dapat melihat jelas apa yang sedang kulihat.

"Luna, tanyakan pada suamimu. Kenapa dia tidak membiarkan jenazah keluarga kita diotopsi untuk mencari pembunuh mereka," ungkap Jane. Matanya memerah karena kemarahan menguasai dirinya.

Detik itu aku merasa waktu berhenti berputar untuk beberapa detik. Aku tidak tahu apa yang sedang bekerja dalam otakku ini. Ini terlalu rumit. Keadaan membuatku mau tidak mau sedikit mempercayai ucapan Jane. Kenyataannya, Kevin tidak pernah memberi tahu kondisi orang tuaku padahal kuyakin ia tahu.

"Aku rasa di hari kematian keluarga kita, kita tidak pantas meributkannya di sini," aku pun melangkahkan kakiku dengan berat untuk meninggalkan tempat pemakan ini. Hujan membasahi tubuhku.

Kevin mensejajarkan langkahnya denganku. Tangannya memegang kedua lenganku, berusaha menyeimbangi berat badanku yang kurasa sudah tidak kuat untuk berjalan. Air mataku memang mengering namun air mata ini digantikan oleh hujan.

******

Kedua tanganku menggenggam segelas susu hangat. Aku meniup-niupkan susu itu agar cepat dingin. Rambutku masih basah karena hujan. Aku menatap ke luar jendela, menatap taman kosong yang diguyur hujan lebat. Taman yang meninggalkan banyak kenangan di saat masa kecilku.

"Mommy,"

Aku menoleh setelah beberapa detik. Harry langsung memeluk pinggangku, lalu ia mendongak. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Harry, sedangkan aku hanya bisa memberikan senyuman pada Harry seolah-olah semuanya baik-baik saja. Aku meletakkan susuku di dekat jendela, lalu aku berlutut mensejajarkan tinggiku dengan Harry.

Kedua tangan mungil Harry mengusap air mataku yang mengalir di pipiku. "Mommy jangan sedih. Harry jadi takut," ujarnya pelan.

Aku menatap bola mata anakku. Sorot matanya seolah mengerti perasaan dukaku yang baru kehilangan. Sekali lagi, tangan mungilnya menghapus air mataku lalu Harry memberi kecupan di mataku.

"Nenek dan semuanya pasti sudah di surga. Nenek dan Paman Willy sangat baik."

Aku menatap Harry penuh tanya dan keterkejutan. "Harry pernah bertemu nenek dan Paman Will?"

Harry mengangguk pelan, "Musim dingin nenek dan Paman Will sering berkunjung ke Mexico menemui Harry."

Harry memelukku saat air mataku kembali berjatuhan. Aku membeku di pelukan tubuh mungilnya. Mereka meninggalkanku dengan pertanyaan yang belum sempat kutanyakan. Terlalu banyak hal yang tidak kuketahui dan mereka meninggalkanku, membunuhku karena ketidak-tahuanku selama ini.

"Harry tidak lelah?" Aku melapaskan pelukannya dan menangkup wajahnya.

"Tentu saja lelah mommy. Tapi Harry ingin dipeluk mommy dan adik bayi sampai tertidur," pintanya dengan manja.

Aku membawa Harry ke kamar yang dulu kutempati semasa sekolahku. Semuanya masih tampak sama. Tidak ada yang berubah sedikit pun. Kamar ini membuatku mengingat masa-masaku dulu yang selalu dibumbui oleh kasih sayang keluargaku.

Kupeluk tubuh mungil anakku.

"Mommy, apa rasanya sakit kehilangan orang tua?" tanya Harry.

Bagaimana cara menjelaskan pada Harry? Ia masih terlalu kecil untuk mengerti semua tentang hal seperti ini.

"Semuanya akan merasa sakit ketika kehilangan orang tua," jawabku selembut dan setenang mungkin sambil mengusap puncak kepala Harry.

"Harry tidak ingin kehilangan mommy. Harry sayang mommy. Jangan tinggalkan Harry ya mommy?"

Hatiku seakan disambar oleh petir. Dunia seakan menampar diriku. Aku merasakan luka 2x lipat. Luka Harry yang kehilangan kasih sayangku selama masa balitanya seperti pisau yang membelah duniaku. Luka itu ternyata masih tersimpan di dalam diri Harry yang masih terlalu kecil.

"Mommy tidak akan meninggalkan Harry. Mommy sangat menyayangi Harry melebihi diri mommy. Harry tidak boleh takut ya? Mommy akan selalu bersama Harry," kataku, mengecup seluruh wajahnya bagaikan tidak ada hari esok.

"Harry cinta mommy," ujarnya kemudian Harry mengecup bibirku.

Aku menelan gumpalan air mataku yang sudah sampai di tenggorokanku. Kutatap wajah Harry secara detail. Memandangnya memberi kenyaman sendiri untukku. Saat kuyakin Harry sudah benar-benar tertidur, perlahan aku beranjak dari ranjang. Aku berniat mengambil air hangat di dapur. Beberapa langkah sebelum aku membuka pintu dapur, aku melihat Jane dan Kevin saling memberi tatapan yang mengerikan. Kuurungkan niatku untuk ke dapur, lalu aku bergerak mendekati mereka. Semakin dekat, aku melihat wajah Kevin sangat pucat menyerupai mayat. Entah apa yang sedang mereka bicarakan.

Kevin mencengkram pergelangan tangan Jane begitu kuat. "Jangan pernah bicara yang tidak-tidak pada Luna atau aku-"

"Kau akan membunuhku?" Jane tersenyum tipis.

Aku mematung mendengar pembicaraan mereka.

"Luna, kau dengar itu? Sekarang Kevin mengancamku." tatapan Jane beralih padaku.

Sedetik kemudian Kevin menoleh ke arahku. Ia tercengang menyadari kehadiranku yang tiba-tiba.

"Bahkan Kevin tega mengancam akan membunuh bayinya yang ada di dalam rahimku," lanjut Jane.

"Dia bukan anakku!" pekik Kevin kasar.

"Setelah membakar mayat keluargaku, mengancam bayiku yang juga anak kandungmu, kau masih tidak sadar juga Kevin?" Suara Jane seperti sebuah tangisan. Jane berjalan menujuku, ia berdiri tepat di hadapanku. "Kau diam saja melihat keluarga kita tewas karenanya?" tanya Jane setengah berteriak sambil menunjuk ke arah Kevin.

"Tutup mulutmu Jane. Aku tidak punya pikiran untuk membunuh keluarga istriku sendiri. Seharusnya dari awal aku tidak membawamu ke rumahku," desis Kevin.

Jane menatap nanar Kevin, "Benarkah? Lalu kenapa kau tidak membiarkan jenazah keluargaku diotopsi oleh pihak penyidik?!"

Aku tidak terlalu menangkap apa yang Jane teriakan. Mataku terlalu fokus memandangi perut Jane.

PLAK

Tamparan keras mendarat dengan mulus di pipi Jane. Napasku dalam hitungan detik tersengal-sengal karena berusaha mengendalikan diriku sendiri. Kevin yang melihatku menampar Jane terbelalak sementara Jane mengelus pipi kanannya yang bekas tamparanku. Jane menatapku tidak percaya.

"Dari awal kau berbohong Jane. Jika Kevin yang membunuh ibumu dan juga dia dulu berusaha membunuhmu dengan membakarmu hidup-hidup, bagaimana bisa saat di rumah sakit kau mengatakan padaku bahwa Kevin mencintaimu dan sangat senang mengetahui kau masih hidup? Itu tidak masuk akal," paparku datar. Aku berhasil mengendalikan emosiku sehingga nada suaraku tidak meninggi. "Seharusnya Kevin membunuhmu bukan menghamilimu. Bukan kah ia ingin kau mati? Sejak awal kau berbohong dan tidak menutup kemungkinan kau berbohong lagi tentang pembunuhan keluargaku. Jadi lebih baik kau tutup mulutmu. Jangan pancing Kevin. Kau tidak tahu kemarahan Kevin seperti apa jika kau melewati batasnya. Percayalah."

Jane bergeming menatapku dan Kevin bergantian. Sudut mataku melirik Kevin. Kevin hanya membeku, tatapannya kosong.

"Aku tahu kemarahan seperti apa yang dituruni oleh keluarga Duncan termasuk Kevin. Kau akan menyesal karena tidak mempercayaiku. Akan kubuktikan itu padamu suatu saat nanti."

"Kau sudah gila Jane!" Sambar Kevin. Aku dapat merasakan otot-otot Kevin menegang.

Jane membalikkan tubuhnya, berjalan menjauh dari kami. Dengan langkah tergesa-gesa ia keluar dari rumahku bagai sedang dikejar oleh pamangsa. Aku tidak peduli Jane pergi ke mana, itu bukan urusanku, terlalu banyak hal-hal yang harus kuurus dan masalah Jane bukan salah satu dari daftarku.

Sekarang hanya tinggal aku dan Kevin di ruangan panas ini. Kevin menghapus jarak di antara kami. Ia mengamit tanganku lalu menggenggamnya sangat erat.

"Terima kasih karena kau tidak mempercayainya," ujarnya pelan, lalu sebuah kecupan mendarat di bibirku.

Aku dapat melihat ekspresi Kevin yang seperti orang panik dan ketakutan. Aku tidak tahu apa yang Kevin takutkan. Baru kali ini aku melihat wajah Kevin sepucat mayat. Bibirnya juga saat menciumku terasa seperti es, begitu dingin.

"Aku tidak bilang bahwa aku tidak mempercayai Jane," kataku tanpa ekspresi apa pun.

Kevin membelalak serta mulutnya setengah terbuka.

"A-a-apa ma-maksudmu Luna?" tanyanya tergagap-gagap.

"Maksudku? Kukira kau tahu apa maksudku Kevin." Aku menyingkirkan tangan Kevin dariku. "Apa yang terjadi pada keluargaku sebelum mereka tewas? Sesuatu yang buruk terjadi pada mereka kan? Mengapa kau tidak memberi tahuku? Bukan kah kau bilang mereka baik-baik saja?"

Aku menatap Kevin dalam-dalam, mencoba mencari jawaban dari matanya. Namun aku tidak dapat mengartikan tatapannya. Aku merasa pria yang di hadapanku ini adalah pria asing.

Kevin memejamkan matanya kemudian ia kembali menatapku. Mulutnya tidak bergerak sedikit pun. Ia sepertinya enggan menjawab pertanyaanku.

"Kevin, kautahu? Rahasia bisa memberi jarak yang amat jauh di antara kita. Rahasia bisa membuat kesalah pahaman yang fatal. Rahasia bisa mengontrol hidup kita. Bahkan rahasia bisa memisahkan kita."

"Terkadang ada beberapa hal yang memang tidak perlu kau ketahui Luna. Rahasia juga bisa menyalamatkan hubungan kita. Percayalah. Ini demi kebaikanmu."

Aku menggelengkan kepalaku dan tersenyum perih. "Demi kebaikanmu," gumamku.

"Cukup pembahasannya sampai di sini. Kauingat kata dokter? Kau tidak boleh banyak pikiran karena itu bisa berakibat buruk pada janinmu. Kau beresiko keguguran Luna. Jadi kumohon, pikirkan dirimu dan anak kita saja. Aku yakin di antara kita tidak ada yang mau kehilangan calon putri kita. Dan alasanku tidak memberitahumu tentang keluargamu karena aku khawatir dengan kondisimu. Jadi tolong mengertilah."

"Jika aku tidak mengangkat teleponmu waktu itu, mungkin sampai sekarang kau tidak akan memberi kabar mengenai mereka."

Mata Kevin berkilat marah. Ia mengepalkan kedua tangannya. Otot-otot ditangannya muncul. Aku tidak peduli ia akan marah besar padaku atau tidak, karena yang seharusnya marah adalah diriku bukan dia.

"Luna. Aku bilang berhenti bahas masalah ini."

"Apa susahnya mengatakan yang sebenarnya? Aku tidak bisa tenang dengan semua ini Kevin!"

"Keluargamu saat mengendarai mobil tertabrak oleh truk dan entah bagaimana caranya aku mendapatkan informasi bahwa jasad mereka berada di rumah tengah hutan yang sengaja di bakar. Butuh satu minggu untuk mengetahui kejadian sebenarnya. Aku tidak ingin memberitahumu karena kondisi kehamilanmu lemah. Dan alasanku tidak ingin penyidik mengotopsi jasad keluargamu karena aku menghormati keluargamu. Mengotopsi jasad mereka sama saja menyiksa mereka di alam kubur. Apa kau sudah puas sekarang dengan jawabannya?"

Aku menjatuhkan diriku pada sofa panjang hitam, tidak percaya dengan apa yang baru saja Kevin jelaskan padaku. Manusia macam apa yang tega berbuat seperti itu pada keluargaku?

Kevin berlutut. Ia menenggelamkan wajahnya di antara dengkulku. Tangannya meremas tanganku lembut. Beberapa detik kemudian ia mengangkat wajahnya, memandangiku. Aku balas menatapnya dengan tatapan kosong.

"Apa ini ada hubungannya dengan orang-orang yang mengejar kita kemarin?"

"Tidak ada. Orang-orang kemarin adalah salah satu musuhku di dunia kerjaku. Mereka orang suruhan. Mereka menyuruhku memberi sebagian sahamku. Kautahu, di dunia kerja banyak orang licik seperti itu, ingin kaya secara instan. Tapi hukum sudah mengadili mereka," ucapnya, tangannya masih meremas tanganku. "Dan perihal keluargamu, kurasa itu murni kecelakaan hanya saja...setelah kecelakaan itu, dengan keji ada orang yang membawa jasad keluargamu ke rumah tengah hutan dan membakarnya."

"Siapa orang itu?"

"Teroris yang berasal dari negara asing. Belakangan ini kudengar negara ini dalam garis bahaya. Dalam sebulan terjadi 5 kali bom bunuh diri dan teroris itu juga menyandra WNI. Apa yang teroris lakukan terhadap keluargamu adalah salah satu dari banyak cara untuk menakuti instansi pemerintah Indonesia," jelasnya pelan.

Otakku mencoba mencerna semuanya. Siapa yang harus kupercaya? Tapi dari cara Kevin bicara sepertinya Kevin berkata jujur. Kevin mengatakannya pelan dan lancar tanpa keraguan sedikit pun.

"Itu sebabnya aku tidak ingin memberi tahumu. Aku tidak ingin menambah beban pikiranmu. Aku tidak ingin kandunganmu kenapa-kenapa. Jika kau menjadi diriku, kau pasti akan melakukan hal yang sama. Maafkan aku tidak mengatakannya sejak awal," Kevin beranjak. Ia duduk di sebelahku. Tangan kekarnya mendorong kepalaku untuk tenggelam di dadanya.

"Tapi...jika kau masih tidak percaya denganku, kau boleh meminta polisi untuk mengotopsi jasad keluargamu," lanjutnya lagi.

Aku menjauhkan kepalaku dari dadanya. Kami saling bersitatap. "Aku percaya."

Kevin menyunggingkan senyuman tipis. Ia mengelus rambutku. "Satu hal lagi, apa pun yang Jane katakan itu tidak benar. Jane sangat ingin kau membenciku," ujarnya lirih.

Aku mengangguk. Aku baru menyadarinya hari ini terutama saat di pemakaman tadi tentang bagaimana cara Jane manatap Kevin. Mata Jane penuh bara api di dalamnya saat memandangi Kevin. Aku merasa Jane menyimpan kebencian yang amat dalam. Dan soal kehamilan Jane, Jane berbohong padaku. Aku tahu itu, tidak penting dari mana aku mengetahuinya.

Kami diam hampir setengah jam. Keheningan yang merajai kami seolah memintaku untuk merenungi semua yang terjadi dan keheningan ini juga memintaku lebih mempercayai Kevin apa pun yang terjadi.

Kevin tiba-tiba saja pergi dan beberapa menit kemudian ia kembali membawa roti isi, susu serta obat.

"Siang tadi kau melupakan makan dan obatmu. Jika malam ini kau melupakannya lagi, aku bisa menjadi singa sepanjang malam."

Aku memperhatikan setiap geraknya terutama wajahnya. Memori-memori tentang bagaimana ia memperlakukanku dan Harry selama ini terlintas begitu saja.

Perasaan bersalah menyeruak dalam diriku padanya. Bagaimana bisa aku sempat ragu akan cintanya setelah selama ini apa yang kami alami? Tidak seharusnya aku mempercayai ucapan Jane satu kata pun. Aku memang tidak tahu siapa keluarga Kevin sebenarnya, masa kecil seperti apa yang Kevin alami. Itu semua bukan masalah yang besar. Kevin memang tidak pernah menceritakan tentang masa lalunya padaku karena ia terlalu sibuk menceritakan masa bahagianya bersama Harry dan aku. Dan bagian yang terpentingnya adalah Kevin bukan seorang pembunuh.

"Luna, makan." Kevin mengayunkan tangannya di udara tepat di depan mataku.

Aku tersiap, tersadar dari lamunanku. "Hmm?" kataku, menaikkan sebelah alisku.

"Aku sedang melucu dan kau melamun, lalu kau hanya memberi reaksi hmm padaku?"

"Memangnya kau sedang melucu apa?"

Kevin tersenyum. Sangat terlihat jelas ia sedang memaksakan senyumannya. Padahal aku tahu di dalam lubuk hatinya ia kecewa padaku.

"Tidak penting. Yang penting kau makan dan minum obat sekarang," titahnya lembut.

"Suapin," pintaku manja.

Kevin kembali tersenyum. Kali ini senyuman yang keluar dari bibirnya bukan senyum keterpaksaan.

Kevin memotong rotinya menjadi delapan bagian. Ia mulai menyuapiku. Saat suapan terakhir hendak masuk ke mulutku, aku menahan tangan kekarnya. Tangannya yang memegang garpu berisi roti, kubalikkan menghadap bibirnya.

"Kau juga harus makan." Aku pun menuntun tangannya agar rotinya masuk ke dalam mulutnya.

Maafkan aku karena sempat percaya Jane dibandingkan denganmu, gumamku dalam hati. Aku ingin sekali mengucapkannya pada Kevin namun rasanya lidahku kelu sekali untuk bicara seperti itu.