1 Prologue

Hii!

Happy Reading All!

***

Ceklek!

Pintu kamar bernuansa monokrom di buka tanpa izin. Memperlihatkan seorang wanita paruh baya yang menatap anaknya masih saja bergelung selimut tebal dari ujung pintu. Perlahan tapi pasti, didekatinya kasur sang anak. "Dek, cepet bangun."

Beberapa kali ia mengulangi kata yang sama sambil terus menggoyangkan bahu pemilik kamar, saat anak yang dia bangunkan bergerak. Betapa terkejutnya wanita itu, yang ia kira bahu ternyata kaki putrinya yang tertekuk. "Astagfirullah! Adek! Bangun atau Mama guyur!"

Buagh!

"Iya, Mama! Udah bangun!" pekik pemilik kamar sangat panik ketika mendengar kata 'guyuran' dari mulut sang ibu, tanpa di suruh untuk kedua kalinya, dia segera berlari ke arah kamar mandi.

Khawatir anaknya terpeleset, wanita paruh baya yang sedang duduk di tepi kasur segera mengingatkan. "Dek! Hati-hati, nanti jat—"

Bruak!

Belum selesai dia mengutarakan rasa khawatir, sang putri sudah terpeleset saja. Karena merasa kasihan, wanita paruh baya itu segera membantu anak gadisnya untuk bangun. Kondisi anak yang ia lahirkan 20 tahun lalu sungguh mengenaskan.

Kepala menyeruduk keranjang pakaian kotor, dan kondisinya tengkurap. "Apa yang kamu injek, sih? Kok jadi nyungsep kaya gini?" herannya pusing sendiri melihat tingkah laku anak kedua rasa bontotnya itu.

Setelah melepas keranjang pakaian dari kepalanya, baru lah pemilik kamar itu nyengir bak kuda. "Hampir kepijek kecoa, Maaa! Hiiy!" tubuh gadis itu langsung bergidik ketika mengingat asal masalah yang membuatnya tersungkur seperti tadi.

Wanita paruh baya itu hanya menggeleng, setelah menyuruh putrinya mandi dan berpakaian rapi, dia turun. Meninggalkan seribu tanda tanya di benak sang anak. Kenapa ibunya menyuruh mandi meski baru pukul delapan pagi? Kenapa ibunya menyuruh berpakaian rapi? Apa mereka akan rekreasi dadakan? Tapi tadi malam tidak ada pembahasan masalah liburan bareng' pikirnya bingung.

Tidak mau membuat kepalanya pusing, gadis itu berpositif tingkhing. Ia segera mandi dan bersiap sesuai keinginan sang ibu. "Mungkin ada acara dadakan," gumamnya meyakinkan diri sendiri.

Setengah jam berlalu, gadis itu mematut diri sendiri di balik kaca besar. Memastikan tidak ada yang aneh dari set kebaya putih yang ibunya siapkan. Sekilas, ia merasa menjadi seorang pengantin.

"Hahaha, kaya pengantin kebanyakan.." kekehnya belum sadar dengan apa yang terjadi.

Sambil berputar-putar di depan kaca, xan tertawa geli ketika membayangkan dia menikah dengan pria fiksi kesukaannya. "Hihihi! Kayanya bakal lucu kalau nikahan gue ama Keiji beneran terjadi," bisiknya loncat ke kasur dan menenggelamkan wajahnya di bantal. Berteriak heboh sambil memukul kasur beberapa kali.

Plak!

Tidak berhenti sampai disitu, kegilaan Ziya berlanjut. Pipi chubby itu bahkan memerah karena di tampar oleh dirinya sendiri.  Setelah menenangkan lonjakan kebahagiaan, Ziya kembali menatap pantulan dirinya dengan tatapan serius. "Oke, cukup halunya! Sadar, Ziya. Sadarrr!"

Saat bersiap bangkit dan turun ke bawah, tubuhnya langsung mematung ketika mendengar suara sang Ayah yang menyebut namanya melalui sebuah mic.

"Saya nikahkan dan saya kawinkan Ananda Alim Shafiyyur Rahman bin Muhammad Andrian dengan anak saya yang bernama Ziya Hafizha Al Qadriya binti Muhammad Hafizh Al Qadriya dengan mas kawin emas 20 gram, dibayar tunai!"

"Saya terima nikah dan kawinnya Ziya Hafizha Al Qadriya binti Muhammad Hafizh Al Qadriya dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai."

Jantung gadis itu seketika berhenti berdetak, batinnya kini berperang berperang hebat. Sebenarnya, apa barusan ia salah dengar atau tidak sih. Tubuhnya bergetar tak karuan. Tunggu, kalo gue beneran dinikahin sekarang, sama siapa anj*r?!' pikirnya panik.

Saat seruan 'Sah' terdengar, tanpa berpikir dua kali Ziya berlari keluar, masa bodo lah jika kebaya yang ia kenakan sekarang berantakan. Sambil menuruni tangga dengan tergesa, beberapa tetes air mata berjatuhan. Rasanya tidak mungkin keluarga yang sangat dia sayangi menikahkannya secara tiba-tiba. Ini jelas sebuah lelucon, meski tidak lucu, Ziya akan memaafkan mereka untuk kali ini saja.

"Lho? Dek? Kok udah turun? Baru mau di samperin Ayang-nya," kekeh Fiona, kakak sulungnya yang kini tertawa jenaka.

Dengan mata berkata-kaca, di tatapnya pria berpakaian rapi yang berdiri di belakang Fiona. Jenis tatapan tak suka akan kehadirannya. "Ayang apanya? Kok aku nikah? Kalian kenapa? Tadi malam masih baik, kenapa sekarang malah kaya gini? Jawab Kak! Bang! Jawab! Ma, Pa! KALIAN WARAS GAK SIH?!"

Suara bergetar itu terdengar marah. Keluarganya segera mendekat dan mencoba untuk menjelaskan, "Dek, ini demi kebaikan kamu.. Alim anak baik kok, kamu jangan khawatir soal di—"

Tak!

Tangan sang ibu yang berusaha menyentuh bahunya Ziya tepis, ia mundur beberapa langkah sambil berpegangan pada pegangan tangga agar tidak jatuh. "Kebaikan aku sendiri? Kebaikan apa nya, Ma?! Dan, aku gak nanyain soal Alim-Alim itu! Aku nanya, kenapa kalian tiba-tiba nikahin aku? Apalagi dengan cara pengecut kaya gini! Kalian gak bisa apa, bertukar pikir bareng aku dulu?!" tuntut Ziya mulai meneteskan air mata.

Sambil menyeka air matanya kasar, Ziya melanjutkan. "Kalo dipikirin bersama dulu, aku gak bakal ngerasa di buang kaya gini. Ma, Pa! Bilang aja kalian udah muak punya anak manja yang cuma bisa ngunci diri dikamar, kan?!"

Ibu Ziya menangis, menggeleng keras untuk menampik pertanyaan sarkas sang putri. Saat dirinya berusaha mendekat, Ziya mengangkat tangannya. Menginterupsi agar tidak ada yang mendekatinya. "Ziyaaa, Mama sama sekali gak ada niatan buang kamu! Percaya sayang, percaya!" pinta sang ibu hanya dibalas gelengan kecewa oleh Ziya.

Gadis itu kembali mundur selangkah, mulai menaiki tangga. Di tatapnya seisi lantai satu. Hanya ada sekitar 30 orang lebih di sana, itu artinya acara akad dirinya sangat tertutup dan hanya dihadiri oleh kedua belah keluarga.

"Percaya gak percaya, kalian mau buang Ziya kan? Jujur aja, Ziya gak marah kok! Ga bakal!" tekan Ziya kembali mengusap air matanya kasar.

Merasa tidak enak melihat mata Ziya yang semakin memerah karena digosok menggunakan lengan kebaya, pria yang sedari tadi diam pun ikut bicara. "Jangan digosok matanya, nanti luka.." dengan niat baik dia menegur.

Tidak senang dengan teguran dari 'suami' barunya, Ziya menyorot sinis. "Gue gak ngajak lu bicara!" ketus Ziya mulai mengabaikan pria itu.

Kembali Ziya tatap seluruh keluarga, terlebih wajah orangtuanya. Ekspresi mereka campur aduk. Jika memang tidak berniat membuang Ziya, lantas kenapa dia dinikahkan saat baru bangun tidur? "Udah capek yah, punya anak manja kaya aku?" Ziya kembali bertanya lantaran merasa sakit hati.

Alim yang kurang suka dengan pertanyaan Ziya kembali mengelurkan suara. "Humaira, jangan kaya gitu.. Tidak ada orang tua yang capek mengurus anak terkasih mereka."

Mata Ziya merotasi, "Peduli setan, gue gak ngajak lu bicara yah! Fuck you bang*at!" umpat Ziya membuat seluruh orang di sana tercengang.

"Ziyaaa, itu suami eluu! Jangan kasar banget weeee!" Fiona yang hanya diam langsung panik, apa adiknya itu tidak ada takut-takutnya? Sekarang di rumah mereka bukan hanya Alim, tapi keluarga besarnya pun ada di sana! Bagaimana jika pernikahan sang Adik terancam gagal karena mulut kasarnya?

Ziya tak peduli, dia memeletkan lidahnya untuk meledek. Setelah memberikan jari tengah pada seluruh orang di lantai satu, Ziya berlari naik. Meski sempat tersandung dua kali, akhirnya gadis itu berhasil mengamankan diri di dalam kamar.

"Gue.. Nikah?!" gumam Ziya frustrasi.

***

Makasih udah baca, jangan stop yaa

avataravatar
Next chapter