webnovel

Bab 11

"Sial, si bodoh ini ... haha, tolong jangan dengarkan ucapannya, dia memang seperti itu tingkahnya kalau sudah mabuk," jelas Trily pada Sapto.

"Biarkan saja, lagi pula aku memang ingin mengajaknya menginap," ucap Sapto tak henti memandangi wanita mabuk itu.

"Apa ... kalian akan menginap, berdua?"

"Aku tak mungkin kembali ke ruang perawatan selarut ini, anak buahku bisa mencurigaiku ... dia, bukankah rumahnya belum bisa dihuni setelah penembakan itu?"

"Sebenarnya dia ... menginap di ...."

"Sudahlah, kamu tak perlu khawatir. Bantu aku menggendongnya ke mobil!" pinta Sapto.

Trily mengemasi kedai nya, isi kepalanya dipenuhi pikiran kotor tentang dua orang pemabuk itu. Apa yang akan dilakukan oleh pria dan wanita dalam satu penginapan, bahkan ia dan Rafli saja belum pernah menginap bersama.

"Pertigaan di depan belok ke kiri," colek Trily ke bahu Sapto memberikan arah rumahnya.

Jeep itu berhenti didepan rumah Trily, mengantarkan barang-barang kedai nya sebelum melanjutkan perjalanannya ke sebuah penginapan.

***

Seorang porter mengantarkan mereka menuju kamar yang satu-satunya tersisa di penginapan itu. Pintu bernomor tiga kosong tiga itu pun terbuka, Sapto yang menggendong wanita mabuk itu, sontak melemparkannya ke atas kasur yang cukup untuk ditiduri satu orang.

Nara yang begitu teler oleh minuman kerasnya, hanya melanturkan bisikan-bisikan aneh dari mulutnya, sedangkan Sapto mulai melemparkan kemejanya ke atas sofa untuk meredakan rasa nyeri lukanya akibat bergesekan dengan kain katun bermotif bunga-bunga itu. Sembari merapikan perban di bahunya, ia melihat pakaian Nara yang basah akibat tumpahan minuman kerasnya.

"Dasar, ceroboh sekali ...." Sapto dengan lembut membuka kancing-kancing kemeja basah yang dikenakan Nara, mengangkat sebagian tubuhnya yang ringan untuk mendapatkan kemeja itu. Diatas tubuh Nara, tangannya yang memar menyentuh lengan-lengan lembut itu, berusaha mengeluarkan kemeja yang masih tersangkut di jari-jari Nara yang imut dengan cincin emas di telunjuknya.

"Ah, bagaimana aku menjelaskan ini pada suaminya ... menyusahkan saja!" gumamnya sambil membenarkan bra di tubuh Nara yang merosot.

Plak!!!

Tangan kanannya tiba-tiba mengayun menampar pipi kiri Sapto dengan keras.

"Argh ... belum sadar saja sudah galak seperti ini, bagaimana jika ...."

Plakkk!!!

Serangan kedua, beralih dari tangan kirinya yang menampar pipi kanan Sapto jauh lebih keras.

"Sial ... apa yang sebenarnya dia lakukan," kesal Sapto dalam hati. Kepala yang memanas memerintahkan tangan kanannya mengambil ancang-ancang untuk meninju wajah Nara yang merona itu.

"Ha ... suami? Lagi pula, siapa yang sudi menikahi wanita sepertiku, hah ...." Nara yang mendengar ucapan itu, sontak menegapkan tubuhnya tuk menangkis tangan Sapto yang mengepal itu. Menyingkap leher Sapto dengan sikunya, sontak membalikan posisi awal mereka seperti adegan pada film-film yang telah ditonton Nara bersama Trily. Sapto yang merintih menahan sakit di punggungnya akibat menempel pada sprei kasur itu, menyebabkan lukanya kembali mencair. Tatapan mata Nara semakin tajam menyoroti wajah yang memerah kesakitan dihadapannya. Bibirnya yang sedikit hitam akibat jejak asap rokok, meliarkan imajinasi Nara yang duduk diatas tubuh Sapto yang kekar.

"Emmm ...." Nara mencoba berbicara pada Sapto, namun otaknya terlanjur mengirim perintah pada bibirnya untuk menempelkannya pada mulut yang setengah terbuka itu.

"Hei ... ah ... pa yang kamu ...."

"Emmm ... di ... am ... jangan berisik!" bisik Nara yang liar diatas tubuh berisi itu.

"Hen ... tikan, emmm ...." gumam Sapto berusaha melepaskan dekapan itu.

"Hmmm ... aku baru ingat istilah itu, women on top. Benar, kan? Emmm ... hei, perokok!" desahnya menjaga bibir itu tetap menempel.

"Astaga, apa yang sebenarnya dia lakukan? Sadar atau tidak pun, tetap saja menyusahkan," batin Sapto.

Nara yang seksi malam itu beraksi diatas tubuh Sapto yang sedikitpun tak bergerak oleh dekapannya. Kasur itu mulai hangat oleh jejak-jejak tubuh mereka yang bergulat mesra diastasnya, bercak darah yang di keluarkan oleh punggung Sapto mewarnai sebagian selimut putih itu. Detak jantung Nara belum pernah sekencang ini, beriringan dengan melodi reyat-reyot penyangga ranjang yang ikut bergetar akibat gerakan tubuhnya.

Nara mulai melepas pengait bra yang mengancing di punggungnya, sontak ia meletakan bra yang berhasil ia lepas di sebelah kepala Sapto yang seketika memejamkan matanya.

"Aduh, apa yang kamu lakukan ... aku tak ingin melihatnya ... tolong pakai kembali mainan itu!"

"Dasar bodoh ... apa kamu tak pernah melihat bra karet seperti itu sebelumnya? Emmm ...." bentak Nara dengan meninggalkan bibirnya pada dada Sapto yang bidang. Kecupannya meninggalkan jejak-jejak ludah yang membasahi tubuh itu.

"Sial, apa lagi yang akan dia perbuat?" Kedua tangannya sengaja ia lemaskan di kasur itu, sedikitpun ia tak ingin menyentuh wanita mabuk yang ada diatasnya.

Tubuh Nara menggeliat diatas perut itu berusaha membuka kancing celana hitam yang dikenakan Sapto. Sedikitpun Sapto tak memberi perlawanan kepada Nara, ia hanya diam dengan apa yang telah Nara perbuat padanya.

"Kamu ... bukankah, kamu ...." kejut Nara melihat sesuatu yang ia keluarkan dari celana hitam itu masih bertekuk lutut.

"Hei ...." teriak Sapto menutupi sesuatu itu dengan kedua tangannya.

"Bukankah, kamu mengajaku menginap untuk melakukan hal seperti ini? Lantas, mengapa dari tadi, justru kamu tak menyentuhku sama sekali ... dan itu ... mengapa seperti itu, bukankah, pria perkasa seharusnya memiliki sesuatu yang mampu berdiri kuat?" tatap Nara menunjuk kedua tangan Sapto.

"Hah ... maksud kamu ... aku tidak perkasa?"

"Itu ... aku telah melihatnya sendiri," jawab Nara menutup matanya.

"Aku hanya tak berniat menyakitimu, bukan berarti aku tak perkasa! Bagiku pria yang sesungguhnya tak akan berbuat seperti itu kepada wanita yang tak sadarkan diri," jelas Sapto merapikan celannya.

"Astaga, apa yang telah kulakukan!" Kejutnya, sontak melompat dari tubuh kekar itu mengambil bra yang tertinggal dengan setengah sadar menyesali perbuatan yang memalukan itu.

"Haruskah, aku yang meminta maaf, Dokter?"

"Iya ... karena kamu hanya diam saja ketika aku berbuat seperti itu kepadamu, sial ... memalukan sekali!"

"Baiklah, maafkan aku, aku menyesali perbuatanku, Dok!" ejek Sapto.

Kedua pemabuk itu merapikan pakaiannya masing-masing, wajah mereka sama-sama memerah akibat peristiwa itu. Apa yang dilakukan Nara terinspirasi dari adegan film yang ditontonnya bersama Trily beberapa waktu silam. Tak disangka justru hal itu menjerumuskannya pada hal yang paling memalukan di hidupnya.

"Hei ... sekarang aku yang akan bertanya padamu, Dok. Seberapa sering kau melakukannya, mengapa kau terlihat sangat menguasai hal ini?" tanya Sapto pada Nara yang baru saja selesai mengenakan pakaiannya.

"Hah ...."

"Bagaimana jika suamimu tahu?"

"Aku belum ... ah, sudahlah. Lagi pula, apa untungnya membahas perkara ini denganmu. Antar aku pulang!" ajak Nara dengan tas menyelempang di pundaknya.

"Kamu lupa ... memangnya mau pulang kemana, apa kamu mau tinggal di rumah yang ditandai garis polisi?"

"Hmm ... harus bagaimana sekarang, haruskah kita tidur seranjang ditempat itu?" sahutnya menyibak rambut yang penuh keringat dingin itu.

"Masih belum puas juga si galak ini, sial ... tidurlah di kasur itu, aku akan tidur di sofa!" ucapnya sambil beranjak mengambil selimut yang menutupi ranjang itu.

"Awas saja, kalau berani macam-macam!"

Efek minuman keras masih melemahkan kelopak mata mereka, membawanya terlelap bersama di malam itu. Dihantui dengan rasa malu, Nara bersembunyi menutup wajahnya di balik tas miliknya, sembari melirik pria yang tertidur lelap di sofa.

***

Tok!!! Tok!!! Tok!!! Room Service!!!

Suara itu muncul dari balik pintu kamar. Memaksa tubuh-tubuh yang terlanjur nyaman pada posisinya untuk terbangun.

"Mengapa langitnya begitu terang. Sial ... jam berapa ini, gawat ... aku bisa terlambat," gaduh Nara bangkit dari tidurnya. Rambutnya berantakan menutupi pandang, ia menabrak kaki Sapto yang meyilang di antara meja dan sofa.

"Hah, ada apa ... ada apa?" jerit Sapto terjatuh di lantai. Kejutan di pagi hari dimana kesadarannya belum kembali dari mimpi-mimpi indah semalam.

Tok!!! Tok !!! Room Service!!!

"Iya ... sebentar!" balas Nara yang berjalan membukakan pintu.

"Maaf nyonya, apakah kamarnya bersedia kami bersihkan?"

"Hmm ... sebetulnya kami akan check out sebentar lagi, bagaimana jika beri waktu kami beberapa menit untuk mengemasi barang-barang," tawar Nara.

Ia menarik Sapto untuk keluar dari kamar itu, tatapan intim semalam berubah menjadi tatapan menjijikan yang membuat Nara semakin malu. Sepatah kata pun tak terlontar dari mulutnya selain isyarat mata yang ketus diberikan kepada Sapto yang masih menguap-uap. Kesadaran yang belum sepenuhnya kembali ke tubuh Sapto membuatnya hampir terpeleset menuruni tangga demi tangga penginapan itu.

Beberapa petugas keamanan berlari ke arah yang berlawanan, diikuti dengan staf-staf lain yang membicarakan tentang penghuni kamar di lantai tiga. Mendengar seseorang telah kehilangam nyawa, sontak kesadarannya kembali dengan sempurna.

"Tunggu ... mengapa kalian begitu panik?" tanya Sapto ke salah satu staff itu.

"Ada yang bunuh diri, tuan!"

"Apa ...." Sapto dan Nara mengikuti gerombolan staff itu menuju kamar paling ujung. Kamar 309 dengan tanda DND terbuka, beberapa petugas keamanan terlihat menutupi hidungnya dengan topi, menahan bau busuk mayat wanita tanpa pakaian yang terbaring di depan layar televisi yang menyala. Lalat-lalat yang menghinggapi permukaan kulit itu menandakan bahwa kematiannya telah lama berlalu.

Seorang petugas kebersihan kamar bersaksi, awalnya ia menemukan bau busuk dari kamar itu, ia melaporkannya kepada management dan meminta kunci master untuk membersihkan ruangan 309. Naas, wanita berambut pendek itu sudah tak bernyawa saat ditemukan, sontak membuat staff lainnya berdatangan untuk menyaksikan peristiwa itu.

"Tuan, sebaiknya anda tak menyentuh mayat itu!" pinta salah satu petugas keamanan.

"Bagaimana mungkin ... sial," gumam Sapto sambil mengamati sayatan-sayatan tipis di paha dan tangan mayat itu.

"Tuan, kami mohon kerja samanya," paksa petugas keamanan itu.

Mayat yang diduga kuat tewas akibat racun serangga yang ada di atas meja itu, membuatnya semakin pusing. Kasus bunuh diri kian meningkat di kota, kasus-kasus yang lama saja belum menunjukan titik terang, namun motif baru datang memperkeruh pikirannya.

"Permisi tuan, ada baiknya Anda tak ikut campur dengan kasus ini. Anda bisa meninggalkan tempat ini!" tegas pengelola penginapan itu pada Sapto.

"Oh, baiklah ...."

Tak ingin ketahuan bahwa ia telah menginap dengan seorang wanita, Sapto berpura-pura acuh terhadap kejadian itu, namun beberapa bukti telah ia masukan kedalam saku celananya. Mereka beranjak pergi dari penginapan itu.

"Hei, ada apa ... mengapa menangis seperti itu? Apa Dokter baik-baik saja?"

"Hmm ... aku baik-baik saja, fokus saja dengan kemudimu ... aku tak mau celaka lagi!" sahutnya sambil menyandarkan wajahnya pada jendela Jeep itu. Ia teringat dengan kematian ibunya, ingatan pahit itu selalu membuatnya gila.

"Oh iya, aku Sapto," mengajaknya bersalaman.

"Maksudnya ...."

"Jangan panggil aku 'Hei' lagi, sangat menyebalkan aku mendengarnya, namaku Sapto ... Sapto Dwi Setya," tegasnya.

"Oh, begitu. Naraya Aletha ... panggil saja sesukamu. Lagi pula, aku telah terbiasa dicaci dengan sebutan apapun!" balasnya dengan jutek.

"Baiklah, kabari aku jika terjadi sesuatu! Sepertinya ada rahasia di balik raut wajah itu ...."

***