webnovel

#1 ELENA

Jauh sebelum mentari tiba dari arah timur, gadis belia yang sebentar lagi akan memasuki pendidikan tingkat menengah atas telah bersiap dengan celana training dan sepatu larinya. Sebelum keluar ia pastikan rambutnya sudah terikat sempurna. Gadis dengan tinggi 170 cm itu berjalan gontai dari rumahnya, sesekali dia merentangkan kedua tangannya dan mulai digerakkan ke atas maupun samping. Setelah pemanasan Yang dilakukannya dirasa cukup, dia mulai menambah laju langkahnya menjadi sedikit berlari. Kegiatan ini sudah menjadi rutinitasnya hampir setiap hari.

Ketika mentari mulai bersiap di posisinya, maka akan banyak pula manusia-manusia yang keluar untuk beraktivitas, tak hanya berolahraga ada juga yang berangkat bekerja. Keramaian ini sudah membuat gadis itu tidak nyaman maka dia putuskan untuk pulang.

Dalam perjalanan pulang, tubuhnya ditabrak oleh seseorang sehingga dia sedikit terhuyung. Laki-laki dengan jaket hitam itu tampak tergesa-gesa tanpa mengucapkan kata maaf. Tidak lama setelah laki-laki itu menjauh, datang bergerombol orang yang rupanya mengejar sang laki-laki.

"Dia copet! Kenapa gak kamu tahan?!" bentak seorang wanita paruh baya yang menjadi korban pencopetan di pagi ini.

Dengan santai dan tak berdosa, "Bukan urusan saya. Lagian dompet gak dijaga." Halus tetapi menusuk. Gadis itu langsung melenggang pergi meninggalkan wanita itu dengan mulut penuh omelan.

Tibanya dia di rumah, gadis itu langsung mengarah pada meja makan dengan hidangan sarapan yang sudah disiapkan asisten rumah tangga. Di sana sudah terduduk manis ibu dan kakak perempuannya. Gadis itu hanya meneguk segelas susu dan membawa roti ke kamarnya.

"Elena, gak makan dulu?" teriak ibunya, Maya.

"Udah telat, Ma." Elena berteriak balik.

Di awal masa SMA tentunya Elena akan menghadapi masa-masa orientasi yang katanya di sekolahnya ini dipegang oleh kakak-kakak kelasnya. Dengar-dengar dari teman sekelasnya saat SMP, masa orientasi SMA akan dipenuhi dengan perpeloncoan senior kepada juniornya.

Elena sudah bersiap dengan pakaian olahraga khas sekolahnya dengan kaus kaki putih sebetis lengkap dengan sepatu converse. Dia berangkat diantar supir ibunya dengan rute menuju sekolah kakaknya terlebih dulu. Meskipun kakak beradik, keduanya tidak bersekolah di SMA yang sama.

"Good luck ya," ucap Elisa sebelum meninggalkan mobil.

"Hmm," balas adiknya.

Gadis yang disapa El itu, berjalan santai memasuki gerbang sekolahnya. Rupanya sudah banyak siswa-siswi yang menunggu di luar gerbang. Begitu masuk, terdapat tiga antrean panjang yang menunggu pemeriksaan dan pembagian. Dia paham pemeriksaan macam apa yang akan dilakukan tetapi pembagian, apakah itu pembagian seragam?

Tiba saatnya Elena diperiksa. Si kakak kelas dengan softlens abu-abu itu menyuruhnya memperlihatkan kaus kaki dengan mengangkat tinggi celananya. Dari jarak satu meter, Elena sudah sentiment terhadap si kakak kelas. Tidak hanya menunjukkan wajah masam, gadis itu juga membentak keras. Setelah pemeriksaan, si kakak kelas memberikan sebuah nametag dari kardus yang ukurannya cukup besar untuk dia kalungkan di leher. Melihat beberapa siswa menggunakan hal yang sama, membuat Elena sempat menolaknya. Penolakan itu membuat si kakak kelas berteriak kencang sehingga beberapa orang menoleh penasaran.

"Lo kira ini lelucon, di sini gue mau belajar ya bukan mau dijadikan bahan candaan!" ucap gadis itu.

"Anak baru udah berani ya! Lo gak takut?! Cepat pake!"

Tiba-tiba gadis lain bernametag menghampiri Elena. "Aduh Elena, udah pake aja. Jangan cari masalah deh," bisiknya sambil menarik Elena menjauh.

Dengan sangat terpaksa, Elena menuruti. Beruntung ada Luna—teman sebangkunya kala SMP—yang dapat memadamkan percikan api. Dia lalu menarik Elena menuju lapangan untuk berbaris.

"Elena, ini hari pertama kita, jadi ikuti aja ya mau mereka. Kalau kita udah officialy pake itu baju kotak-kotak, bebas deh lo mau jungkir balik juga," bisik Luna dari belakang. Luna dan Elena dipertemukan di kelas 3 SMP. Satu tahun bersama memang sedikit cukup membuat Luna mengenal Elena. Luna tahu Elena bagai sumbu pendek yang mudah sekali meledak, untuk itu Luna sebisa mungkin menjadi angin untuk memadamkan amarah Elena.

Kegiatan upacara sebagai pembukaan untuk masa orientasi pun dimulai. Teriknya mentari yang mulai bergerak naik, tak luput membuat para anak baru menghalalkan segala cara untuk dapat mengistirahatkan diri. Sayangnya, para senior memberikan tatapan tajam bagi mereka yang tak segan untuk duduk, tak tanggung-tanggung beberapa siswa yang tampak duduk diseret ke depan lapangan.

Bagi Elena berdiri di bawah terik matahari sambil mendengar orang berceramah adalah hal yang ia benci. Maka, Elena mencari cara untuk sebisa mungkin menghindari upacara ini hingga selesai. Elena langsung menghapus riasan naturalnya dengan lengan baju sehingga memperlihatkan wajahnya yang pucat pasi. Dengan memasang wajah memelas, Elena berbalik, mengatakan dirinya tidak enak badan. Kakak kelas yang menjadi PMR di sana langsung mempercayai tipu daya Elena dan berakhirlah dirinya berbaring di UKS, surganya para siswa selain kantin.

Karena bukan tujuan Elena untuk tidur, yang dia lakukan adalah memainkan ponsel. Elena mengeluarkan earphone dari saku seragam dan mulai memutar playlist. Elena menikmati alunan musik dari ponsel sembari memejamkan mata dan sesekali mengetuk-ngetuk jari. Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Seseorang menarik paksa earphone Elena, lantas membuatnya terbelalak kaget. Di hadapannya telah berdiri dua orang kakak kelas, yang satu berbaju PMR yang tadi mengantarkannya dan satu lagi menggunakan jas almamater sekolahnya.

Elena memperbaiki posisi, "Mana earphone gue." Elena menjulurkan tangannya dengan wajah tanpa dosa.

Laki-laki berjas almamater itu juga merampas ponselnya. "Barang ini gue sita. Ini UKS tempat orang sakit bukan untuk mendengarkan musik!" jelasnya. "Lo bisa ambil ini saat kegiatan orientasi selesai."

"Siapa bilang gue gak sakit?! Lo gak lihat muka gue pucat?" Elena tidak mau kalah.

Laki-laki itu berdecih, "Lo kira gue anak 5 tahun yang mudah lo bohongi? Tuh lihat." Laki-laki itu menunjuk pada lengan baju Elena yang ternodai oleh riasan wajahnya. Shit!

Laki-laki itu lalu berjalan keluar, Elena tentu saja mengejarnya tetapi langkah laki-laki itu sangat cepat sehingga dia kehilangan jejak. Elena pun terpaksa kembali, mencari kelasnya dengan segenap amarah pada kakak kelasnya itu.

Tiba di kelasnya pun Elena memilih tempat terpojok dan terbelakang. Ia benar-benar mencari tempat yang sekiranya jarang terjamah manusia di kelasnya.

Kini, giliran kelasnya untuk melakukan tour seisi sekolah yang akan dibimbing oleh kakak kelasnya yang lain. Mereka mengenalkan berbagai lokasi dan kegiatan yang biasanya di lakukan di dalamnya. Lagi-lagi mendengar orang berdongeng, membuat Elena beberapa kali menguap. Ketika mereka hendak memasuki Laboratorium Biologi, mata Elena menangkap si kakak kelas yang menyita barangnya. Maka, tanpa pikir panjang ia langsung keluar dari barisan dan menghampirinya.

"Balikin barang gue!" tak tanggung, Elena mendorong bahu si kakak kelas.

"Gak ada etika sama sekali." ucapnya sembari merapikan almamater.

"Mana barang gue!" Elena menegaskan per katanya.

"Gini, sekarang masih jam pelajaran. Nanti pulangnya lo ambil di ruang OSIS, ruang OSIS dimana? Cari sendiri!" laki-laki itu tak memberi jeda untuk Elena membalas. "To, adek ini nyasar. Tolong anterin ke kelasnya. Lo kelas apa?"dia memanggil salah satu temannya.

Elena enggan menjawab.

"Kelas gue!" teriak salah satu perempuan yang menjadi pembimbing di kelasnya. Elena pun berakhir kembali mengikuti alur yang membosankan.

Sedari tadi Elena sangat menantikan jarum panjang berdetak ke angka 12 dan jarum pendek ke angka 2, tandanya waktu pulang telah tiba. Sesuai kesepakatan, Elena mencari dimana ruang OSIS. Bahkan,Elena tidak kesulitan sama sekali menemukannya. Ruang OSIS tepat berada di bawah kelasnya. Ia mulai menengok ke kanan dan kiri lalu mengintip ke arah dalam. Tiba-tiba pintu terbuka...

"Nih, lain kali—"

Elena mengambil barangnya dan berlalu begitu saja membiarkan laki-laki itu mematung di tempat.

"Sama-sama!" teriak laki-laki itu percuma.

***

Elena meninggalkan sekolah dengan taksi yang dia cegat di perempatan sekolahnya. Setelah lima belas menit, akhirnya taksi tiba di rumah, gadis itu bergegas menuju kamarnya. Elena tampak begitu terburu menyiapkan beberapa pakaian dan perlengkapan dirinya. Elena bahkan tidak memiliki waktu untuk mandi dan berganti baju. Mendengar klakson mobil dari bawah, maka dia segera mengunci rapat kamarnya.

Laki-laki berkacamata yang menjemput Elena memberikan senyuman terbaiknya. Namun, yang diberi senyuman melenggang masuk begitu saja ke kursi penumpang di belakang. Setelah mobil melaju, Elena mulai mengeluarkan bajunya dan berniat menggantinya di dalam sana. Matanya menangkap laki-laki itu tengah meliriknya lewat spion depan. Sontak, Elena menendang kursi kemudi dan perhatian laki-laki itu kembali mengarah pada jalanan.

"Gue lihat lo lirik-lirik lagi, mau besok gak bisa lihat?!" ancamnya.

Ancaman Elena sangat menakutkan bagi laki-laki itu. Berhubungan dengan gadis itu selama dua tahun tetap tidak membuatnya menemukan sisi lunak dari diri Elena, semakin ia mengenal Elena semakin ia mengenal sisi kerasnya gadis itu.

Elena kembali mengganti bajunya dengan susah payah meski ia harus jungkir balik di dalamnya. Setelah menghabiskan waktu di perjalanan, mereka tiba di sebuah hotel. Laki-laki itu langsung menggiring Elena ke wardrobe room. Di dalamnya Elena disulap menjadi seorang putri tahun 1970-an, semua itu didukung oleh riasan dan juga kostum yang dikenakannya. Sembari menunggu panggilan, ia mengisi waktu luangnya dengan memainkan ponsel.

"Elena, Elena." Suara wanita itu mengalihkan perhatian Elena tanpa ia menoleh sedikitpun. "Look at you! Gak pernah bosan saya memuji kecantikanmu, kami sangat beruntung memiliki talent model seperti dirimu. Para klien pasti akan menyukainya. Jika kali ini kamu berhasil mencetak rekor, kamu bisa menjadi cover di Harper's Bazaar." Elena hanya sedikit menyunggingkan garis bibirnya. Meski, tidak tampak reaksi yang berlebihan, di dalamnya ia sedang meloncat kegirangan. Siapa yang tidak ingin menjadi cover di majalah fashion yang sangat terkenal itu. Majalah fashion yang lahir di Amerika, memberikan Elena cita-cita untuk tidak hanya menjadi cover majalah tersebut sebatas di Indonesia melainkan di pusatnya.

Kesenangan Elena melayang seketika, ketika seorang gadis cantik baru saja melenggang masuk ke ruangannya. Gadis dengan tubuh semampai itu kerap menjadi rivalnya secara implisit. Elena dengan gadis itu diakui oleh agensinya memiliki bakat yang tidak lagi diragukan, karena sama-sama berbakat terkadang mereka selalu bergantian memperebutkan posisi nomor satu.

"Oh … oh … Mikayla. Josi, lihat ratu kita, bukankah malam ini ia tampak selalu cantik?" ucap wanita itu pada laki-laki yang berprofesi sebagai hair stylist di sana. "Dengan kecantikan yang dirimu miliki, tidak ada kecantikan lain yang bisa menandingimu, Mika."

Sang gadis yang dipuji mengulum senyumnya, tersipu malu. Dia berbicara seolah apa yang dikatakan wanita itu terlalu berlebihan. Gadis itu selalu merendah ketika disanjung tinggi. Rupanya itulah yang dibenci Elena. Dalam posisinya, Elena berdecih, dalam bayangan pada kaca di depannya, dia dapat melihat Mikayla terus menyampirkan rambutnya ke belakang telinga. Baginya, Mikayla adalah ratu drama, dia selalu berakting untuk menarik simpati orang di sekitarnya. Memosisikan dirinya sebagai gadis suci, polos, lugu, dan berhati malaikat namun kenyataannya Elena tahu semua itu salah.

Panggilan untuk Elena akhirnya tiba, dia bersyukur terselamatkan dari pembicaraan omong kosong itu. Di hadapan lampu dan kamera, dia dengan sangat mudah memosisikan dirinya hanya satu kali intruksi. Elena memiliki tubuh yang begitu luwes, dia lihai memainkan tubuhnya yang semampai. Memainkan busananya adalah kesukaannya kali ini.

Setelah Elena melihat hasil pemotretan, dirinya cukup puas. Malam ini dia kembali dengan hati bangga atas kecantikan dirinya. Dia tunjukkan dengan selalu tersenyum sepanjang jalan menuju mobil.

"Dengar-dengar dari kru, klien lo ini orang besar loh. Tahu gak?" ucap laki-laki tadi membuka pembicaraan.

"Tahu. Mereka juga tahu siapa yang akan terpilih untuk jadi covernya." Elena benar-benar bangga atas dirinya.

"Siapa lagi kalau bukan Anda, Elena yang paling cantik." Puji laki-laki itu menghadirkan tarikan tipis di ujung bibir Elena.

Mobil tidak mengantarkan Elena pulang ke rumah, atas permintaannya melaju ke sebuah apartemen. Tiba di apartemen miliknya, laki-laki itu masih mengekor. Elena sempat mencegat laki-laki itu sebelum masuk ke dalam.

"Tunggu disini dulu!" Elena masuk lalu beberapa saat kemudian dia kembali dengan pakaian tidur. Alih-alih menyuruh laki-laki itu masuk, Elena malah menyodorkan tas berisi pakaian olahraganya yang kotor. "Laundry kan dulu, besok pagi mau gue pakai soalnya. Jangan sampai telat!" laki-laki itu pun menelan ludahnya. "Baru boleh masuk."

Mendengar permintaan tolong yang sebenarnya tidak menyertakan kata tolong sudah menjadi makanan sehari-hari untuk dirinya dari seorang Elena. Seusai membawa baju Elena untuk di laundry, barulah dia kembali untuk mengisi perut. Di depan TV, Elena sudah mendahuluinya makan. Ketika laki-laki itu baru saja duduk dan hendak menyantap makanan, Elena bangkit meninggalkannya.

"Bagas, jangan lupa besok 06.30."

"YA!" dia menyentak kesal. Jika bukan saja sekadar rekan kerjanya, dari dua tahun lalu dia sudah melamar sebagai manager untuk model lain. Hanya saja, ada satu sisi yang membuatnya nyaman bekerja dengan Elena dan dia tidak menjamin kenyamanan itu bisa didapatkannya dengan model lain.

Elena terkadang membentaknya, menyuruhnya semena-mena, dan selalu bersikap keras padanya serta orang lain. Di antara sifatnya yang keras seperti batu ini bisa saja membuat orang lain akan menjauhinya. Namun, dari sekian banyak orang di sekitar Elena, hanya Bagas yang mampu bertahan. Bagi Bagas, Elena pernah menjadi penolongnya.

***

Setelah hari yang padat ini, Elena menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang empuk. Baru hari pertama saja sudah ada kejadian yang membuatnya kesal. Sepertinya Elena harus mencoba sabar, satu tahun bukanlah waktu yang lama untuk selalu bertemu dengan kakak-kakak kelasnya tadi. Untuk membantunya tidur, Elena mengambil earphone dari dalam tasnya. Dia biasa memutar lagu-lagu klasik sebagai pengantar tidurnya. Benda panjang dan ramping itu dia mainkan dengan jarinya, seketika wajah si kakak kelas yang menyita earphonenya melintas.

"Dipikir-pikir dia lumayan ganteng, badannya bagus lagi. Sayang aja ngeselin," gumamnya.

Namanya melintas pasti hanya sebentar, selanjutnya Elena memutuskan untuk tidur. Akan tetapi, sudah berkali-kali dia mencoba mengganti posisi tidurnya, Elena masih belum bisa tertidur. Dia sudah lelah dan mengantuk tetapi matanya belum mau terpejam. Elena akhirnya keluar dari kamar, tampaknya Bagas pun sudah pulang. Elena lalu membuka pintu geser yang membawanya ke balkon apartemen. Kedatangannya disambut angin malam yang berhembus lumayan kencang. Dia sedikit membungkuk, bertumpu pada pagar balkon, sembari sesekali menarik napas panjang. Melihat keramaian dari lampu di jalanan dan juga gedung-gedung pencakar langit, masih belum membuat hatinya terasa ramai.

Bertahun-tahun setelah kehangatannya pergi tanpa alasan yang jelas, selama itulah dia merasakan kedinginan dan kekosongan dalam dirinya. Bahkan, Elena sempat berpikir untuk apa dirinya berada di sini jika dia tidak memiliki tujuan untuk hidup. Sekolah, modeling, shopping, jogging dan kesenangan lainnya hanyalah suatu kefanaan untuknya. Elena lakukan itu hanya untuk menyibukkan dirinya tanpa tahu apa yang sebenarnya dia cari. Mungkin itu lebih baik dibanding dia harus berdiam diri di kamar dengan tatapan kosong.

Elena memeriksa ponselnya, tidak ada satupun pesan atau panggilan dari ibunya. Elena tidak pulang ke rumah dan ibunya tidak mencarinya, bukan lagi hal yang mengejutkan. Sejak ibunya tahu dia mengambil pekerjaan sebagai model di usia yang sangat muda, tidak ada pertanyaan apalagi larangan untuknya. Saat itu Elena menghela napas, mungkin bagus untuknya tidak perlu menghadapi drama keluarga.

Di antara banyak pemandangan yang Elena bisa lihat di malam hari ini, hanya satu yang dia benci yaitu tetangga di seberangnya. Elena tidak memiliki masalah pribadi dengan mereka bahkan saling mengenal saja tidak, tetapi kebersamaan keluarga itu yang membuat Elena tidak suka. Berada di lantai yang sama dengannya dan apartemen yang saling berhadapan tentu saja Elena dapat melihat dengan jelas. Dengan bayangan siluet, sang ayah tengah menggendong putrinya yang masih kecil dan menerbangkannya bagai pesawat. Gadis kecil itu tampak kegirangan dan tak lama ibunya mengantarkannya untuk tidur. Sang ayah lalu berlutut mencium kening gadis kecilnya. Setelah itu, sang ayah membuka tirai dan tak sengaja menangkap Elena yang tengah memperhatikannya. Elena yang tertangkap basah langsung masuk dan menutup pintu serta tirainya.

Elena bergegas menuju dapur, dia langsung meneguk segelas air hingga habis. Dia lalu menatap pantulan dirinya pada kaca di sana, dirinya terlihat sangat berantakan. Bukan penampilan melainkan apa yang ada di dalam dirinya. Tanpa dia sadari buku jari-jarinya telah memutih akibat genggaman erat pada gelas. Elena lalu membanting gelas ke dalam wastafel, dia menusuk jarinya dengan pecahan kaca hingga berdarah. Dia juga menekan jarinya agar terus mengeluarkan darah. Dengan darah itu, Elena menggambar sebuah senyuman pada kaca di sana. Garis bibirnya ikut melengkung beberapa detik lalu kembali berubah datar.

***

Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!

itspaulandcreators' thoughts
Next chapter