61 Kenyataan

"Bagun Vina!" teriakku untuk kesekian kalinya.

Dan ia membuka mata. Nafasnya masih terlihat teregah-engah meskipun oksigen sudah dipasangkan.

"Lux?" katanya terlihat kaget.

Aku lega sekali. Dan langsung memeluknya.

"Apa, apa yang terjadi?" tanyanya padaku. Aku diam tak menjawab. Suster mendekatinya dan memeriksa infus serta oksigen juga keadaannya.

"Lux, mengapa kau ada di sini?" tanyanya lagi.

"Tenang Vina, tenanglah. Kau aman sekarang aku ada di sini."

Setelah agak tenang, aku melepaskan pelukanku. Ia terlihat bingung. Ia mengamati kami semua.

"Nyonya?" kata Moore melambaikan tangan. Sementara Angela dan Luke hanya membisu. Satu per satu mereka keluar meninggalkan kami.

"Aku, aku tak mengerti katanya"

Aku membelai rambutnya.

"Tenang, aku di sini. kau baik-baik saja. Aku tak akan membiarakan sesuatu terjadi."

Ia mulai medebatku.

"Tapi, bagimana mereka?" tanyanya.

Mereka?

"Mereka membutuhkan donor, hanya aku yang cocok dengan ketiga orang itu."

Begitu rupanya.

"Apa kau mau mati!", bentakku. Ia terlihat terkejut dan diam.

"Apa kau kira dengan menyelamatkan mereka dan kau kehilangan nyawamu, itu bukan bunuh diri namanya?"

Ia menunduk.

"Kau donorkan semua pada mereka dan kau sendiri mati. Apa yang ada di benakmu Vina?" ,tanyaku medesaknya berfikir. "Apa aku tak cukup berharga bagimu?"

Ia diam.

"Apa aku tak lebih baik dari Andre Lau?"

Ia masih diam dan menunduk. Aku menurunkan nada bicaraku.

"Aku memang bukan orang yang kau cintai itu. Tapi kau harus tau. Aku mencintaimu. Aku tak ingin kehilanganmu. Terlepas apakah kau mencintai aku atau tidak itu tidak masalah. Selama kau hidup di sampingku dan aku bisa melihatmu, itu sudah cukup."

Aku mengehla nafas. Aku menegeluarkan cincin yang aku beli beberapa waktu lalu. Aku memakaikannya, tak terpikir lagi harus berkata romatins seperti apa. Atau harus memberikannya dengan cara bagaimana.

"Aku menginginkamu. In adalah hadiah pernikahan kita. Maaf, aku baru sempat membelikanmu cincin baru. Selama ini, kau hanya mendapat apa yang sudah ada. Ku harap kau bisa menerimaku. Hiduplah dengan bahagia. Jangan berfikir lagi untuk mati. Kau pantas hidup, dan pantas mendapatkan orang yang lebih baik dari Andrew Lau."

ia tak melawan meski aku memakaikannya. Ia menangis. Benar-benar menangis. Suster yang melihatnya merasa benar-benar kasihan padanya. Ia bertanya apa perlu ia memberikan obat tidur pada Vina. Aku menggeleng. Aku ingin dia berhenti menangis karena keinginannya sendiri bukan karena pengaruh obat penenang kali ini.

"Tapi, bagimana dengan tiga orang itu? Aku sudah berjanji menolong mereka?" kata Vina setelah menangis selama tiga puluh menit.

Aku memeluknya kembali. Mencoba membuatnya tenang. Suster kami mendekatinya

"Jangan khawatir, kami sebenarnya memiliki beberpa kandidat lain Nyonya. Mereka tetap akan selamat" kata suster itu.

"Benarkah?"

"Tentu saja, kami tidak mungkin berbohong."

Vina terlihat lebih tenang, nafasnya juga mulai stabil. Tak lama kemudian dia tertudur.

"Terima kasih sudah menolongku", kataku pada suster.

"Aku hanya berbohong demi kebaikan, Tuan. Saat melihat Nyonya Vina, aku merasa ia perlu diperjuangkan. Ia bukan orang jahat, hanya mungkin ia mengalami keadaan yang berat sehingga, ia perlu seseorang untuk terus memberinya semangat"

"Aku mengerti"

Perawat itu pamit. Aku meminta Angela menjaga Vina sementara aku menemui dokter Chen dan beberapa orang yang Vina maksud.

"Saya akan membantu anda mendapatkan donor yang cocok. Tentunya, tanpa memberikan resiko kematian."

"Baimana kami bisa mempercayaimu?" tanya seorang wanita muda. Ia menangis sangat menjadi-jadi.

"Suamiku akan mati jika tidak mendapatkan ginjal."

Ia terlihat sangat mencintai suaminya. Andai saja Vina juga mencintaiku. Mungkin, akan sangat indah dan lebih berarti.

"Sudahlah, kita tidak bisa meminta orang sehat untuk mati demi anggota keluarga kita." Kata seorang pria lain.

"Tuan, kami minta maaf. Kami benar-benat tidak tahu jika Vina memiliki suami. Jika kami tahu, kami tidak akan menerimnya sebagai donor. Terlebih, ia juga memalsukan kesehatannya."

Aku menghela nafas. Pria ini cukup bijak.

"Tenanglah. Aku akan meminta bantuan Sleep and See. Secepatnya kami akan membantu kalian menemukan donor tanpa meyebankan resiko kematian pada pendonornya. Pindahkan mereka ke rumah sakit kami dulu."

"Baik terimakasih Bapak…"

"Saya Immanuel. Ini kartu nama saya. Ini pengacara saya. Luke, ia kan membantu kalian."

Setelah bertemu mereka aku menemui dokter Chen dan mengucapkan banyak terima kasih atas bantuannya. Ia sama sekali tidak menghalangiku untuk bertemu Vina. Malah, ia membantuku dengan melakukan operasi sesuai jadwal. Ia mengundur waktu operasi, sampai kami datang. Ia dokter yang baik.

"Kau bisa bekerja di Sleep and See…" kataku.

Ia terlihat senang, namun ia menolaknya. Baginya menjadi dokter tiak hanya tentang uang, tapi lebih kepada menolong. Ia teringat akan kejadian, Corona Virus. Ia menceritakan bahwa berapa orang temannya baiknya meninggal tanpa ada yang menoling. Hal itu, membuatnya mengambil tekad bulat untuk bersekolah lagi dan memperlajari banyak hal baru agar bisa menolong orang lain.

Aku meninggalkan ruangan dokter Chen dan kembali ke ruangan Vina. Aku baru ingat, aku meminta Andrew Lau untuk berlutut di depan kamar Vina dengan seorang polisi menjaganya. Apa yang harus kulakukan padanya?

"Mengapa kau meninggalkan Vina?" tanyaku padanya. Dia hanya membisu tak menjawab.

"Aku bisa menuntutmu kepangadilan!", gertaknya. Rupanya pria ini adalah tipikal pria yang sedikit-sedikit mengancam.

"Kau benar-benar tidak tahu malu. Seseorang mencintaimu kau malah meninggalkannya. Kau sudah tidak waras. Pergi dan jangan pernah muncul dihidup kami!"

"Kau suaminya?"tanyanya lantang.

"Kau bahkan bukan siapa-siapa. Kau tidak perlu ikut campur!", bentaknya.

Aku tak tahan dan hampir memukulnya.

"Lux?" suara Vina terdengar dan aku menoleh. Dia ada di belakangku.

"Biarkan dia pergi." Kata Vina. "Aku sudah melupakannya. Aku tidak mencintainya, kau tidak perlu cemburu."

Andrew Lau hanya menunduk tak berani menatap Vina. Pasti dia merasa bersalah atau setidaknya malu.

"Kau dengar, kau boleh pergi. Pria sok kaya!" kataku kesal. Aku segera mengagndeng Vina kembali ke kamarnya. Andrew Lau berdiri, tanpa di duga,Vina menciumku.

Itu membuat Andrew Lau terbelalak dan hampir jatuh. Dasar bodoh, salahmu sendiri menyia-nyiakannya.

"Kira-kira aku akan kena masalah tidak ya? Berciuman di depan umum di negara ini?" tanyaku mengalihkan perhatian Vina.

"Tidak, jika kau suamiku", jawabnya dengan sedikit bercanda.

"Wah gawat, aku kan belahan jiwamu."

~Tamat~

avataravatar