webnovel

Siasat

Soca

Altair sudah selesai membersihkan diri. Duduk di kursi sembari mengelap rambutnya yang masih basah dengan kain tebal berwarna hitam. Aaron juga ada di sana, duduk di kursi yang berbeda. Dari arah dapur, Rallia datang membawa segelas minuman yang masih mengepulkan asap.

"Minumlah, agar tubuhmu menjadi hangat." Rallia berjongkok meletakkan gelas di atas meja, di depan Altair.

Altair mengambil gelas berisi wejha dan mulai menyesapnya, tetapi masih agak panas. Jadi, diletakkan kembali biar sedikit dingin dulu. Ucapnya seraya tersenyum hangat, "Terima kasih."

"Sama-sama." Rallia bangkit berdiri, membalas senyuman Altair. "Kalau begitu aku pamit dulu, mau menemani Alle menjaga Nier. Kakek, Alta, permisi."

Setelah menerima anggukan persetujuan dari Altair dan Aaron, gadis kurus itu pun lekas bertolak meninggalkan ruangan.

Menghela napas agak panjang, Aaron memandangi muridnya dengan tatapan sendu. "Apa tadi kau terlibat perselisihan dengan Deildra?"

"Ya, sedikit." Altair memandangi bayangan semu dirinya di dalam gelas yang kini berada di genggaman kedua tangannya. Ia tahu jika Aaron pasti akan merasa sedih sekaligus kecewa padanya, tetapi dirinya juga tidak sanggup bila harus berbohong. Meskipun begitu, Altair tidak lekas mengadukan hal yang menyebabkannya cekcok dengan si senior.

"Bagaimana keadaanmu? Apa ada cedera serius?" Alih-alih marah atau menanyakan sebab musabab pangkal pertikaian antara kedua muridnya. Aaron justru menatap Altair dengan tatapan cemas dan perhatian.

"Aku tidak apa-apa." Altair menunduk malu. Gurunya memiliki ketenangan yang kokoh, hatinya luas bagai samudra. Sementara dirinya masih sering tersulut dan emosinya gampang naik. Meski begitu, di satu sisi Altair juga terpana atas kasih gurunya yang tulus. Membuat rasa hormat dan kagum di dalam dirinya menjadi semakin bertambah-tambah.

"Syukurlah." Aaron tertawa rendah, tampak plong.

Altair ikut tersenyum. Namun, ada satu pikiran yang mengganjal. Tidak ingin menyimpan rasa penasaran. Altair pun menanyakan ganjalan di hatinya itu, "Guru, kau sangat mencemaskan keadaanku. Apa kau tidak mencemaskan Paman Deildra?"

"Haha," tawa rendah Aaron mengalun, "Paman? Seharusnya kau menyebutnya Kakak Senior, atau Senior."

"Tidak mau!" Mata Altair berubah sepet dan wajahnya jadi masam. "Lagian, setahuku usianya sudah hampir kepala empat (40 tahun). Jadi, tidak cocok kupanggil kakak. Aih, Guru, kau tidak menjawab pertanyaanku."

"Haha. Baiklah! Baiklah! Terserah kau saja." Tawa rendah Aaron kembali mengalun, tetapi kali ini tak berlangsung lama. Perlahan, cahaya di wajah tuanya menggelap, muram. Napasnya pun dihela berat. "Deildra. Soal kemampuan, kurasa tidak ada hal yang mesti dikhawatirkan darinya. Satu-satunya hal yang kukhawatirkan dari orang itu, hanyalah jiwanya yang terus-terusan sakit dan menderita. Luka di hatinya, tak kunjung mereda."

Seketika, suasana berubah menjadi diliputi kemasygulan. Cahaya benderang sang surya di luar rumah tidak mampu mengusir pekatnya duka yang menguar begitu saja memenuhi ruangan. Tiap kali menyinggung perihal murid terbaiknya, air muka Aaron pasti akan berakhir murung.

Altair kembali menunduk, kali ini lebih dalam. Dirinya baru sadar kalau pertanyaannya telah membuat Aaron bersedih, seperti membuka luka lama yang tak pernah kering hingga saat ini. Apa yang dikatakan gurunya memang benar, soal kemampuan, sulit mencari tandingan yang bisa menyaingi Deildra. Namun, sayangnya sang Hungost terbaik itu selalu berduka setiap harinya. Luka kehilangan yang mendalam, mendarah daging, dan kian menyiksa di setiap hela napas.

Sesaat, suasana hening meliputi ruangan. Masing-masing orang sibuk mendamaikan hati dan menata emosinya kembali. Lewat beberapa lama, barulah terdengar helaan napas lirih dari mulut Aaron. Pria tua itu bangkit berdiri.

"Istirahatlah. Aku akan menjaga Nier, kau tidurlah."

"Baik." Altair memandangi punggung gurunya yang menjauh.

Walaupun sebenarnya Altair ingin dirinya saja yang menjaga Nereid dan Aaron yang beristirahat. Namun, Altair tahu bahwa Aaron tidak akan pernah menyetujuinya. Kakek tua itu selalu ingin memberikan yang terbaik bagi murid-muridnya. Tidak ingin merepotkan.

Aaron memasuki kamar Nereid, Allera dan Rallia ada di sana. Keduanya duduk di sisi ranjang.

Sebelumnya, Allera diminta Deildra untuk lekas kembali ke rumah. Tanpa banyak bertanya gadis itu pun menurut. Sekembalinya dari pondok, Allera langsung menemui sang kakek untuk bertanya. Aaron kemudian menjelaskan keadaan tanpa ada yang ditutup-tutupi. Bahwasanya, ada sekelompok orang datang yang kemungkinan ingin membuat onar.

"Kakek, bagaimana? Apa mereka semua sudah diberi pelajaran?" Allera bangkit berdiri dan mempersilakan sang kakek untuk duduk.

"Tentu, ada tiga pria hebat berkemampuan luar biasa di sini. Mana sanggup mereka menghadapi ketiganya dan membuat onar." Aaron menjatuhkan bokongnya di kursi, menyandarkan punggungnya relaks. "Kalian berdua, pergilah tidur. Nier, biar kakek yang jaga."

"Hm, baik Kakek." Allera melirik ke arah Rallia dan keduanya pun lekas berlalu meninggalkan kamar.

Aaron menegakan posisi duduknya, tangannya terulur mengelus puncak kepala Nereid. Pancaran kasih memancar keluar dari sorot mata tuanya. Gumamnya pelan, "Saat matahari terbit esok hari, kau harus bangun Nier."

Hening.

__________

Pagi datang menjelang, sang surya kian bersinar terang benderang. Suara cicit burung ramai terdengar dari arah hutan. Dari atap rumah Aaron, asap tipis mengepul, dua gadis remaja tengah memasak di dapur.

Altair pergi ke halaman untuk memeriksa dan membuang mayat yang semalam belum sempat diurusnya. Namun, halaman ternyata kosong. Hanya ada kubangan lumpur. Tampaknya, semalam Deildra hanya membuat orang-orang berseragam hitam itu pingsan. Jadi, begitu mereka bangun, semuanya melarikan diri dan beberapa yang meninggal pun rupanya dibawa. Masih ada solidaritas di antara mereka.

Lantaran tidak ada hal yang mesti dibereskan, Altair pun lekas kembali ke rumah. Langkahnya menuju kamar Nereid. Ketika pintu dibuka, dilihatnya Aaron tengah duduk tercenung.

Altair memberi salam, takzim. "Nier belum bangun?"

Aaron menggeleng pelan. "Belum."

"Guru sudah menjaga Nier semalaman. Sekarang gantian, biar aku yang jaga." Altair duduk di sebelah Aaron.

Menghela napas, Aaron tak bersikeras. Kepalanya membuat anggukan pelan sembari menepuk pelan pundak Altair. "Aku akan mandi dan mengganti pakaian dulu. Kau jagalah Nier."

"Baik."

Aaron berlalu meninggalkan ruangan, bergegas menuju sumur untuk mandi sekaligus menyegarkan benaknya. Sebab, saat pikirannya tengah semrawut, kadang kala air bisa membuatnya lebih tenang dan relaks. Jiwanya sudah tua, tubuhnya juga sudah tak muda lagi. Namun, beragam persoalan justru terus datang silih berganti, tak henti-henti.

Padahal, Aaron hanya ingin hidup damai menikmati hari-hari tuanya di kaki gunung. Tertawa bersama cucunya yang supel, mengobrol santai dengan muridnya yang gemar membaca, atau sekadar membawa Nereid jalan-jalan menikmati hutan. Namun, tampaknya semua itu sulit didapat saat ini. Sampai sekarang, Nereid belum bangun. Orang-orang asing tiba-tiba datang membuat onar. Lalu, Deildra pun hadir bersama sorot matanya yang selalu dipenuhi keduakaan dan kebencian. Dengan semua hal itu, mana mungkin Aaron bisa merasa damai.

Aaron telah usai mengganti pakaiannya dengan jubah lusuh berwarna cokelat pudar yang kalem dan sudah akan kembali ke kamar Nereid. Namun, seseorang datang mengetuk pintu rumah. Aaron pun mengurungkan niat awalnya dan lekas melangkah ke pintu membuka selot.

"Deildra."

"Guru." Deildra menyoja ramah.

"Masuklah."

Deildra menutup pintu kemudian melangkah membuntuti Aaron ke ruang tengah. Keduanya lalu duduk saling berhadapan, disekat oleh sebuah meja bundar. Sinar matahari melewati celah ventilasi dan menciptakan corong-corong cahaya di sana.

"Ada apa?" Aaron bertanya dengan suara rendah.

"Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan padamu." Deildra menyandarkan punggungnya pada kursi, relaks dan kalem. Sekelumit senyum menghiasi dua baris bibirnya.

"Perihal Nier?" Aaron menebak, menatap Deildra dengan sorot sendu.

Deildra mendengus dingin, tersenyum mencemooh. "Jadi, setan kecil itu kau panggil Nier?"

Aaron tidak terpancing dengan celaan Deildra, roman wajahnya masih setenang danau. Meski begitu, seperti ada jarum kecil yang menusuk hatinya, nyelekit. Namun, Aaron mengabaikannya. "Katakan, apa yang ingin kau ketahui?"

"Saman cilik itu. Siapa dia dan kenapa juga kau harus merawatnya?"

Kedua mata Aaron melewati beranda, memandangi daun-daun yang jatuh berguguran. "Aku tidak sengaja menemukannya tergeletak di jalan beberapa tahun lalu. Dia kehilangan ingatannya, mungkin mengalami trauma atau karena hal lainnya. Jadi, aku sendiri pun tidak tahu asal usulnya."

Deildra menegakan posisi duduknya, sorot matanya mencorong menatap Aaron. "Kau-kan bisa memasuki pikirannya dan mencari tahu kebenarannya tanpa harus membuatnya membuka mulut."

Mengesah, Aaron menjawab dengan suara yang lirih, "Aku sudah melakukannya. Namun, ada aura gelap yang menghalangiku untuk melihat semua hal tentangnya. Terlalu pekat, tidak bisa kutembus. Jika dipaksakan, hal itu hanya akan memberikan dampak buruk padanya.

"Kau sangat perhatian dan peduli sekali padanya." Deildra tertawa dingin, mencela. "Bagaimana bila aku yang mencoba memasuki pikirannya."

Kali ini roman wajah Aaron langsung berubah kaget, terkesiap. "Tidak! Kau tidak boleh melakukannya."

"Guru."

"Deil, kalau kau masih menganggapku sebagai gurumu. Jangan pernah sentuh Nier ataupun menyakitinya." Aaron menatap Deildra dengan sorot tegas. Tampaknya, keputusannya sudah final dan tidak bisa diganggu gugat lagi.

"Hm, baiklah." Mengembuskan napasnya kasar, Deildra tidak menampilkan mimik kecewa di raut wajahnya. Meski di dalam hati, sedikit gegetun itu ada. Namun, sebenarnya hal ini sudah diprediksinya dari awal. Maka dari itu, kekecewaannya pun cenderung tidak terlalu besar, hanya sedikit.

Bangkit berdiri, Deildra pun pamit kembali ke pondok. Meninggalkan Aaron sendirian bersama keheningan. Pikiran orang tua itu melayang ke beberapa tahun silam di mana hujan turun dengan sangat deras.

Allera muncul dari arah dapur, kepalanya melongok-longok seperti tengah mencari sesuatu. Tidak berhasil menemukan apa yang dicarinya. Gadis remaja itu pun melirik sang kakek dan bertanya, "Kakek, tadi aku seperti mendengar suara Paman Deildra. Kok, tidak ada, ya?"

"Sudah pergi," Aaron menjawab datar.

"Aih, Kakek kenapa tidak menahannya? Kita bisa sarapan bersama." Allera merengut, penyakit manjanya kumat.

Menghela napas, Aaron hanya menampilkan senyuman getir. Pikirannya kusut, dilema, dan serba salah. Di satu sisi, dirinya sangat paham bagaimana penderitaan Deildra. Di sisi lain, kasih sayangnya terhadap Nereid sudah sangat dalam dan mendarah daging. Nereid sudah dianggapnya sebagai cucu sendiri, hatinya tidak rela bila remaja itu harus disakiti.

_________

Di pondok, Rigel tengah mengemas barang-barangnya. Karena sejak awal tidak banyak barang yang dikeluarkan. Jadi, proses berkemas berlangsung singkat. Rigel menempatkan tas rensel di punggungnya, kemudian melangkah menghampiri Deildra.

"Kita mau ke mana?" Rigel duduk di kursi tanpa melepaskan lebih dulu tas ransel di punggungnya.

Deildra yang juga tengah duduk sembari menumpangkan kedua kakinya di atas menjawab singkat, "La Polle."

"La Polle?" Kedua mata Rigel mengerung, bingung. "Kau bilang ingin mencari tahu identitas Saman itu?"

"Makanya kita ke sana." Deildra tersenyum penuh arti.

Rigel membungkam seribu bahasa, tidak lagi berkata-kata. Akalnya tidak sampai, tidak sanggup memikirkan apa yang sebenarnya Deildra rencanakan. Pria dengan gelar Hungost terbaik itu begitu tersembunyi, seperti diliputi kabut yang sangat tebal. Sangat sulit mendekati maupun menebak apa yang ada di pikirannya.

Maklum akan kebingungan muridnya, Deildra pun lekas menenangkan Rigel agar tidak terlalu banyak berpikir. "Sudahlah, kau tidak perlu memikirkannya terlalu jauh. Aku pasti akan menangani setan kecil itu."

Mengangguk, Rigel menatap gurunya dengan kepercayaan penuh.

Deildra menerawang melewati beranda, menatap lebatnya hutan. "Tenaga yang kuhantamkan kemarin merupakan tenaga yang sama dengan yang aku pakai ketika membunuh putra-putra Lodrak. Namun, karena sampai saat ini tidak ada acara pemakaman, aku tarik kesimpulan Saman keparat itu selamat." Sampai pada kalimat ini, sorot Deildra berubah menjadi semakin dingin dan cenderung menyeramkan. "Dan karena dia memilih untuk bertahan hidup, itu berarti dia telah memutuskan untuk menderita lebih lama."

Mendengar suara Deildra yang diliputi kebencian bercampur duka. Tak ayal bulu roma Rigel jadi berdiri semua, tubuhnya meremang. Ada serangkum perasaan ngeri menyambangi jiwanya.

Tanpa mengalihkan pandangannya dari hutan, Deildra melanjutkan lagi ucapannya. "Aku memang berniat menginterogasi Saman itu, tapi tidak bisa kulakukan di sini. Aku tidak sanggup bila harus melawan guruku sendiri dengan kekerasan. Oleh karena itu, rencana ini kusiapkan. Bagaimanapun, aku akan mengambilnya dari Aaron dan memaksanya mengatakan siapa dia yang sebenarnya."

"Dan, ya." Deildra mengalihkan pandangannya pada Rigel. "Soal titahku yang memintamu melakukan perjalanan selama dua tahun kau lupakan saja. Musim dingin nanti, akan ada perekrutan Hungost untuk kerajaan. Ikuti dan jadilah yang terbaik. Sementara itu, aku akan mulai menyelidiki pembantaian yang terjadi di desamu."

Rigel mengangkat wajah sembari menatap nanap sang guru. Sesaat, dirinya tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Butuh beberapa lama bagi Rigel untuk yakin jika apa yang gendang telinganya tangkap adalah benar.

"Aku akan berusaha keras, Guru. Mohon doa restumu." Rigel lekas berlutut dengan satu kaki di samping gurunya.

"Tentu saja." Deildra menampilkan senyuman yang tulus. Mengelus puncak kepala Rigel dengan lembut. Namun, kedukaan di mata kelamnya kian bertambah banyak dan pekat.

Deildra sangat ingin menerima Rigel sebagai ganti Aludra untuk mengobati luka hatinya. Namun, rupa Rigel dan Aludra sangat kontras perbedaannya. Bagai siang dan malam, gelap dan terang. Hasilnya, justru tiap kali melihat Rigel, Deildra malah teringat akan sang putra yang tidak jelas bagaimana hidup-matinya.

_________

Di rumah, Aaron telah bangkit berdiri dan sudah akan melangkah ke kamar Nereid. Namun, dari arah luar terdengar suara nyaring ringkikan kuda disusul dengan bunyi tapalnya. Seketika itu juga sesuatu yang keras seperti menghantam dada Aaron, sakit. Hatinya mencelus dan rasa bersalah mulai menjalari jiwanya.

Allera langsung berlari ke arah pintu depan, dilihatnya dua punggung di atas kuda telah menjauh. Pekiknya nyaring, "Paman! Hai, Paman Deildra! Jangan pergi!" Namun, tampaknya suara Allera tidak sampai ke telinga dua orang penunggang kuda itu. Jarak mereka sudah jauh.

Menghela napas, Allera pun hanya bisa menunduk sedih. Setelah tidak bertemu begitu lama, sekarang malah ditinggalkan begitu saja. Tanpa kata, tanpa salam perpisahan. Gadis remaja itu merasakan hampa di hatinya. Emosinya masih labil.

"Alle." Aaron merengkuh bahu cucunya dengan tangan kanannya.

"Kakek, kenapa Paman pergi?" Allera memeluk pinggiran Aaron, menyandarkan kepalanya di dada sang kekek.

"Mungkin, karena aku ...." Mata tua Aaron nanar memandangi jalan setapak yang ditutupi daun-daun basah. Aaron berpikir jika Deildra merasa tersinggung atas sikapnya yang bersikeras melindungi Nereid dan tak terpikirkan hal lainnya.

"Karena Kakek?" Allera mendongak, "Kakek bertengkar dengan Paman."

"Tidak. Namun, kakek sudah menyakiti hatinya yang sudah terluka sejak dulu."

"Kakek ...." Allera menggumam lirih, seperti tengah berbisik dengan dirinya sendiri. Matanya menerawang hutan, jiwanya terbang mengejar angan.

_________

Bersambung ....