1 Sekilas tentang kita

*7 tahun yang lalu*

 

"Nggak mau! Stevan nggak mau punya adik!"

 

Aku berpegangan erat di daun pintu, melihat anak bernama Stevano tengah menarik ujung baju ibunya sambil menangis.

 

 Tatapan tante Almira sama terkejutnya seperti tatapanku yang sekarang. Beliau pun segera menghentikan rengekan anak semata wayangnya itu dengan membawanya pergi ke lantai atas.

 

"Seira masuk kamar dulu yah."

 

Aku mengangguk.

 

Stevan membenci kehadiranku di rumah ini. Dia tidak pernah ingin aku ada di sini. Tapi...apa yang bisa dilakukan anak berumur sepuluh tahun tanpa memiliki orang tua dan saudara sepertiku?

 

Aku tidak bisa pergi dari sini tapi juga tidak bisa tinggal dengan tenang di sini. Karena Stevan tidak menyukaiku.

 

Sejak hari itu, aku selalu melihat pintu kamar Stevan terasa begitu jauh padahal jaraknya dari kamarku tak sampai dua meter. Pintu yang auranya begitu dingin seperti sikapnya padaku. Pintu yang tidak akan bisa kumasuki bahkan kuketuk setelah tujuh tahun berlalu.

 

*Masa sekarang*

 

Tiga piring nasi goreng di atas meja telah siap. Tak lupa di sisi kanan piring juga sudah kusiapkan susu murni yang kubeli dari sapi tetangga. Aku menatanya dengan rapi sambil menunggu penghuni rumah ikut turun sarapan bersama di sini. Lalu tak lama, suara hentakan sepatu hak tinggi milik tante Almira menggema di anak tangga.

 

"Wangi apa nih? Nasi goreng yah?"

 

Tante Almira tampak cantik mengenakan blouse biru pastel yang ia sematkan bersama blazer biru dongker dan rok span dengan warna senada. Beliau terlihat elegan dan anggun meski umurnya sudah menginjak empat puluh tahun ini.

 

"Iya tante."

 

"Kamu pagi-pagi udah bangun, beda banget sama anak sendiri," sindir tante Almira pada Stevan yang juga baru turun dari kamarnya.

 

Aku cepat-cepat menghabiskan makananku begitu Stevano muncul. Kurapikan kembali piringku yang sudah kosong lalu meninggalkannya di wastafel. Ada peraturan tak tertulis selama tujuh tahun tinggal bersama mereka, terutama dengan Stevan. Salah satunya adalah tidak makan di meja yang sama dengan cowok itu.

 

Tidak ke sekolah bareng. Tidak menyapanya. Tidak bertemu pandang dengannya. Dan masih banyak yang lainnya.

 

Semua peraturan itu kudapatkan setelah dulu berusaha untuk berbaur dengannya. Dan setiap kali aku mendekatinya, Stevan justru menjauhiku.

 

"Loh kok buru-buru."

 

"Iya tante, mau lihat kelas baru. Ira penasaran ada di kelas berapa."

 

"Iya tapi —"

 

Kusempatkan melirik Stevano yang sedang mencicipi nasi goreng buatanku. Terlihat dua sendok sudah ia masukkan ke dalam perutnya. Aku tersenyum puas melihatnya mau memakannya.

 

Senangnya...

 

Aku punya firasat, sepertinya akan ada hal baik untukku di sekolah.

 

**

 

Sampai di sekolah, sudah banyak murid yang berkumpul di papan pengumuman. Aku segera mencari namaku sendiri yang tertulis berada di kelas 2-4.

 

Ini sebuah kemajuan bagiku. Sebelumnya, kelas pertamaku berada di kelas terakhir. Selain di cap memiliki reputasi yang buruk, aku juga sering mendapatkan perundungan berkedok pertemanan di kelasku dulu. Karena kedua masalah itulah, aku belajar keras untuk bisa pergi menjauh dari mereka.

 

Tapi yang terjadi adalah...

 

"Ya ampun Seira! Kita sekelas lagi?"

 

Melly, orang yang sering menggangguku itu berada di kelas yang sama denganku.

 

"Hehehe iya."

 

"Seneng deh ada teman di kelas yang lama, tapi lebih seneng lagi karena my crush juga di sini!"

 

"Crush? Siapa?" tanya teman dekat si Melly namanya Giska.

 

Teman yang tak bisa terpisahkan ini terlihat sibuk membicarakan masalah mereka di depan mejaku. Aku yang duduk di kursi baris ke dua dari belakang hanya bisa menghela napas karena tidak bisa keluar dari obrolan mereka.

 

"Stevano lah! Siapa lagi!" ujar Melly antusias.

 

Apa? Tadi dia bilang siapa? Stevano?

 

Orang yang ditunggu Melly muncul. Stevano Arkhana, benar-benar memasuki kelas dengan gaya. Semua mata tertuju padanya. Murid teladan dengan indeks mata pelajaran di atas rata-rata itu merupakan primadona seentaro sekolah. Kharismanya terpancar walau ia mengenakan airpods di telinganya. Ketampanannya bertambah saat ia mengenakan pakaian yang rapi dan bersih.

 

Tentu saja, semua itu kan aku yang melakukannya di rumah.

 

"Stevan lagi nyari kursi kosong! Aww! Dia kemari! Stevan kemari!"

 

Melly heboh sendiri. Sedangkan aku harus puas menunduk terus agar tidak bersinggungan mata dengan Stevano.

 

Hingga wangi parfum yang begitu familiar mendekati mejaku. Aku tak sengaja mendongak untuk melihat siapa lagi yang datang bergabung dengan Melly. Melihat Stevan yang berdiri di sana, aku segera menunduk lagi karena takut. Melly malah sibuk histeris karena Stevan berada di hadapannya.

 

"Sebelah kamu kosong kan, Ra?"

 

"Eh?" Aku mendongak lagi. Stevan tampak serius bertanya."Apa?"

 

"Kamu mau duduk di sini Stev?" tanya Melly. Sepertinya sekedar basa-basi.

 

"Titip tas," ujarnya lagi yang membuatku bengong sendiri.

 

Itu Stevano kan?  Orang yang sama yang ada di rumah? Stevan yang biasanya 'emoh' bicara lebih dulu, sekarang malah ngomong duluan.

 

Kok bisa?

 

"Kok dia tahu nama Lo, Sei?" tanya Melly dengan wajah murkanya.

 

Aku menggeleng tak tahu demi menjaga rahasia. Tapi sejujurnya, aku memang tak tahu kenapa Stevan mau duduk di belakang dengan orang yang ia tidak sukai di rumahnya?

 

Apa ini mimpi?

 

"Iya, kalian kan dulu nggak sekelas?"

 

"Itu...hmm anu Mell —"

 

Melly masih tidak terima. Dia terus menginterogasi ku tentang keanehan ini. Tapi memang, bukan hanya Melly yang penasaran. Murid yang lainnya juga  menuliskan pertanyaan yang sama di kepala mereka.

 

Duh...

 

Aku harus bilang apa?

 

"Ini nggak bisa dibiarin. Seira! Kita tukeran tempat duduk."

 

"Loh Mell katanya mau sebangku," protes Giska.

 

Melly tetap memaksa. Dia bahkan sudah melemparkan tasku ke kursinya sedangkan tasnya masuk ke kolong mejaku. Melly juga mendorong tubuhku untuk minggir.

 

"Cuma tahun ini aja Giska. Gue mau duduk sama Stevan."

 

Melly benar-benar tidak menghiraukan murid lain yang tengah membicarakan aksinya itu. Dia juga menghiraukan Giska yang tengah misuh-misuh sendiri.

 

Tak lama bel masuk berbunyi. Aku terpaksa duduk bersama Giska yang sepertinya kesal karena dikhianati. Dari semua murid 2-4 yang masuk, Stevan juga terlihat masuk ke kelas. Dan tentu saja ekspresinya berubah saat kami bertukar tempat duduk.

 

"Hai Stev, sebenarnya ini kursi gue yang diduduki Seira. Jadi —"

"Minggir!" ketus Stevan yang langsung disambut tepuk tangan dari beberapa gadis yang muak melihat tingkah Melly.

 

Stevan menatapku dingin. Dia kemudian mengikuti temannya yang mengajaknya untuk duduk bersama. Kursinya pun tak jauh dari kursiku. Sehingga setiap kali aku menoleh ke belakang, wajahnya akan langsung bertemu pandang denganku.

Bulu kudukku langsung merinding. Aku pikir, cukup di rumah saja dia bersikap seperti itu. Tapi ternyata di sekolah pun aku harus bertemu dengannya. Untung saja tidak jadi sebangku. Kalau tidak —

 

Tapi tadi...kenapa dia ingin duduk denganku?Stevano...sebenarnya dia kenapa?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

avataravatar