3 BAB3

Tiga tahun lebih telah kami lalui bersama dan kini adalah masa ketika kami akan disibukkan dengan impian kami masing-masing. Seperti semester ini, kami akan disibukkan dengan banyak mata pelajaran, hal yang sudah mengadang di depan mata. Ya, setidaknya khusus untukku karena orangtuaku sudah memintaku untuk segera melanjutkan sampai ke jenjang kuliah.

"Jatah uang sekolahmu tinggal dua kali pembayaran lagi," pesan ayahku sebulan lalu, sebelum aku berangkat menuju tempat indekos. Aku hanya mengangguk, paham betul apa yang dimaksud. Selain keadaan ekonomi keluargaku yang biasa-biasa saja, Ayah ingin aku bertanggung jawab atas apa yang aku jalani.

Malam semakin larut. Di ruang tengah, masih terdengar suara Doli yang sedang asik menelepon dengan pacarnya. Sesekali, aku merasa geli mendengar dia merayu kekasih yang sedang dibodohinya itu.

Hujan seharian tadi membuat tubuhku agak sedikit drop. Aku bergegas mengambil selimut, lalu menutup tubuh dan wajahku. Namun, ingatan tentang pesan Ayah juga membuatku teringat akan Ibu. Kalau sudah demam begini, Ibu pasti punya firasat. Dan ternyata benar, baru saja Ibu meneleponku, Beliau menanyakan kabarku. Karena aku tidak mau Ibuku khawatir, aku bilang padanya bahwa aku baik-baik saja. Tidak sedang demam. Ibuku lebih banyak diam dibandingkan Ayah. Aku tahu, ibuk juga sama seperti Ayah, dia juga punya harapan yang besar bahkan melebih Ayah, agar aku punya masa depan yang lebih baik kelak. Punya pekerjaan yang bagus. Seperti anak-anak tetangga di desa kami.

Di luar, hujan terdengar jatuh kembali menimpa atap kos kami. Semakin malam, semakin deras, dan aku pun tertidur pulas

***

Keesokan harinya aku berjalan menuju sekolah, lalu menuju warung sarapan lontong di depan halaman sekolah. Warung sarapan lontong itu terletak di halaman depan sebelah kanan sekolahku—YKWI Sakuntala. Tidak sampai sepuluh menit, aku sudah sampai. Hari ini, aku pergi ke sekolah tanpa ketiga sahabatku karena ini mata pelajaran ulangan. Aku mendapat nilai C dan harus mengulang mata pelajaran sistem informasi manajemen ini, sementara ketiga sahabatku dapat nilai yang cukup untuk lulus. Entah bagaimana aku yang selalu mengumpulkan tugas dan rajin merespons saat diskusi bisa tidak lulus. Tampaknya guru yang satu itu—aku malas menyebut namanya—seperti bekerja setengah hati. Untunglah dia bukan guru tetap. Semester ini, dia tidak dipakai lagi mengajar di sekolahku. Bukan hanya karena nilai C yang membuatku kesal, melainkan pada cara dia melakukan dan memberikan penilaian.

Beruntung semester ini aku mendapat guru yang lebih baik. Setidaknya, aku tahu guru yang pernah mengajarku di semester satu dulu itu lebih objektif dalam memberikan penilaian kepada siswa-siswanya.

Aku sampai di warung sarapan lontong Bude Meri—tempat sarapan pagi dekat sekretariat organisasi remaja indonesia, yang digeluti Santi. organisasi itu adalah salah satu organisasi yang tergabung dalam pusat kegiatan siswa siswi di sekolahku, fokus pada penerbitan koran sekolah. warung sarapan Bude Meri berada di sebelah sekretariat remaja indonesia. Tempat sarapan ini sekaligus jadi tempat nongkrongku dan ketiga sahabatku—sejak masuk sekolah, atau lebih tepatnya sejak kami berempat akrab.

Begitu sampai di warung sarapan lontong Bude Meri, aku segera memilih duduk di sudut kanan. Di bagian ujung barisan meja kayu berwarna putih dan kursi plastik merah. Di depannya ada radio sekolah—gama FM. Sesekali kami juga meminta diputarkan lagu di radio komunitas itu. Sebagian besar siswa yang aktif di pusat kegiatan siswa—dan siwa sekolahku—biasanya makan di Warung Lontong Bude Meri. Selain harga sarapan lantongnya yang murah meriah, pemilik Warung juga senang bercanda.

Di depanku, aku melihat Doli sedang memetik gitar. Di depannya ada seorang perempuan—yang dalam dugaanku adalah calon korbannya yang baru—sedang mengiringinya bernyanyi. Panjul seperti biasa sedang sibuk dengan laptopnya, sedangkan Santi sibuk membaca novel.

"Bude, lontong pecel pakek bakwan, satu!" Aku memesan sarapan, kepada Bude Nurul, pelayan Warung lantong Bude Meri.

Aku menuju tempat Panjul, lalu duduk di sebelahnya. Memperhatikan apa yang dia lakukan. Panjul hanya melirikku sekilas, tetapi kemudian sibuk kembali dengan game yang dia mainkan, entah apa itu gemnya. Maklum, pengetahuanku tentang game hanya sampai Ular Tangga, dan Mario Bross.

Beberapa saat kemudian, Bude Nurul datang membawakanku seporsi lontong pecel sekaligus dengan bakwan gorengnya, yang langsung ditaruh di atas lontong pecel.

"Sekalian es teh manis, ya, Bude."

"Idih si Yogi nih, kebiasaan. Kenapa nggak pesan sekalian?!" Nada suaranya bernada pertanyaan, tetapi aku tahu itu hanya ucapan kesal karena sering mengalami hal ini.

"Ck, maaf Bude, Aku lupa," jawabku cengengesan.

"Gimana pelajaranmu, Yogi?" tanya Santi, sambil menutup novel yang tadi sedang ia baca. Novel karya Dee Lestari, aku memperhatikan sekilas sampulnya. Santi memang pengagum perempuan yang menurutnya panutan itu. Beruntung punya teman yang suka membaca seperti Santi, aku bisa meminjam buku-bukunya, perhatian pula.

"Baik, lumayan menyenangkan daripada semester lalu," sahutku sambil memotong bakwan di mejaku.

"MasyaAllah syukurlah," ucap Santii. "Jangan sampai deh, mengulang lagi," lanjutnya.

"Makanya, belajar itu jangan terlalu serius. Kayak aku dong, nyantai," celetuk Doli.

Santi tertawa mendengar lelaki yang merasa dirinya mirip Cristian Ronaldo itu menceletuk tiba-tiba.

"Percuma dapat nilai bagus kalau nggak paham. Yang

penting bukan angka-angka, tapi isi kepala," sahut Andre sambil tetap fokus pada laptopnya.

"Apa maksud Kau?, Panjul?" Doli merasa tersinggung.

"Udah ah, kalian jangan kayak anak kecil, deh!" Santi berusaha menengahi. "Mending bantuin Yogi ngabisin makanannya."

"Enak aja, aku lapar. Enggak lah! makasih aku bisa ngabisin sendiri. Namun, penolakan ku percuma. Mereka bertiga sudah mengambil sendok masing-masing dan menyantap lontong pecel campur dua bakwan goreng yang berada di mejaku.

Setelah lontong pecel itu habis, satu per satu mereka meninggalkanku sendiri di Warung Bude Meri. Santi pergi ke sekretariat remaja indonesia, sedangkan Doli pamit untuk menemui seseorang—aku bisa menebak, ini pasti perempuan lagi. Sementara, Panjul buru-buru ke kos lebih cepat karena lupa cuciannya belum diangkat.

Di langit, awan memang mulai terlihat tebal. Aku masih memilih duduk menikmati waktu sendirian di warung Bude Meri. Menikmati es teh manis yang masih tersisa. Juga menikmati percakapan-percakapan siswa-siswa lain yang sibuk membahas ujian kelulusan. Akhir-akhir ini hubunganku dengan Neti semakin terasa dingin.

Selain PR Sekolah, Neti juga menjadi hal yang membebani pikiranku. Suara siswa-siswa di sekitarku cukup berisik. Mereka terlihat sangat sibuk dengan obrolan-obrolan mereka. Aku hanya berusaha memaklumi karena masih menunggu Neti selesai belajar hari ini. Kucoba mengabaikan kebisingan itu meski tetap saja agak mengganggu konsentrasiku.

"Gila! Itu guru susah banget ditemui. Kapan kelarnya ini tugas," ucap salah seorang di antara mereka. Dia siswa senior, dua tingkat di atasku. Aku kenal wajahnya, tetapi tidak kenal namanya. Dia salah satu senior yang mengerjaiku sewaktu aku menjadi anak baru di sekolah dulu.

avataravatar
Next chapter