webnovel

Benang Merah yang Terhubung

Soca

Rigel berjubelan bersama orang-orang di jalan sempit, matanya berkeling ke kiri dan ke kanan. Atensinya tertarik pada sebuah kedai makan. Perutnya keroncongan. Cepat-cepat ia pun mengayunkan kaki memasuki kedai.

Seorang pelayan remaja menghampiri sembari tersipu-sipu. Rigel memesan dan tak lama kemudian hidangan datang. Tanpa menunggu apa-apa lagi, ia melahap rakus hidangan. Menghabiskannya dalam sekejap.

Usai membayar, Rigel berniat untuk meneruskan perjalanan. Namun, pandangannya tertarik oleh sesuatu. Seorang gadis, benar, seorang gadis berpakaian lusuh. Ia pernah melihat gadis itu sekali di ruang bawah tanah Pattidie X-ros milik Paliv.

Gadis itu membeli tiga kantung makanan dari kedai seberang. Namun, tingkahnya agak sedikit aneh. Celingak-celinguk seperti takut pada sesuatu atau diincar sesuatu.

Entah kenapa, Rigel jadi merasa penasaran. Dari tampilannya saja ia tahu bahwa gadis itu pasti seorang budak. Namun, bagaimana mungkin seorang budak bisa berkeliaran di luar benar-benar membuatnya merasa penasaran.

Memanjakan keingintahuannya, Rigel memutuskan untuk mengikuti gadis berbaju lusuh itu.

Gadis berpakaian lusuh yang tak lain Rallia berjalan berjubelan bersama orang-orang. Kemudian berbelok di sebuah gang sempit menuju hunian yang sepi. Rallia sempat menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Namun, tak ada apa pun. Jadi, ia meneruskan kembali langkahnya dengan setengah berlari-lari kecil.

Rigel memperhatikan sekitar, tempat itu benar-benar sepi. Hunian yang terbengkalai dan tua. Cat dinding mengelupas, pecahan kaca di mana-mana, berkarat, serta atap yang tak utuh. Benar-benar kotor serta berantakan.

Kedua mata Rigel terus mengintai seperti mata elang. Gadis yang dikuntitnya masuk ke salah satu rumah. Penasaran, pemuda berambut pirang itu mengintip dari balik kaca yang ditutupi gorden usang tipis tembus pandang.

"D-dia?" Sejenak, Rigel membeku terkejut. Pasalnya, di dalam rumah dirinya melihat makhluk yang seharusnya sudah mati. Menggeram kesal, ia mendesis dingin, "Cih! Apa-apaan semua ini?"

Di dalam rumah, Allera yang baru saja selesai merapikan rambut Nereid; menata rambut bagian depan——yang sebelumnya tertebas acak oleh Rigel——menjadi poni. Senyumannya mengembang tatkala menyambut kedatangan Rallia.

Allera berujar, "Kau sudah datang, maaf jadi merepotkanmu."

"Ah! Tidak! Tidak apa-apa! Nona sudah sangat sibuk mengobati Tuan Nereid dan tadi juga sempat pergi ke sana kemari mencari obat-obatan. Sekarang, Tuan Altair juga sedang pergi mencari kereta untuk kita. Sudah seyogianya saya juga ikut membantu."

"Gadis baik." Allera tersenyum tulus. "Rallia, sudah kukatakan panggil saja aku dengan namaku, pun Altair."

"Eh! Itu?" Rallia seperti menimang-nimang, tetapi kemudian akhirnya mengangguk. "Baiklah."

Sementara itu, di luar ruangan Rigel telah membuat busur dari aura lengkap dengan anak panahnya. Bersiap membidik Nereid yang terlihat masih dalam kondisi belum sadarkan diri. Hanya saja, saat ini Nereid terlihat lebih rapi dengan pakaian tebal dan rambutnya terikat.

Anak panah melesat. Namun, tanpa terduga sama sekali. Anak panah yang Rigel lepaskan terhenti di tengah jalan. Sebab, ada anak panah lain dari arah samping yang menabrak dan mematahkannya menjadi dua bagian.

Rigel terkejut bukan main, menolehkan kepala menuju arah anak panah yang menghentikan serangannya.

"Siapa kau?" Rigel menatap waspada.

"Pertanyaanmu aku kembalikan, siapa kau? Kenapa ingin menyerang rekanku, huh?" Altair balas menatap, manik birunya terlihat cerah. Sikapnya tenang, nada ucapannya pun demikian. Rambut cokelatnya bergerak-gerak tertiup angin.

"Cih! Rekan katamu? Jadi, sekarang manusia dan Saman sudah berteman, ya? Romantis sekali!" Rigel meludah.

"Saman, apa yang kau maksud?" Altair seakan tak mengerti, tetapi entah itu sungguhan atau hanya pura-pura.

"Jangan berlagak pilon, aku tahu rekanmu yang terluka itu sebenarnya Saman!"

Altair tidak langsung menjawab, melainkan merenung beberapa saat. Mencoba memikirkan siapa kira-kira orang yang dihadapinya. Pasalnya, pemuda pirang itu tahu bahwa Nereid adalah Saman. Saat ini, hanya sedikit orang yang bisa mengenali Saman. Terlebih, aura Saman milik Nereid sebenarnya sulit untuk dirasakan ataupun dilihat.

"Nier, dia rekanku! Aku ditugaskan guruku untuk membawanya, kami sudah mencarinya selama beberapa tahun. Ada pun dia Saman atau manusia, itu bukan urusanmu."

"Bukan urusanku! Omong kosong!" Rigel mengubah busur di tangannya menjadi sebuah pedang. "Omong-omong, siapa nama gurumu yang mau memelihara seorang Saman?"

Walau orang di depannya sudah dalam posisi siap menyerang, tetapi Altair masih bersantai-santai. Membisu, tak menjawab pertanyaan.

Hal itu membuat Rigel merasa kesal, maka diterjangnya Altair. Namun, meski si pemuda bertama biru tampak tak melakukan persiapan apa-apa. Akan tetapi, saat diserang Altair justru mampu menahan serangan dengan mudah.

Menahan sabetan pedang Rigel dengan busur. Sambil menatap Rigel dari jarak lumayan dekat, Altair pun berkata penuh penekanan, "Kau sungguh ingin tahu siapa nama guruku? Baik, akan kuberi tahu! Guruku, beliau bernama Aaron Costel."

"Apa?" mendengar nama Aaron Costel, Rigel menjadi terhenyak. Ia mundur beberapa langkah menarik kembali serangannya. Tatapannya menyelidik, "Semua orang bisa saja membual bahwa dirinya seorang raja, bukan? Lalu, bagaimana aku bisa percaya begitu saja pada ucapanmu?"

Mengesah, Altair menatap datar pria di hadapannya. "Kemarilah, biar kupukul dulu bokongmu, baru nanti kau percaya."

"Cih! Mulutmu kotor sekali seperti comberan!" Rigel mendengus dingin menanggapi ejekan pria di hadapannya itu. "Kupatahkan tulang bokongmu, baru tahu rasa!"

"Silakan saja!"

Rigel sudah habis kesabaran. Dialirkannya energi yang besar pada bilah pedangnya hingga menjadi bercahaya keemasan. Namun, baru juga mau menerjang, sebuah bentakan membuatnya urung.

Allera yang sedari tadi berdiri mengamati di muka pintu mengeluarkan suara bentakannya yang nyaring. "Cukup! Aku cucu dari Aaron Costel, namaku Allera Costel. Aku berani mengatakan kebenaran bahwa Altair, pria itu, memang murid Kakekku!"

Kali ini Rigel setengah menggeram frustrasi. Menoleh pada Allera dengan wajah sepet, kentara bahwa tidak mempercayai apa yang diucapkan gadis bermata ungu itu. "Oh! Baiklah! Ada murid, ada cucu, kemudian ada Saman. Sandiwara macam apa ini?"

"Sandiwara katamu? Pria pirang yang bodoh!" Allera mengeluarkan cincin ular dari sakuranya dan menyerahkannya pada Rigel.

Rigel menerima cincin yang diberi gantungan manik-manik dari batu rubi. Ukiran cincinnya sangat rumit, tetapi tulisan "Costel" masih terlihat jelas. "Bukankah bisa saja kau merampok salah satu dari keluarga Costel kemudian mengambil identitas mereka."

Mengesah, Allera tampak sebal lantaran Rigel sangat sukar untuk percaya. Ia merebut kembali cincinnya dari Rigel dan meletakkannya di tengah telapak tangan kanan. Tiba-tiba cincin itu mengeluarkan cahaya, seperti hidup dan bergerak-gerak. "Masih tidak percaya juga, huh? Pirang!"

Rigel terdiam. Sekarang ia tahu bahwa gadis galak itu tidak berbohong, memang cucu dari Aaron Costel.

"Jika kau tidak keberatan, silakan perkenalan dirimu," Altair meminta ramah.

"Namaku Rigel Halley, dan guruku ...," Rigel seperti agak ragu, "... Deildra Gallera."

Kali ini, Allera-lah yang tertawa garing. "Lelucon apa yang coba kau tampilkan, Pirang?"

Menghela napas, Rigel mengeluarkan sebuah cincin ular yang mirip dengan milik Allera. Meletakkannya di telapak tangan kemudian mengalirkan auranya ke dalam cincin itu. Cincin menjadi bersinar dan seakan-akan bergerak hidup.

Kali ini, Allera pun dibuat terdiam.

"Baiklah, ini sangat tidak lucu." Allera bermonolog menyeramkan dengan wajah datar dan pandangan sepet.

Bersambung ....