webnovel

STAY [Tamat]

"Malam itu ... aku melihat diriku sendiri hancur di dalam cermin."

***

Kalasin, Thailand.

Pertama-tama, siapa pun dia, aku ingin mengatakan terima kasih. Karena meskipun kita tidak saling kenal, tapi dia bersedia duduk di sisiku untuk menemani.

Kedua matanya melihatku nyaris tanpa berkedip. Sudah hampir semenit begitu, anehnya bocah ini tidak pergi meski aku mengabaikannya.

Mungkin dia bingung kenapa aku meringkuk sendirian di gang kotor seperti ini. Mungkin dia juga segan untuk bertanya aku kenapa. Namun, aku tahu dia adalah anak baik. Jika tidak, mustahil dia tetap ada sejak awal melihat keberadaanku.

"Pergilah," kataku. Lalu merebahkan diri demi menatap langit. Bagiku pemandangan biru di atas sana paling indah setelah diperkosa entah berapa pria semalam. "Kau pasti sedang ditunggu Mae di rumah. Lagipula aku bukan siapa pun. Jadi, biarkan aku berbaring di sini sebentar."

Beberapa detik kemudian, dia justru tetap tidak beranjak. Kedua mata bulatnya kini tenang menatapku yang tengah menghisap rokok. Ahh, baik sekali salah satu pemerkosaku. Setidaknya, meski brengsek ... aku masih diperbolehkan kabur dengan kemeja berisi nikotin miliknya.

"Aku tidak mau pergi," katanya tiba-tiba. Aku pun menoleh. Lalu menjatuhkan korek bensol ke tanah. "Siapa namamu, Phi?"

Aku berkedip-kedip menatapnya yang tampak lucu. Dua mata bulatnya. Pipi-pipi gembulnya. Dan bibir kemerahannya yang masih begitu suci. Aku yakin, bagian itu tak pernah disentuh siapa pun selain orangtuanya. Dia pasti dari keluarga baik-baik, berpendidikan, dan kaya karena bahan pakaiannya termasuk trendy.

Aku pun jadi penasaran bagaimana rupa Mae-nya. Pasti tampak lembut karena bisa menghasilkan bocah lelaki setampan dirinya.

"Apo," kataku. "Kalau kau?"

Di luar gang, orang-orang berseliweran. Mereka datang dan pergi memburu barang dagangan di pasar yang tak jauh dari sini, tetapi tak satu pun memperhatikan keberadaanku yang dibuang di sini sejak semalam.

Tentu kecuali bocah ini. Meski tadinya dia berniat mengejar kucing kampung berkaki pincang.

"Aku Mile, Phi," katanya. Bulu matanya bergerak-gerak, dan dia terlihat seperti mengeja saat melafalkan nama.

Hmm, apa dia sedikit cacat? Aku yakin aksen bicaranya normal saat buka mulut pertama kali.

"Nama yang bagus, Nong," pujiku. Namun, meski ada dorongan mengelus pucuk kepalanya, aku tetap menahan diri. Aku sadar nilaiku tidak bisa dibandingkan dengan Mile. Dia bocah suci tanpa dosa. Umurnya mungkin baru 9 tahun. Sementara aku merupakan tukang antar susu yang baru dipermainkan sekelompok lelaki penagih hutang.

Kurasa, jika sampai ujung jariku menyentuh Mile, maka bocah itu akan ikut ternodai borokku. "Ngomong-ngomong, Nong. Tidak lihat matahari pagi mulai memanas? Kau bisa dimarahi Mae-mu jika pulang telat dengan tanpa belanjaan."

Bukannya pergi, Mile justru bersila dan menggeser duduknya makin mendekat padaku sekarang. Dia sepertinya tak peduli dengan kerikil atau debu yang akan menempeli celananya.

"Phi, mau pulang bersamaku untuk sarapan pagi?" tanya Mile. Lalu menyentuh pergelangan tanganku perlahan. "Kau pasti belum makan beberapa hari. Tubuhmu kurus sekali."

Aku pun tertawa pelan. "Ha ha. Maksudmu kurus jelek seperti kucing yang tadi?" kataku dengan nada bercanda. "Kau pasti berpikiran membawaku seperti akan memungut binatang."

Mile diam sejenak sebelum membuka telapak tanganku yang dihiasi bekas lelehan lilin. Ahh, sial. Pasti itu berkat ulah seorang sadokis semalam. Di sana dia meninggalkan bekas. Ha ha. (*)

(*) Sadokis adalah orang yang suka menyiksa pasangan seks-nya untuk memperoleh kepuasan seksual. Pasangan mereka harusnya masokis, tapi jika bukan, maka termasuk penyiksaan.

"Jangan," kataku. Lalu menarik tangan darinya. Percayalah, bocah ini pasti belum paham tentang kekerasan seksual. Baginya, bekas remasan borgol di pergelangan tanganku pasti hanyalah bekas pukulan. Namun, makin dia meliatku penasaran, makin aku tidak ingin dirinya tahu. "Itu sakit, paham? Tapi pasti hilang beberapa hari lagi. Cukup tinggalkan aku, Nak."

"Aku bukan anakmu, Phi."

Deg!

Untuk sesaat, aku agak terkejut dengan nada tegas Mile. Padahal, barusan aku hanya keceplosan dan di mataku dia hanyalah bocah polos yang mungil. Namun, kalau melihat jenis tatapannya sekarang, aku tahu dia pasti menyimpan sesuatu dalam kepala kecilnya.

"Aku tahu, maaf."

"Dan kau tidak terlihat setua itu di mataku."

"Apa?"

"Apa-apaan bocah ini?" pikirku. "Kenapa dia mendadak ingin marah-marah? Lagipula, siapa yang kau bilang muda? Aku ini sudah 25 tahun—"

"Phi, Mae bilang, kalau ada orang cacat dan compang-camping, tinggalkan karena bisa jadi dia orang jahat. Tapi, jika melihat seseorang yang terluka parah, aku tidak boleh diam saja meninggalkan dia."

Sudut bibirku pun berkedut pelan. "Aku tahu, ibunya memang seberkualitas itu," batinku. "Ha ha. Begitu?"

"Umn." Mile mengangguk pelan. Bocah itu kini berani menyentuh dadaku. Di sana memang ada bekas darah. Aku pun meringis karena bekas cambukan di kulit sekitar sana masih memar karena permainan sinting semalam. "Di sini juga perlu diobati," katanya. "Apa Phi sakit-sakit juga di bagian lain? Aku bisa mengolesinya dengan obat merah kalau ada luka-luka. Percayalah, Phi. Aku jago. Mae-ku sudah mengajariku soal itu berkali-kali."

"Ha? Apa ibunya seorang dokter?" kagetku. Sampai tidak sadar aksen bicara Mile kini sudah sangat lancar. Kemungkinan besar anak ini sempat ragu saat tadi memperkenalkan diri padaku.

"Phi ...." panggil Mile ulang.

Aku pun tersadar dan memandang kepolosan yang ada di wajah itu. "Iya, ah. Maaf—"

"Merokok juga tidak baik untuk kesehatan," kata Mile. Aku jadi refleks menjatuhkan puntung dari jari. Untung tidak sampai mengenai kaki Mile di sebelah sikuku. "Jadi, kau tidak boleh melakukan itu lagi, setidaknya jika nanti kuobati di rumah."

Aku pun tergugu sesaat. "Ahh ... ya. Umn, begitu."

Mile tampak senang ketika aku berusaha mendudukkan diri. Astaga ... sial! Bocah ini pasti tidak paham betapa ngilunya pantatku karena menuruti ocehannya agak tidak tetap berbaring pasrah.

Dia tidak tersenyum, sungguh. Namun, kedua matanya tampak begitu bangga melihatku mematikan ujung puntung dengan pasir.

"Phi, aku bisa menggandeng tanganmu kalau kesulitan jalan," kata Mile. Dia mengulurkan tangan, seolah-olah berperan sebagai Superman di siang bolong. "Tidak perlu malu, Phi. Aku malah takut kalau kaki Phi yang memar nanti tersandung."

"Kakiku memar? Aku sendiri tidak tahu itu."

Percaya tidak percaya, aku pun tertegun melihat bukti kata-kata Mile. Dua pergelangan kakiku memar parah. Kulitnya juga terkelupas karena goresan rantai. Dan mungkin, tubuh dan jiwaku ini terlalu sakit hingga tak bisa merasakan bagian mana saja yang luka.

"Oh, ya. Tapi tidak usah, Nong. Aku bisa jalan sendiri."

Mulanya, niatku memang begitu. Namun, sial ... baru dua langkah saja aku sudah nyaris ambruk lagi.

"Phi!"

Untung Mile langsung memeluk pinggangku. Dia tampak takut, cemas, dan berkaca-kaca menatap wajahku.

"Ha ha. Aku baik-baik saja," kataku. Lalu tanpa sadar menepuk pucuk kepalanya pelan. "Sana, Nong. Badanku ini kotor sekali—"

"Phi tidak boleh jalan sendiri!" tegasnya. Lagi-lagi Mile mode tegas sungguh membuatku bungkam. "Pokoknya harus kupegang. Mae-ku bilang orang dewasa memang sering bohong soal dirinya. Aku tidak percaya Phi!"

"Bocah ini ... memang sejenius apa ibunya? Kenapa bisa tahu hal-hal yang sedetail itu?" batinku.

"Aku hanya ... umn ... bajumu bisa kotor kalau dekat-dekat denganku."

Mile kini tampak merengut. "Kotor ya nanti dicuci," katanya. "Ayo, pulang. Phi ini harusnya dipukul!"

Ha ha ha. Percayalah .... waktu itu aku hanya memandangnya sebagai anak kecil ajaib yang berisik. Apalagi saat melihat dua matanya yang tergenang air mata. Aku jadi merasa, yang terluka sebegini banyak adalah dia yang mengobati. Bukan aku yang duduk di bangku ruang tamunya waktu itu.

Iya, waktu itu.

Aku memang tengah mengisahkan tentang masa lalu. Momen ketika aku dan Mile pertama kali bertemu. Agak aneh, tapi nyata. Dan sekarang dia justru jadi suamiku yang sangat setia.

"Phi, jangan lupa minum tonik herbalmu," kata Mile. Kini bocah--yang ternyata anak kedua konglomerat--itu telah menjelma jadi pria mapan 25 tahun. Dia bekerja sebagai CEO agensi model papan atas. Hidup denganku di Paris, dan getol menikahiku sebulan lalu meski umurku tak muda lagi.

Katanya waktu umur 17, Mile berjanji akan mendampingiku seumur hidup jika memang hanya dirinya yang membuatku nyaman.

Katanya, dia takkan membiarkanku sendiri merundung trauma setelah diperkosa ramai-ramai malam itu.

Katanya, dia akan bersamaku, dan menyayangiku sebagai orang paling penting baginya.

Kalian tahu? Jarak 16 tahun dengannya bukan hal kecil. Aku kerap kali merasa bersalah tidak bisa memberikan jam seks yang baik untuknya yang masih muda. Namun, katanya seks justru bukan segalanya.

Mile berjanji tidak akan menyentuhku jika hanya mengingatkan aku dengan masa lalu. Namun, percayalah. Saat aku membiarkan dia menciumku pertama kali di kelulusan sekolahnya, kedua mataku menangis sendiri.

Sumpah, demi Tuhan aku tak ingin dia mengikutiku seperti ini. Karena kupikir hari ketika kita bertemu pertama kali, aku akan dilepaskan dia pergi setelah proses pengobatan pertama selesai.

Siapa yang tahu, bocah yang waktu itu justru meminta izin orangtuanya agar aku diterima di rumah. Sebagai kasir kafe, juga sebagai sosok Phi-nya setelah jam kerja selesai.

Pikiranku padanya juga tidak pernah aneh-aneh. Dia murni adik bagiku, tapi tidak lagi setelah mengatakan sesuatu di hari kematian orangtuanya.

"Phi tahu, ayah dan ibuku kecelakaan. Mereka pergi. Jauh. Dan takkan pernah kembali. Jadi, apa kau akan begitu juga padaku?"

Mulanya aku bingung. Namun, setelah menyelami kedua matanya, aku tahu. Aku diinginkan Mile untuk menetap di sisinya selamanya.

"Siapa bilang, Mile? Aku takkan pernah meninggalkanmu," kataku. Lalu memeluknya pelan. Jujur saja, saat itu aku kaget. Padahal Mile baru 17 tahun, tetapi kenapa bahunya lebar sekali? Aku saja kalah besar setelah pertumbuhannya sepesat itu. "Jadi, jangan sedih. Oke? Phi akan tetap mengawalmu sampai benar-benar dewasa nantinya."

Dia tersenyum, lalu mengucapkan terima kasih padaku setelahnya. Yang aku tidak tahu, isi pikirannya padaku tidak pernah kepada "Phi" selama ini.

Jadi, apakah ini salahku?

Aku berkali-kali mempertanyakan diri sendiri. Bagian mana yang membuat Mile tertarik padaku? Pantas saja anak itu tidak pernah menggandeng gadis pulang ke rumah hingga kelulusan tiba. Namun, menghindar darinya juga terasa keliru.

Aku pun mengikuti alur. Hingga dia meyakinkanku agar hubungan ini tetap dia wujudkan.

Katanya, umurku belum kelihatan seperti 41 tahun. Dia malah memuji-mujiku setiap keluhan-keluhan keluar, dan mengajakku berkaca setiap hari.

"Aku akan menghitung uban Phi mulai sekarang," katanya dengan nada bercanda. "Jika muncul satu, pasti akan kusemir ulang. Dan jangan lupa minum tonik kesehatanmu. Mile ini akan marah kalau Phi sampai melewatkannya."

"Ha ha ha. Menyemir, katanya?"

Mile tidak tahu, setiap kali dia berangkat kerja di luar. Aku—tanpa sadar—selalu bercermin sendiri.

Aku membayangkan, di cermin itu Mile sendiri setelah kematianku suatu hari. Apa dirinya yang masih muda akan mencari pasangan lain? Jika iya, aku merelakannya dari lubuk hati yang paling dalam. Meskipun begitu, aku juga tak mau berpikir terlalu jauh.

Sebab aku hanyalah pria 'tua' sekarang. Maka, jika usiaku lebih cepat habis, akan kugunakan setiap hari untuk mensyukuri hari ini.

Hari-hari dimana Mile hadir. Sebagai sosok paling penting di hidupku, dan membuatku bahagia hingga bayangan dalam cermin itu hilang dengan sendirinya.

TAMAT

Next chapter