webnovel

Part 2

Dia berhenti, benar-benar berhenti saat Nadya mulai kalap dan mengambil apa pun yang ia rasa cocok untuk Dinda. Nadya menghela napas panjang, ia memandang Dinda sambil berkacak pinggang.

"Elo ya, nggak usah sungkan ama gue tahu, Din. Kayak ama siapa aja, ih! Udah, biasa aja, ya. Dan tenang, gue ikhlas kok, nggak bakal gue ungkit-ungkit, oke? Sekarang, ayo kita ke tempat kosmetik. Wajah cantik elo, sayang dianggurin, Din."

Lagi, Nadya menarik-narik tangan Dinda ke tempat-tempat yang dia inginkan. Mencoba beberapa kosmetik di wajah Dinda kemudian mengambil beberapa lainnya untuk dibeli. Nadya menghela napas, seolah-olah dia telah melakukan suatu hal besar. Senyumnya mengembang di kedua sudut bibirnya, bahkan dia sudah tak mempedulikan bagaimana rambut sepundaknya mulai acak-acakan.

"Ya ampun, Din, gue lupa!" pekiknya.

Dinda yang tergopoh-gopoh dengan beberapa kantong belanjaan pun memandang Nadya dengan tatapan semakin bingung.

"Apaan sih, Nad? Elo mau belanja lagi?" tanya Dinda. Nadya menggeleng. "Uang elo habis?" tanyanya lagi. Kemudian Nadya kembali menggeleng.

"Gue ada janji ama cowok gue, Dinda! Dan gue kelupaan, ya ampun!"

"Duh, Nad, masak hal sepenting ini elo sampai lupa sih!" jengkel Dinda pada akhirnya. "Ya udah deh, elo sana cari cowok elo sebelum elo diputusin hanya karena belanjain gue," kata Dinda, mendorong tubuh lencir Nadya agar pergi darinya.

"Emangnya elo bisa pulang sendiri?" tanya Nadya ragu. "Elo bisa kok bareng gue, nanti sekalian pulangnya bareng," tawar Nadya lagi.

Dinda tidak mau. Bagaimana bisa dia akan menjadi obat nyamuk antara Nadya dan cowoknya, tidak mungkin!

"Enggak ah, lagian gue bisa balik sendiri. Tinggal naik angkot minta diturunin depan kompleks kan," katanya.

Sebenarnya, Dinda juga butuh waktu sendiri. Benar-benar sendiri di antara riuh keramaian di sekitarnya. Dia benar-benar ingin menata hati, memantabkan hati untuk benar-benar bangkit dari bayangan kelam Panji. Dia, butuh waktu untuk itu saat ini.

Nadya menggenggam erat tangan Dinda, setelah ia menampilkan seulas senyum, ia pun memeluk Dinda sekilas.

"Gue pastiin, elo balik dengan aman, dan selamat, ya," katanya. Setelah itu, Nadya berpamitan pergi. Setengah berlari menuruni eskalator yang ada di sebelah kiri Dinda.

Sementara Dinda tersenyum simpul, setelah melambaikan tangan untuk Nadya, dia kemudian melangkah pergi. Keluar dari mall, dan menatap langit biru yang tampak mendung.

Seharusnya dia seperti ini, dia melangkah di kota ini pun sendiri. Dia harus bangkit dari jatuhnya sendiri, agar dia benar-benar bisa yakin bisa menghadapi Panji sendiri. Tanpa takut lagi, tanpa trauma lagi. Atau bahkan, dia ingin menampar wajah Panji dengan tangannya sendiri. Tanpa pelantara tangan siapa pun.

Dinda tersentak saat tas-tas belanjaannya ditarik oleh seseorang, dia langsung menoleh ke kanannya dan mendapati Nathan telah mengambil alih belanjaan dari tangannya. Nathan memandang lurus-lurus jalanan yang dipenuhi oleh pejalan kaki yang berlalu lalang. Kemudian, dia menoleh ke arah Dinda, dan tersenyum.

"Cewek kurang gizi kayak elo bawa belanjaan segini banyak, yang ada tulang-tulang elo menyusut ke bawah, kemudian timbunan kulit elo luntur semua," celetuk Nathan.

Dinda mengerjapkan matanya mendengar ucapan Nathan yang lain dari biasanya. Ucapan arogan, tapi Dinda merasa jauh lebih nyaman dari pada sok manis seperti biasanya.

"Kenapa lo bisa ada di sini?" ketus Dinda. Nathan malah tertawa. Setelah nempeleng kepala Dinda, kemudian Nathan berjalan pelan. Pelan-pelan Dinda mengikuti langkah Nathan juga.

"Emang lo pikir ini jalan milik nenek moyang elo apa, yang gue nggak boleh lewat sini? Ini bukan jalan Dinda, ini jalanan umum yang dilewatin banyak orang," bantah Nathan.

Dinda hanya mencibir, tapi dia tak membantah ucapan Nathan selain berjalan beriringan dengannya.

Dinda mencuri pandang pada Nathan, cowok itu tampak tinggi di atasnya meski orang-orang mengatakan jika Dinda ini tinggi. Tapi, jika dibanding dengan Nathan, masih saja kalah jauh.

"Nggak usah lirik-lirik deh, cowok cakep kayak gue emang biasa dilirik cewek," kata Nathan yang berhasil membuat wajah Dinda merah padam.

"Idih, GR banget sih lo, Nath. Gue ngelirik penjual es krim yang ada di seberang itu. Siapa juga yang sudi ngelirik cowok lenje kayak elo."

"Halah, nggak usah banyak alesan deh. Buktinya terpampang nyata, lihat aja, cewek-cewek sekitar sini, nggak kedip tuh ngelihatin gue. Termasuk elo juga!" bantak Nathan tak mau kalah.

Dinda hanya bisa menahan napas. Setelah ia menghentakkan kaki, ia pun berjalan mendahului Nathan. Tapi lagi-lagi, cowok itu bikin ulah. Dia menarik kerah leher kaus bagian belakang milik Dinda, agar cewek itu mau melangkah ke arahnya.

"Gue laper, mau makan!" kata Nathan. "Kalau lo gue tinggal, bahaya. Entar lo dicariin lagi ama mantan lo yang namanya Panji. Jadi, terpaksa gue ngajakin lo makan dulu sebelum balik."

Dan setelah itu, tak ada yang bisa Dinda lakukan selain menuruti ucapan Nathan. Singgah di sebuah restoran kemudian makan bersama Nathan. Sesekali, Dinda memandang ke arah sekitar. Jelas jika kastanya benar-benar jauh dengan mereka. Akan tetapi, cowok yang sudah sibuk dengan makanannya itu benar-benar tampak tak risih dengan keberadaan Dinda. Malah-malah, di sela-sela makannya, Nathan terus saja melemparkan sindiran atau bahkan berbincang yang tak perlu.

Lagi, Dinda melihat sisi lain dari Nathan. Nathan adalah Nathan, meski kesan pertama Dinda kepada Nathan sangat buruk, setidaknya Nathan bukanlah singa yang akan menerkam Dinda hidup-hidup. Setidaknya, Nathan bukanlah Panji.

Bisakah Dinda berpikir seperti itu?

"Din!" panggil Nathan setelah keduanya sampai di pintu gerbang kos-kosan Dinda.

Dinda berhenti, kemudian dia menoleh ke arah Nathan yang masih berdiri menghadapnya. Sementara kedua tangan Nathan dimasukkan ke dalam saku celananya, mata abu-abunya memandang Dinda dengan sangat intens.

"Maafin gue kalau dulu-dulu gue bikin elo risih, dengan ngomong hal-hal yang mungkin bagi lo menjijikkan. Gue akui gue salah," katanya. Tapi, Dinda masih diam. Dia benar-benar bingung dengan apa yang hendak dikatakan oleh Nathan. "Jadi, Din, jika elo nggak mau jadi cewek gue. Apa gue... gue bisa temenan ama elo? Apa gue boleh jadi sahabat elo, Din?" tanya Nathan.

Mata Dinda terbelalak mendengar ucapan Nathan itu. Entah kenapa, ada rasa hangat yang diam-diam merayapi hatinya. Tapi, Dinda sama sekali tak bisa menjawab pertanyaan Nathan itu. Bahkan untuk mengatakan sepatah kata pun, rasanya Dinda tak kuasa.

Nathan berjalan mendekat ke arah Dinda, kemudian dia mengangkat jari telunjuknya tepat di depan mata Dinda.

"Kalau lo mau sahabatan ama gue, lo sentuh telunjuk gue dengan telunjuk elo. Tapi, kalau lo nggak mau, lo boleh pergi. Dan gue nggak akan ganggu-ganggu elo lagi."

"Hanya sahabat, kan?" tanya Dinda pada akhirnya.

Nathan memandang Dinda dengan tatapan terkejut, tapi setelah itu dia menampilkan seulas senyum. Bagaimanapun, Dinda masih dalam kondisi rapuh. Dia tak akan bisa memaksa apa pun untuk memenuhi ambisinya. Nathan mengangguk menjawabi ucapan Dinda, kemudian ragu-ragu Dinda menyentuh telunjuk Nathan dengan telunjuknya.

Nathan tersenyum simpul dengan hal itu. Setidaknya, dia sudah cukup puas. Dinda tak takut dengannya lagi, Dinda telah mengizinkannya masuk ke dalam hidupnya sebagai seorang sahabat. Nathan kemudian menggaruk tengkuknya, saat melihat ekspresi kikuk Dinda, wajah merah Dinda yang malu-malu. Kemudian, dia menjitak kepala Dinda sampai cewek itu mengaduh kesakitan.

���Ekspresi lo itu, kayak nenek-nenek beranak tujuh. Jelek banget!" ejeknya. Kemudian Nathan cepat-cepat pergi dari sana, sebelum dia melihat ekspresi aneh Dinda lagi. Dan akan membuatnya semakin aneh dari pada ekspresi Dinda.

Next chapter