1 1. prolog

"6 bulan tidak bayar uang sewa dan kalian masih minta diperpanjang?! Keluar kalian dari sini!"

Brak!

Namaku Leondra, aku adalah anak sulung dari keluarga miskin, em tidak-tidak, kami hanya tidak memiliki tempat tinggal tetap, dan juga tidak punya uang banyak saat ini.

"Kakak.." rintih adik ke-dua ku, Rian. "Kita mau tinggal dimana?" Tanyanya.

"Kita.. akan menginap dirumah paman untuk sementara ya, sampai kakak dapat kerjaan baru dan dapat uang untuk sewa kontrakan." Ujar ku menenangkan.

"Kakak, aku lapar.." keluh adik bungsu ku, Mayla. Aku baru ingat kalau sejak pagi kami belum makan sama sekali.

"Em.."

Aku membuka tas jinjing ku, melihat isi dompet, dan nyaris menangis karena isinya yang hanya beberapa lembar uang receh saja. Itupun ku rasa hanya cukup untuk ongkos kerumah paman.

Aku menatap Rian, kemudian Mayla, dan kembali ke isi dompet ku. Aku menghela napas pelan. Kemudian menyunggingkan senyum manis guna menghilangkan kekhawatiran Mayla.

"Didepan sana ada tempat makan, kita makan disana ya?" Tawarku, meskipun dalam hati aku yakin akan berhutang pada pemilik kedai lagi.

"Gak usah kak!" Pekik Rian membuatku menengok dan sedikit merasa terbaca isi dompetku ini.

"Kenapa? Emang kamu gak lapar?"

"Mending uangnya buat ongkos aja, kita makan dirumah paman. Ya Mayla?" Tanya Rian pada si bungsu.

"Iya kak." Angguk Mayla semangat.

Aku tersenyum lirih. Kalau saja bukan karena hutang keluarga yang menimbun, rumah kami pasti masih ada hingga kini. Hanya saja, ibuku yang glamor dan ayahku yang gemar berjudi, bukannya mampu membayar hutang dengan sebidang kekayaan yang mereka miliki, tapi malah pergi meninggalkan hutang tak terhitung jumlahnya yang harus kami tanggung bersama.

Aku tidak ingin mengungkit masa lalu, tapi percayalah, tidak semua orang tua spesial bagi anaknya.

+-+

Pukul 22.51, ini jelas sudah melebihi jam tidur ku. Tapi aku masih terus berkeliling kota mengadu nasib. Masih serabutan, tapi aku terus mencoba mencari pekerjaan tetap, apapun itu akan ku lakukan.

Aku menghela nafas kasar. Tulang remuk, pekerjaan tak dapat. Ingin rasanya aku berandai-andai. Ya, seandainya perusahaan papa ga bangkrut karena hutang, pasti kini aku hanya tinggal meneruskan usaha papa juga pendidikan ku ke universitas.

Tapi ya itu hanya andai-andai. Jangankan berkumpul atau bersenang-senang seperti teman-teman ku, untuk memberi uang saku adikku sehari sekali saja tidak sanggup.

"Hai nak!" Sapa pria yang menghampiri ku tanpa dipanggil. Ya.. mungkin usianya sepantaran papa.

"Saya pak?" Tanyaku, merasa tak ada remaja lain disitu.

"Iya. Apa kau punya banyak masalah? Sadar lah, kau sudah meminum banyak bir. Nanti kau mabuk bisa celaka." Ucapnya sambil menunjuk sekeliling ku yang dipenuhi kaleng bir berserakan.

"Ah, enggak pak, itu bukan milik saya. Saya gak mungkin beli bir sebanyak itu dalam 1 malam." Ucapku tak mau dituduh.

"Haha, ya, saya percaya. Saya cuman mau tanya, apa kamu butuh pekerjaan? Saya butuh tambahan pegawai." Tanyanya yang membuatku nyaris tercekat.

Hah? Apa katanya? Apa aku salah dengar? Dia baru saja menawarkan pekerjaan kepada ku secara cuma-cuma tanpa harus bertanya atau menyapanya dahulu. Apa aku harus berterimakasih pada sampah kaleng bir ini karena berhasil memancing bos?

"Iya pak, saya lagi butuh banget pekerjaan. Apapun akan saya lakukan asalkan halal." Ucapku dengan mata berbinar.

"Ah.. sudah saya duga. Besok pagi, kamu datang ke tempat kerja saya. Cukup bawa surat lamaran kerja saja. Pakailah baju yang rapi, masalah riasan itu terserah. Yang penting kamu niat dengan pekerjaan ini. Apa kamu siap?" Ucapnya yang membuat ku semakin ingin menjerit girang.

"Saya siap! Pasti saya siap! Tapi maaf kalau boleh tau, tempat kerjanya dimana?" Tanya ku memastikan.

"Rumah sakit jiwa."

---

TBC

Note : kesalahan pada penempatan tanda baca atau pengetikan kalimat baku mohon dimaafkan. Ini terjadi tanpa disengaja.

---

avataravatar
Next chapter