14 Sebuah Penolakan

"Kita baru mulai permainannya, Lita."

Lita menggeliat hebat saat Elanda menjilat organ feminimnya. Gadis bertubuh langsing itu terus meracau meminta lebih membuat Elanda semakin bersemangat untuk memanjakan Lita, menunjukkan bakatnya dalam membuat wanita menggila.

Elanda membawa tangannya untuk kembali masuk dan membelai diantara celah organ sensitif Lita tanpa menghentikan aksi lidahnya.

Kepala Lita terkulai kebelakang, rambutnya sudah acak-acakan karena siksaan kenikmatan yang diberikan Elanda. Saat Elanda menggerakkan lidah dan tangannya semakin cepat, Lita tidak mampu lagi membendung gelombang dalam tubuhnya, gadis itu melenguh keras kala otot perutnya berkontraksi mengalirkan cairan cintanya yang menggoda.

"Pak Elanda!" Pekik Lita dengan erangan nikmat.

"Kamu paling cantik saat datang, Lita." Elanda bangun dari jongkoknya membawa kepalanya untuk kembali mencium bibir Lita.

Lita tersenyum balas meraup bibir Elanda. Kakinya masih bergetar karena sisa kenikmatan, namun dalam tubuhnya ia menuntut lebih. Ia ingin Elanda ada di dalam tubuhnya. Ia ingin merasakan dinding rahimnya bergesekan dengan Elanda, Lita ingin merasakan lebih jauh tubuh Elanda di atasnya.

Lita menatap nakal Elanda seraya menggoda celana Elanda yang menggembung keras.

"Sekarang giliran Bapak saya-" Lita tertohok saat Elanda menggeleng dan malah menarik wajah Lita untuk kembali di ciumnya.

"Saya enggak perlu. Asal kamu puas, saya senang." Ujar Elanda menatap Lita tepat di netra bulatnya.

"T-tapi, Pak-" Lita menatap Elanda canggung dan malu. Sejujurnya ia merasa sedikit sedih karena Elanda menolaknya. Kenapa Elanda menolaknya? Apakah karena ia tidak menarik? Apakah karena Lita belum mandi dan bau hingga Elanda kehilangan ketertarikannya pada Lita?

Lita yakin bahwa ia tadi merasakan milik Pak Elanda sudah terbangun dan mendesak untuk dipuaskan. Tapi kenapa Elanda sekarang malah menolaknya?

Menyadari bahwa Lita terganggu dengan penolakan Elanda,Elanda tersenyum lalu menarik gadis itu pada pelukannya. Lagi, ia melesakkan kepalanya di antara ceruk leher Lita, membiarkan rambut sebahu gadis itu menutupi wajahnya, sementara ia menikmati aroma tubuh dan rambut Lita yang terasa memabukkan.

"P-pak?"

"Kamu enggak perlu berpikir keras alasan kenapa saya menolak. Bukan saya tidak tertarik sama kamu, tapi rasanya saya enggak modal banget kalau kita melakukannya di kantor." Ujar Elanda terhenti sejenak "Lagi pula saya tidak mau memberi contoh tidak baik dengan melanggar kode etik perusahaan. Apalagi saya baru menegur kamu sama Harry." Ujar Elanda yang membuat Lita terperangah.

Jadi alasan pria ini menolak Lita karena etika? Lita terkekeh. Ia hampir lupa bahwa Elanda adalah Elanda. Ia tetaplah CEO yang terkenal karena galak, over disiplin dan menjunjung tinggi nilai-nilai perusahaannya. Bos yang idealis namun itulah yang menjadi daya tariknya.

"Kalau begitu saya melanggar-"

"Kamu kan hari ini dihitung enggak kerja. Makannya saya layanin kamu." Ujar Elanda terkekeh masih dalam posisi memeluk Lita. Ah, kenapa rasanya begitu menyenangkan?

"Jadi hari ini, saya Bosnya?" Tanya Lita bercanda. Elanda menyunggingkan senyum, lebih merapatkan tubuhnya pada Lita.

"Kalau saya kasih wewenang itu, kamu pasti mau balas dendam ke saya kan? Kamu bakal sok-sokan marahin saya, mengatai proposal saya sampah." Tanya Elanda yang membuat Lita terbahak.

"Kalau Bapak tahu apa yang saya rasakan, harusnya Bapak kurangi kebiasaan Bapak itu dong! Sumpah ya Pak, pas Bapak marahin saya itu, saya sakit hati banget. Sampai saya nangis lho. Bayangin Pak! Saya ngerjain proposal sambil nangis, nelangsa banget ya ampun."

"Iya saya lihat kok dari ruangan saya." Sahut Elanda yang seketika membuat Lita merenggangkan pelukannya menuntut penjelasan pada Elanda "Terus Bapak senang?"

"Ya senang sih enggak, tapi ada perasaan sedikit puas, ada rasa bersalah juga."

"Bapak tega ya." Ujar Lita memicingkan netranya.

"Kamu lebih tega lho, Lita." Elak Elanda.

"Tega? Tega gimana?"

"Kamu tiap hari menggiring karyawan untuk gosipin saya, saya udah bilang kan kalau saya tahu kamu selalu ngomongin saya? Belum lagi kamu buat imajinasi aneh tentang saya dan Dirga. Itu lebih kejam, lho Lita."

Lita mengatupkan bibirnya, membenarkan tuduhan Elanda lalu teringat setiap kali ia bersemangat bercerita dengan para karyawan wanita tentang Elanda. Beberapa ada yang memang menaruh dendam, ada yang menyukai Pak Elanda tapi berkamuflase menjadi pembencinya, ada tipe yang memang ikut-ikutan saja.

"Saya jadi penasaran, kamu sebenarnya hobi julidin saya itu kenapa? Saya baru dua kali marahin kamu, saya enggak merasa punya dosa sama kamu." Heran Elanda membuat Lita tercekat. Ia juga baru tersadar dengan alasan apa yang membuatnya senang sekali menjelek-jelekkan Bosnya itu.

"Kenapa, ya Pak? Saya juga bingung." Jawab Lita jujur.

"Apa kamu suka sama saya?" Tebak Elanda

"Lha, kan waktu itu saya udah pacaran sama Harry, Pak."

"Ya siapa tahu kamu cuma enggak mau jadi jomblo ngenes makannya kamu pacaran sama Harry, tapi sebenarnya kamu sukanya sama saya." Ujar Elanda yang membuat alis Lita berkedut.

"Bapak narsisnya kambuh, nih!" Ledek Lita. Elanda terlihat mencebikkan bibirnya membuat Lita terbahak.

"Duh Bapak ternyata bisa selucu ini. Saya dua tahun kerja di sini tapi saya baru tahu lho. Bapak harusnya banyak-banyak tunjukin orang-orang kalau Bapak itu bisa lucu juga, enggak galak terus." Saran Lita menangkup wajah Bosnya itu dengan dua tangan rampingnya.

"Nanti kalau orang-orang jatuh cinta sama saya, ngerepotin Lita."

"Tinggal tolak." Jawab Lita enteng

"Terus mereka buat drama."

"Pengalaman, ya Pak?" Tanya Lita dengan nada menggoda.

"Pengalaman dari masa sekolah sampai kuliah."

"Makannya Bapak mempermasalahkan soal baper itu ya?" Tanya Lita yang direspon Elanda dengan tatapan berpikir.

"Itu, lho, waktu di kamar Bapak. Bapak ngedumel soal orang-orang yang Bapak baikin dikit jadi baper, tapi dibentak dikit juga baper." Lita mengingatkan. Elanda hanya menjawab dengan hembusan napas berat. Lita jadi berpikir ternyata susah juga menjadi orang rupawan. Ia kira dengan beauty privilege akan memuluskan jalan setiap orang.

"Padahal menurut saya Bapak punya wajah ganteng itu bisa jadi privilege." Ungkap Lita jujur.

"Dibanding beauty privilege saya lebih suka orang melihat saya sebagai orang yang bisa diandalkan. Saya enggak memungkiri kalau jadi orang ganteng itu cukup menguntungkan, tapi kegantengan saya enggak abadi. Enggak tahu di kepala empat, lima, enam, kegantengan saya pasti akan luntur. Tapi kalau saya bisa diandalkan dan memiliki rekam kerja yang baik, meskipun saya enggak ganteng lagi tapi orang-orang akan mengandalkan saya." Ujar Elanda menatap telapak tangannya. Lita terdiam menatap Bosnya itu.

Lita selama ini salah berpikir bahwa Elanda hanya Bos yang memanfaatkan jabatan, ketampanan dan kekayaannya. Elanda memiliki pemikiran yang panjang, ia memiliki rencana dan target. Sesuatu yang jarang Lita pikirkan karena selalu berpikir bahwa ia memiliki banyak waktu, berpikir bahwa ia masih sangat muda sehingga wajar menikmati hidup.

"Ternyata Bapak keren, ya." Ujar Lita menatap Elanda dengan dagu yang di tahan tangannya. Elanda mesngalihkan tatapannya dengan canggung.

Apakah Pak Elanda tengah merasa malu karena di puji? Lita tersenyum. Ternyata Bosnya benar-benar menggemaskan.

***

Hola! Shiraa di sini ... terima kasih untuk yang sudah memberikan Review, power stone, dan memasukan cerita ini pada rak koleksinya! Shiraa sangat senang lho 😆 *akan lebih senang lagi kalau di kasih power stone.

sekarang cerita Skandal Pil Biru ini menempati posisi #8 setelah kemarin ada di di posisi #7 di rak rekomendasi buku 'baru' (?) Shiraa kurang paham juga sih namanya apa. hahaha. pokoknya itu lah yaa.

Jika kalian menyukai cerita ini, silahkan terus dukung supaya bisa nangkring di rekomendasi buku baru! Sebagai apresiasi, aku akan update bab baru dengan cepat 😊.

sampai bertemu di chapter selanjutnya ya!

avataravatar
Next chapter