1 Aku

Aku terdiam di pojok ruangan salah satu kamar mandi sekolah, menahan diri untuk tidak menangis karena ejekan mereka semua.

Mereka tidak mengetahui siapa aku sebenarnya, tapi kenapa mereka seperti itu? Apa salahku?

Apakah aku merugikan mereka? Aku hidup bukan dari uang mereka, aku pun makan bukan dari keluarga mereka, aku juga berjalan dengan kakiku sendiri, ada apa dengan mereka?

Pernahkah mereka berpikir mengenai posisiku? Pernahkah mereka berpikir mengenai rasa sakit yang aku rasakan?

"Fey?" terdengar seseorang memanggil nama ku dengan kencang. "Fey! Freya!"

Aku tidak menjawab; bertahan untuk menghindari diri dari sesuatu yang tidak aku inginkan. Lagipula siapa yang memanggilku? Apakah Salah satu dari mereka? Apa yang mereka inginkan?

"Fey! Ini gue, Stein! Fey!"

Stein? Kenapa dia mencari ku?

"Fey!" aku tetap tidak menjawab, kini terdengar suara keras; suara seperti pintu yang dibuka paksa.

"Come on! Ini gue, temen lu! Bukan salah satu dari mereka!" aku belum menjawab, masih terdiam, sedikit menahan nafas, dan menjauh dari area pintu. Aku ingin tetap bersembunyi, aku tak ingin bertemu siapapun saat ini.

Aku sengaja tidak bersuara, menahan nafas hingga ku dengar suara langkah yang menjauh dari tempat ku bersembunyi.

Apa yang Steiner inginkan dari ku? Kenapa ia mencari ku?

Aku memutuskan untuk melangkah keluar dari tempat persembunyian ku; setelah aku benar-benar tenang, siap, dan tidak mendengar suara apapun, meski sesungguhnya aku masih belum bisa sepenuhnya menahan diri untuk tidak menangis.

"Woy! Si manusia aneh keluar dari kamar mandi!" seseorang berteriak saat aku baru saja melangkah keluar. Aku terkejut, mereka berteriak, menunjuk dan berlari ke arah ku.

Aku panik; aku kebingungan. Aku semakin panik, saat aku berbalik dan ingin kembali masuk ke dalam persembunyian ku, aku tak dapat menemukan apapun.

Sejenak, kuedarkan pandanganku mencari tempat bersembunyi yang lain—karena kamar mandi tempatku telah berubah menjadi lapangan sekolah.

Jantungku berdebar, mataku memanas, keringat mengalir deras membasahi wajahku.

Apa yang harus ku lakukan? God. Please help me.

"Lu ngapain sekolah disini! Sekolah kita ga terima siswa kaya lu!" ku dengar seseorang meneriaki ku disusul dengan lemparan telur di tubuhku.

"Pergi lu dari sekolah ini, kita semua ga mau ketularan keanehan lu!" lagi, ejekan yang disusul dengan lemparan telur di sisi tubuhku yang lain.

Seandainya aku dapat berlari—sayangnya, aku hanya berdiri mematung membiarkan mereka melempari ku dengan telur.

"Di sini siswanya semua ga ada yang kaya lu! Dasar aneh!"

"Pergi jauh sana! Jangan pernah balik ke sekolah ini lagi!"

Semua orang mengelilingi ku yang menunduk—menyembunyikan wajah, menangis dengan tubuh yang penuh lemparan telur.

Tiap kalimat yang kudengar membuatku semakin meneteskan air mata. Mereka senang mengejek ku, mereka bahagia melihatku menderita.

Aku tak pernah membuat mereka seperti ini—hal yang mereka lakukan padaku; aku tak pernah membuat seseorang berdiri, menyembunyikan wajahnya hingga menangis—seperti ku sekarang, aku tak pernah mengejek mereka sampai merasa ingin bunuh diri seperti yang mereka lakukan sekarang.

Tak ada yang dapat aku lakukan untuk membela diri, ku biarkan mereka puas mengejek dan melempari ku dengan telur—bahkan kotoran binatang. Kotoran yang menempel pada bagian dada dan pipi ku.

Kenapa aku yang menjadi target mereka?

-***-

Aku membuka mata lebar-lebar, nafasku terengah-engah, seakan aku baru saja menyelesaikan lomba balap lari dengan jarak ratusan meter, keringat berhasil membanjiri wajah dan tubuhku. Aku menghela nafas, menenangkan diri sebelum bangkit untuk menyandarkan punggung di dinding. Otak ku memaksa untuk membayangkan mimpi yang baru saja terjadi—mimpi yang masih sering menghantui ku.

Ku putuskan untuk bangkit dari kasur setelah memastikan diri jika itu hanya sebuah mimpi dan berlalu membawa rokok keluar dari dalam kamar. Aku berniat untuk menenangkan diri di halaman belakang—tempat yang aku jadikan sebagai tempat meditasi jika aku butuh. Lagipula, hobi ku sejak dulu memang menenangkan diri di tempat sepi sembari menikmati semilir angin juga sebatang rokok. Aku menoleh ke arah seseorang yang tertidur dengan lelap dan tenang di atas kasur sebelum melanjutkan langkahku ke halaman belakang.

Ku rasa, aku harus kembali ke rumah sakit untuk mengecek keadaan ku sekarang; aku harus membeli anti-depresan yang sudah hampir habis di samping itu, aku harus kembali melanjutkan konseling dengan dokter kejiwaan ku, mengenai insomnia juga kecemasan lainnya yang belum hilang.

Aku bingung, apakah aku dikejar masa lalu ku, ataukah aku yang belum dapat melupakan masa lalu ku?

Aku menyulut sebatang rokok dan menghembuskan asapnya ke langit-langit.

Masa lalu ku berbeda dari masa lalu remaja lainnya, aku selalu menjadi bahan ejekan, juga buah bibir banyak orang, apalagi setelah sebagian orang mengetahui jika aku bukan seseorang yang sama seperti mereka—normal dan tidak menyimpang.

Entah darimana mereka mendapat informasi tentang diriku begitu lengkap hingga puas menjadikan ku bahan bullying dan membuat ku tertekan seperti ini.

Ku akui, aku bukan orang yang pandai bergaul, aku nyaman menjadi seorang introvert, aku nyaman dengan rasa sepi. Keheningan suatu tempat membuat ku semakin tenang dan mampu membius kesadaran ku hingga terlelap.

Terkadang aku berpikir, benarkah di dunia ini ada keadilan?

Hanya karena aku tidak sama seperti mereka, aku diperlakukan berbeda dan menjadikan mereka seseorang yang liar untuk mengejek sepuas hati mereka.

Jangan salahkan aku atau keluarga ku yang mendidik ku di lingkungan wanita; aku dididik oleh ibu dan nenek, dan setelah nenek ku berpulang, aku memutuskan untuk tinggal sendiri; sebagai seseorang yang mandiri, meninggalkan ibu ku yang setuju dengan keputusan ku.

Aku memang anak laki-laki yang tidak pernah disentuh oleh kasih sayang seorang ayah, dan menurutku itu bukan sebuah alasan untuk menjadikan aku bahan bully mereka.

Aku pula tidak menyalahkan Tuhan yang sudah memberiku jalan seperti ini, namun kenapa mereka mengecamku? Kenapa mereka membenciku?

Aku hanya ingin diterima, aku hanya ingin orang lain menerima ku apa adanya, aku hanya ingin mereka menerima perbedaan. Tapi, kenapa mereka begitu benci dengan kata perbedaan? Kenapa mereka memperlakukan ku seperti ini? Kenapa mereka tak dapat membuat hidupku tenang? Tak adakah yang dapat menerima ku? Tak adakah yang dapat menerima perbedaan? Tak adakah yang dapat membuatku bahagia meski hanya memberi hal terkecil di dunia?

God. I need justice in this world.

Seandainya aku dapat memilih, pasti aku akan memilih kehidupan normal. Bukan seperti ini. Hidup yang penuh dengan cacian dan makian.

Aku—Freya—adalah anak laki-laki yang benci masa lalunya sendiri.

-***-

"So, how?" ia tersenyum padaku melalui cermin di hadapannya. Ia begitu sibuk merapikan kerah kemeja dan dasi, dan aku terpesona dengan aura ketampanan darinya.

"Fey, are you all right?" pertanyaan yang membangunkan ku dari lamunan.

"Yes, why?" Ku balas tatapan matanya, ku tunjukan senyuman kecil di wajahku.

"Bukan, maksud ku, kamu gak apa apa aku tinggal?" sempat terpikir untuk berhenti tersenyum, namun aku memaksakan diri untuk tetap terlihat baik-baik saja.

"Listen, aku pasti baik-baik saja. I'll be fine. Don't worry too much." aku mendekatinya, membalikan tubuhnya hingga kami berhadapan. "So, aku harap kamu fokus sama kerjaan kamu, jaga diri, jaga kesehatan, karena kamu punya aku."

Ia tersenyum mendengar kalimat ku, dan memberi kecupan hangat di kening.

"Aku adalah tempat kamu pulang, jangan lupa itu." ku lanjutkan kalimat ku sembari merapikan ikatan dasi yang ia kenakan.

"Thanks, I love you." ucapnya sebelum bibirnya menciumku lembut.

-***-

Sudah lama aku hidup sendiri, dulu mungkin aku ditemani kesepian, namun kali ini aku ditemani oleh seorang pria yang luar biasa—Alexander.

Kedatangan Alex dalam hidup ku sekarang mengubah segalanya, ia membantu ku untuk tetap berjalan maju tanpa ragu. Membantu ku untuk melupakan semua kejadian yang pernah ku alami beberapa tahun yang lalu. Tahun-tahun dimana aku berperang melawan logika dan perasaan ku sendiri yang menyiksa.

Aku begitu beruntung bertemu dengan Alex, ia hadir di saat yang tepat, ia menghibur dan selalu membawa ku ke suasana yang baru. Ia memahami ku, walau terkadang aku masih menutup diri ketika ia mulai mencoba mengenal ku lebih dalam.

Seringkali aku tak mengacuhkan Alex, namun, hebatnya ia tetap membantuku agar tidak terjebak dan terlarut dalam kesedihan—terhimpit antara masa lalu dan saat ini. Dan aku sangat yakin ia mengetahui bahwa aku masih berdiam di tempat yang sama, juga memandangi hal yang sama. Ditambah aku dihantui oleh mimpi buruk yang sama setiap malamnya.

Keberangkatan Alex pagi ini, memaksa ku untuk mengingat hal yang pernah kulakukan dulu. Aku teringat seseorang yang pernah ku cintai—seseorang yang pernah membuat hidupku berwarna bak pelangi 10 tahun lalu.

Kalimat-kalimat yang diucapkan olehnya berhasil membuat bendungan kecil di ujung mataku; tidak menetes hanya membuat genangan.

-***-

"Fey!" aku memutar bola mataku mendengar teriakkan seorang wanita yang sangat ku hafal. Suaranya menggema; memenuhi ruangan yang setiap lewati hingga ia sampai di hadapan ku yang duduk dengan tenang di halaman belakang.

"Gila ya, rumah lu luas parah. Gue harus pake maps kayaknya nih biar gak nyasar." ocehnya padaku sebelum ia duduk dan menaruh tas mahal yang ia kenakan di sampingnya. Ia membenahi rambutnya, mengecek ulang makeup, lalu menatap ku dengan tatapan tajam.

"Lebay, rumah ini sama rumah lu aja gedean lu."

"Kaga, rumah lu istimewanya minta ampun. Gue masuk hari ini, kayaknya keluar bisa minggu depan." lagi, aku memutar bola mata ku ketika mendengar kalimat yang ia katakan.

"Kenapa, Strid? Tumben banget sore gini lu ke sini."

"Gue mau ajak lu main lah, suami gue kan lagi keluar negeri."

"Hah? Kemana?"

"Tokyo, ada calon pembeli di sana. Dia ramean kok sama temen kantornya—termasuk Alex."

Aku diam, aku lupa jika Alex adalah partner kerja suaminya.

"Well, karena gue adalah sahabat lu yang baik dan cantik, jadi gue kesini buat jenguk lu sekalian mau ngajak lu main."

"Kemana?"

"Pertama anterin gue belanja, then malemnya kita ke tempat biasa."

Ajakan yang bagus sesungguhnya, lagipula aku butuh udara segar untuk menghilangkan pikiran ku yang penuh dengan aura negatif.

Astrid, satu-satunya kawan dari semasa sekolah ku yang masih berkomunikasi denganku. Ia membuka usaha seperti bapaknya di bidang kuliner, tempat usaha yang Astrid miliki terletak di salah satu sudut Mall Taman Anggrek.

Astrid adalah sahabat terbaikku. Sahabat wanita yang selalu ada disaat aku butuh. Ia mengetahui siapa aku sebenarnya dan ia tidak pernah memperdulikan perbedaan yang aku miliki, hebatnya lagi ia selalu mendukungku dan tidak pernah mengeluarkan kalimat yang membuat ku tersinggung.

"Gue udah lama gak ngobrol sama elu, setelah gue nikah lu gak pernah nongolin muka ke gue."

Benar juga, aku tidak pernah bertemu dengannya setelah pernikahan mereka 2 tahun lalu.

"Gue khawatir lu kenapa-napa, apalagi setelah gue tau lu ternyata punya—"

"What? Gangguan jiwa?" aku memotong kalimatnya, ia diam, terkejut dan memandangku dengan tatapan heran.

"Uhm... Kurang lebih gitu lah ya, kan gue gak tau pasti vonis dokter itu bohong apa enggak."

"Ya pasti bener lah, Strid." ia masih diam, raut heran yang ia tunjukkan belum menghilang dari wajahnya.

"Gue gak apa apa kok, gue sehat, kalaupun gue kenapa-napa, orang pertama yang gue hubungi—"

"Yes, I know. Gue orang pertama yang lu hubungi."

"Wow, sesungguhnya orang yang pertama gue hubungi ya Alex, bukan lu."

Aku menahan tawa saat raut wajahnya berubah ketika mendengar kalimat ku.

"Ya udah, lupain, sekarang kita siap-siap belanja."

"Good!"

"Gue nyetir, gue gak mau lu kenapa-napa—lebih tepatnya kita kenapa-napa."

-***-

Sepanjang perjalanan Astrid bercerita mengenai kehidupannya setelah menikah diselingi tawa khasnya yang terdengar seperti ibu-ibu PKK.

"So, gimana perasaan lu?" aku memandang Astrid yang masih tertawa karena topik pembicaraan kami sebelumnya—menikah di usia muda.

"Better than before, seriusan deh." Astrid memandang ku, "Lu tau seberapa besar keinginan gue nikah di usia muda and it's so wonderful."

"Oh ya?"

"Yeah!" nadanya naik, menunjukan antusias tinggi dalam obrolan seperti ini. "Before he take off, he fifty shaded me this morning, dan gue gak bisa tahan buat gak mendesah dahsyat.

"And our moans filled the room. So great." aku terbahak-bahak setelah mendengar kalimatnya.

"Serius tuh?"

"Uh-huh." Astrid mengangguk sebelum ia memarkir mobil dengan gaya yang di luar nalar manusia biasa. "Then, di ruang tamu, gue bikin dia minta ampun sama gue, sampe dia ganti pakean, karena berceceran ke celana dia."

"Oh, wow." kami berdua turun dari Fortuner hitam miliknya, membenahi diri sendiri dan melanjutkan langkah ke arah pintu masuk mall.

"Yeah, wow." ia melirik pada ku, "Jadi gue gak salah buat nikah muda, lu tau gue setelah kita lulus—sebelum ketemu sama suami gue—gue orang yang kaya apa.

"Everywhere is dick. Dick, dick, dick, dick." tangannya bergerak kesana kemari saat ia mengulang kata yang sama. "Gue udah kaya nelayan yang nyari ikan."

Aku berjalan disampingnya, melangkah bersamaan dengannya.

"And then, which fish has the biggest dick?" alisnya mengernyit mendengar pertanyaan ku.

"The shark in the shore. Si tampan yang pernah isi hati gue."

"Andre?" nadaku meninggi, aku terkejut—benar-benar terkejut—karena pengakuan Astrid. "Andre temen sekelas lu?"

"Uh-hm." ia mengangguk.

"Astrid, dia itu..."

"Sama kaya lu ke Steiner, Pit. Udah deh gak usah kaget gitu." Astrid memotong kalimat ku.

Aku terdiam.

"Oops, sorry." ia menghentikan langkahnya, menatapku lalu mendekatiku.

"Strid, kenapa harus nama itu yang lu sebut." aku menegurnya, membalas tatapannya dengan tatapan seakan aku ingin membunuhnya.

"Lah, emang lu udah gak ada rasa sama doi?" aku memandangnya sengit.

"Dia, udah mati, dan gue udah kubur dia di tempat yang gak ada orang satupun tau dimana. Paham?"

"Okay, got it. Gak perlu bete gitu kali. Yang udah ya udah." kami bertatapan. "Lagipula, lu udah punya Alex, right?"

Aku terdiam tak merespon kalimatnya, mataku masih menatapnya dengan tatapan sinis. Astrid benar, aku sudah memiliki Alex yang tadi pagi baru saja meninggalkan ku karena pekerjaannya.

"Ya udah yuk, kita lanjut belanja, nanti mampir ke tempat gue, gue bikinin choco-frape buat lu."

Dasar nenek sihir.

avataravatar
Next chapter