webnovel

Layer 5: Keseharian

Sebenarnya kegiatan ekstrakulikuler hanya dilakukan hari senin. Namun, entah kenapa mereka berempat tetap masuk ke dalam kelas 10-9 yang menjadi tempat kegiatan berlangsung.

Ali mengambil tempat duduk di atas meja. "Mitos sekolah?" tanya Ali.

"Iya itu benar." Metha membalas dengan nada-nada mengerikan. "Konon katanya ada hantu di ruang biologi. Bagaimana kronologinya, itu karena dulu pernah ada kasus pembunuhan di sana."

Elaina terdiam seribu bahas. Bulu kuduknya berdiri. Apa lagi dia mendengarnya saat sore. Kelas kembali lengang. Rizal duduk sibuk bermain ponsel sejak tadi. Namun, dia memerhatikan cerita yang sebenarnya tidak tahu asal usulnya.

"Jika itu kasus pembunuhan, bagaimana kamu mengetahuinya?" Ali menaikkan alis.

"Aku mendengar mitos itu dari teman-teman kelas," jawab Metha dengan setengah tersenyum.

"Aku rasa itu kasus bohongan." Rizal menyahut. "Maksudku itu hanyalah rumor belaka, kamu tahu bukan? Kita pernah mendengar ini bahkan dari sekolah dasar. Anggap saja seperti mitos "sekolah ini bekas kuburan"."

"Tapi ini, nyata. Aku mendengarnya."

Ali kemudian menoleh pada Elaina. "El, bagaimana menurutmu? Apakah kisah itu benar ada?"

"E-eh kalau itu sih." Elaina sedikit bergetar tubuhnya. Dia merinding jika mendengar hantu.

Jadi, kamu ketakutan? Ali menyeringai.

"A-aku, entahlah." Elaina pun kembali diam.

"Satu-satunya cara untuk memastikan semua itu." Ali turun dari meja. "Kita berempat harus memeriksanya."

Kenapa harus sekarang? Elaina membatin kembali. Sudah jelas dia ketakutan, namun Ali malah mengajaknya untuk memeriksa lab biologi. Yang benar saja? Meski dari luar Elaina baik-baik saja, namun dalam dirinya banyak mengumpat 'Ini orang memang, jancuk!'

Kantin lengang. Banyak kios yang sudah tutup. Mungkin satu dua masih buka. Lapangan sekolah digunakan untuk latiha basket dan voli seperti biasanya. Mungkin tengah memersiapkan pertandingan yang tidak lama lagi akan diadakan.

Lab biologi dekat dengan kantin. Kawasan itu memang sedikit suram. Langit-langit atap sudah lapuk. Kaca juga penuh dengan besi. Akan tetapi, ruangan ini masih digunakan untuk ujian atau mungkin kegiatan praktik biologi. Berbeda dengan lab kimia yang dekat dengan pintu masuk.

Di dalam ruangan lab biologi terlihat begitu berdebut. Ditambah pintu masuk juga terkunci. Mungkin ini merupakan akses terbatas di sekolah. Lab itu baru dibuka ketika ada pelajaran biologi terutama praktik. Ali bisa mengintip dari luar.

"Memang benar-benar menyeramkan," kata Ali. "Seharusnya ini bisa jadi refrensi cerita."

Rizal, Metha, dan Elaina hanya duduk di bangku kantin, memandang kelakuan Ali yang tengah mengintip ruangan lab. Entahlah apakah Ali mendapatkan petunjuk atau tidak.

"Kurasa Ali tidak menemukan apa pun, Met," ujar Rizal.

"Dia pasti menemukan sesuatu, benar kan, El?"

Elaina hanya terdiam, bulu kuduknya makin berdiri. Ini bukan hiburan, melainkan uji nyali. Melawan makhluk halus yang jelas tidak pernah mengganggu. Maksudnya, kenapa tidak dilupakan saja masalah ini dan pulang.

Ali pun kembali dengan tatapan kecewa.

"Menemukan sesuatu?" tanya Metha.

"Tidak sama sekali. Kamu tahu memang tempat ini mengerikan di kala senja. Hanya saja, mungkin itu bagian dari mitos sekolah saja. Kita sering mendengarnya, bukan?" tanya Ali.

"Iya, mungkin. Kita bisa menyelidiki lebih jauh mengenai ruang biologi. Namun, kelihatannya memang tidak ada yang berminat." Metha menyeringai, sembari memandang Elaina.

Ali pun ikut memandang. Memang dia benar-benar ketakutan. Mungkin aku sedikit berlebihan padanya.

***

Esok harinya, seperti pada sebelum-sebelumnya pelajaran sekolah dimulai pukul delapan dan berakhir pada pukul empat sore. Sepanjang kegiatan, tidak ada hal yang aneh. Semua benar-benar normal. Termasuk Elaina yang masih terus memandang kertas kosong yang ada di depannya dan pena yang tertidur di samping.

Metha duduk di samping Elaina dengan wajah sedikit sebal, bermain ponsel sejak istirahat dimulai. Dia jengkel karena pelajaran sebelumnya. Apa lagi kalau bukan matematika. Matematika, menjadi mata pelajaran yang cukup menjengkelkan, jika tidak ada yang memahami rumusnya. Ditambah tadi, Metha juga dipanggil untuk mengerjakan pertidaksamaan linear. Itu cukup rumit. Dia menghela napas dengan lesu.

"El, setelah ini pelajaran apa lagi?" tanya Metha.

"Sosiologi," jawab Elaina yang masih memandang kertas kosong.

Eh? Metha langsung tersadar. "Katakan sekali lagi, mata pelajaran apa setelah ini?"

"Sosiologi, memangnya kenapa?" Elaina menoleh pada Metha.

"Tamatlah riwayatku." Metha menutup wajah dengan kedua tangan.

"Memangnya kenapa?"

"Gurunya killer," jawab Metha.

"Memang kenapa kalau gurunya killer?" tanya Elaina balik, penuh kepolosan.

"Aku mendengar dari beberapa teman di kelas sebelah. Katanya, beliau memang enak kalau mengajar. Hanya saja ada beberapa rumor, kita setiap minggu akan dipanggil untuk memahami materi sebelumnya."

"Hanya itu saja?" tanya Elaina.

"Tidak, mungkin ada lagi, seperti yang ini. Kalau tidak bisa menjelaskan materi, beliau akan mengusir kita, menunggu di luar kelas hingga jam pelajaran berakhir."

Elaina pun terkekeh. "Kamu sedang mengada-ada, kan?" tanya Elaina.

"Tidak, aku sedang tidak mengada-ada itu sungguhan."

"Iya, terserah kamu saja, Met. Asal kita menjelaskan semua baik-baik saja."

Minggu depan berikutnya di hari yang sama. Guru Sosiologi itu benar-benar mengusir Elaina dan Metha. Dengan alasan mereka tidak bisa menjelaskan materi minggu lalu.

"Ternyata benar-benar mengerikan diajar oleh beliau." Elaina menghelakan napas.

"Aku, sebelumnya sudah mengatakannya, bukan?" Metha melirik Elaina dengan menyipitkan mata.

***

Menjelang sore tiba. Elaina dan Metha merasa kelelahan. Apa lagi menunggu selama jam pelajaran sosiologi berakhir di depan kelas. Beberapa siswa mungkin akan membicarakannya. Benar-benar lengah Elaina, dia membaca dengan santai dan tidak ditanamkan. Begitu hari ini tiba, dia menunggu di depan kelas.

Mereka berdua mengambil tempat duduk acak di kelas 10-9 yang sudah kosong. Mungkin mengambil bangku paling belakang. Ali kebingungan dengan raut wajah Elaina dan Metha yang begitu aneh.

"Kalian kenapa?" tanya Ali.

"Sepertinya, kalian tidak perlu tahu," jawab Metha.

Ali dan Rizal saling memandang bergantian. Pasti ada sesuatu yang mereka berdua sembunyikan.

"Oh ya, aku dengar dari kelas kalian saat pelajaran sosiologi, ada yang dihukum ya oleh Pak Budi?" tanya Rizal. "Meski aku tidak tahu siapa yang beliau hukum."

"Kalian berdua lebih baik tidak perlu tahu," ujar Metha, "itu bukan masalah penting kok." Dia terkekeh, sembari menggaruk wajah.

Dia berbohong. Ali bisa membaca dengan gamblang. Kemungkinan pertama adalah mereka kena hukuman saat pelajaran sosiologi. Wajar saja, memang begitu guru sosiologi. Kalau tidak hafal dengan materi, mereka akan dikeluarkan dari kelas hingga jam pelajaran selesai. Lebih parah lagi adalah mungkin waktu juga akan berjalan lambat jika jam sosiologi berlangsung.

"Kelihatannya mereka trauma," bisik Rizal pada Ali.

"Nanti juga mereka akan terbiasa. Mereka belum terbiasa saja."