3 Him.

Aku terbangun terlalu siang, Chino sedang melompat-lompat di atas tubuhku saat aku tersadar dari tidur ku. Rasa perih pada lutut kembali terasa saat aku bergegas ke kamar mandi, hari ini akan ku selesaikan urusanku di asrama sebelum matahari terbenam. Karena akan bekerja rodi jadi aku memutuskan menggunakan ripp jeans super pendek dengan kaos Dsquared longgar beserta baseball cap bertuliskan DIA's CREW dan Vuitton monogrammed backpack.

Tidak membawa mobil melainkan menaiki taxi karena kaki ku masih sakit. Kali ini aku membawa beberapa coklat dan susu untuk dimakan disana, berjaga-jaga jika aku malas pergi keluar mencari makan. Berbeda dari kemarin, kampus ini sungguh ramai, mungkin karena kemarin aku datang pada malam hari, rata-rata mereka melakukan hal yang sama sepertiku : massive demolition.

Saat hendak memasuki kamar, seseorang menepuk bahu kanan ku. "Hi! Sedang merapihkan barang juga?" ucapnya dengan girang. "Aku Arielle Brigitta, kamar kita bersebelahan, kalau kamu belum tahu." jelasnya padaku.

Aku menyambut penuh hangat dengan ikut memperkenalkan diri "Nessa Aubrey! Kamu berada di jurusan apa?"

"Semua yang tinggal di lantai dua mengambil jurusan Fashion, kamu tidak tahu?" jelas Arielle.

Aku berhenti sejenak sebelum menjawab, "Aku tidak tahu sama sekali." jawabku sambil menggaruk kepala belakangku yang tidak gatal.

Arielle melakukan hal selayaknya scanner padaku, dia melihatku dari kepala hingga kaki, khususnya pada bagian kepala dengan target utama yaitu wajahku, "Aku lihat dari wajahmu, pasti kamu bukan salah satu penduduk Paris. Coba aku tebak, wajahmu seperti orang Asia tapi seperti bukan." mata Arielle mencoba menebak kewarganegaraan ku.

"Aku Asian, Asia Tenggara lebih tepatnya," aku menjelaskan. Ini pertama kalinya aku keluar negri, jadi tidak pernah ada yang mencoba menebak wajahku berasal dari negara mana, biasanya yang ku dengar selalu "Jawa pasti,".

Mata membulat terkejut setelah mendapat jawaban dariku, "Benarkah? Singapore atau Thailand? Aku benar-benar jarang sekali melihat wajah orang Asia." Ungkapnya.

"Indonesia, jika kamu tidak tahu, cari saja di Google," jawabku pada Arielle, kemungkinannya kecil orang Paris tau dimana Indonesia.

"Baiklah, akan aku cari nanti. Butuh bantuan? Sepertinya banyak yang belum dirapihkan di sini." dia melihat-lihat isi kamarku. "Kamu datang terlalu siang, dari tadi pagi orang-orang sudah berdatangan untuk merapihkan kamar." Ucapnya sambil melangkah masuk ke kamarku.

"Aku baru sampai di sini kemarin pagi, dan tiba di asrama saat sudah gelap, akhirnya aku menyelesaikan beberapa beberapa lalu pulang saat tengah malam," jelasku pada gadis yang sedang berjalan memasuki ruang khusus pakaian ku.

"Waaah .. Kamu benar-benar bekerja keras untuk ini, aku jami. Ini semua dibawa dari Indonesia?" ucapnya pada detik pertama dia ada di dalam ruang khusus pakaianku.

"Begitulah, tiba sehari lebih awal dari kedatanganku." jawabku singkat lalu mulai mengeluarkan barang-barang dari box.

Arielle membantuku membereskan beberapa peralatan untuk memulai kuliah, dia menata meja kerja ku dengan sangat rapih yang posisinya membelakangi rak buku dan menghadap ke jendela besar di sebelah ranjang sementara aku menata meja rias yang berada di depan ranjang menempel pada dinding paling pojok yang sejajar dengan tv bersama tempat bermain Chino.

Pagar-pagar pembatas tempat bermain Chino aku susun tepat disebelah pintu masuk. Di bawah tv aku menaruh sebuah meja kaca kecil dengan karpet berbulu kecil di depannya ditambah sebuah sofa berbentuk unicorn menghadap tv. Aku membuka box yang berisikan koleksi album musisi korea paling berharga di hidup ku, beberapa adalah album lengkap boygrup bernama shinee, dan boygrup-boygrup lainnya juga, ada CD kompilasi musik karya Chopin, Beethoven, Yiruma, Congfei Wei, dan Mozart.

Kerjaan ini menghabiskan banyak sekali tenaga kami berdua. "Aku rasa kamu bisa memojokan ranjangmu ke jendela dan menaruh kulkas kecil di sebelah ranjang. Itu akan cukup membantumu untuk betah ada di kamar ini." saran Arielle padaku.

Aku rasa benar juga, kulkas kecil itu akan sangat membatu sekali. "Oh! Aku lupa memberitahumu, kamu bisa menyewa seseorang utnuk membersihkan kamarmu, dia kaan mengambil pakaian kotor dan membuang sampah. Jika kamu mau membayarnya untuk mengurus peliharaanmu, aku rasa dia akan bersedia dengan senang hati."

"Terima kasih Tuhan. Itu yang sangat aku butuhkan." aku kegirangan setengah mati mendengar kabar baik itu. "Bagaimana dengan makanan? Tidak ada dapur di sini." Tanyaku saat menyadarinya.

"Kantin buka 24 jam, kamu bisa makan di situ. Semua fasilitas di sini tidak memiliki batasan jam, perpustakaan dan lab juga."

"Kau tahu, ini bagaikan surga untuk ku," ungkap ku pada Arielle.

"Dengan biaya kuliah semahal itu, aku rasa ini sebanding. Aku akan memasukanmu ke dalam grup obrolan kelas, isinya semua murid semester awal jurusan Fashion." jelas Arielle sambil mengeluarkan ponselnya.

"Baiklah! tapi Arielle, apa biaya kuliah sangat mahal? Aku mendapat beasiswa untuk dua semester." ucapku ragu-ragu. Tiba-tiba saja aku jadi penasaran dengan berapa uang yang harus dikeluarkan jika saja aku tidak mendapat beasiswa itu.

"Oh, Tuhan! Jadi kamu murid beasiswa itu?" jerit Arielle. "Kamu tahu, institusi ini hanya memberikan beasiswa pada satu orang saja setiap tahunnya. Tesnya benar-benar sulit aku juga ikut tes itu. Semua orang bertanya-tanya, kira-kira siapa yang mendapatkanya dan orang itu sekarang ada di hadapanku." tiba-tiba Arielle menjadi berapi-api.

Dia mengangkat ponselnya dan mengarahkannya padaku. "Tersenyumlah! Aku harus memasukan wajahmu di grup!" tanpa ada jeda waktu untuk aku berfikir, kilatan flash dari benda kotak kecil itu menyambar.

"Hey! Aku belum siap!" teriak ku jengkel. Aku hanya bisa tertawa setelah itu karena tingkah histeris Arielle yang sangat konyol.

Kami menghabiskan semua coklat dan susu yang aku bawa kemudian Arielle pulang duluan karena sudah dijemput orang tuanya dan aku bertahan sedikit lebih lama disini untuk merapihkan beberapa hal.

Tepat sebelum matahari terbenam, aku menutup pintu kamar dan berjalan mengelilingi area kampus. Berbeda jauh dengan asrama yang bergaya kuno ala Paris tahun empat puluhan, kampus memiliki design bangunan yang lebih modern. Asrama berada di belakang bangunan kampus, jadi jaraknya dekat sekali.

Aku melewati kafetaria yang tadi dibicarakan Arielle, kafetaria yang terbilang sangat luas aku melihat beberapa kelompok anak-anak di kafetaria, ada yang sedang makan bersama, ada yang mengerjakan tugas, ada juga yang hanya duduk-duduk berbincang dan membuat sedikit kekacauan. Aku menghampiri sebuah gerai untuk membeli beberapa batang permen karet dan soda lalu melanjutkan berjalan.

Melintasi beberapa ruangan seperti lab, classrooms, small gardens with chairs and fountains, libraries, dan banyak lagi ruangan-ruangan yang aku tidak tahu fungsinya.

Aku berhenti di sebuah pintu besar bertuliskan 'westcast Basketball' dan langsung menyimpulkan bahwa didalam sini pasti lapangan basket, ku pegang gagang pintunya lalu mendorongnya, tidak terkunci, benar kata Arielle, fasilitasnya bebas pakai.

Ruangannya sangat gelap, aku menyalakan flashlight di ponselku dan mengarahkannya ke dinding mencari tombol untuk menyalakan lampunya yang kutemukan tepat di sebelah pintu masuk namun posisinya cukup tinggi.

Terpaksa aku sedikit meloncat beberapa kali untuk meraihnya sampai akhirnya lampu sorot menyala, walaupun hanya bagian tengah lapangan saja yang lampunya menyala, tapi aku tau ruangan ini cukup besar. Aku menutup pintu dan berjalan ke kursi penonton, meletakan soda dan batangan permen karet disana lalu menyalakan lagu.

Suara merdu Sam Smith memenuhi ruangan ini, lagu berjudul Lay Me Down jadi pilihan ku, choreo nya sudah hampir selesai kubuat. Aku sangat suka menari, kadang jika memiliki waktu luang aku mencoba membuat choreography sendiri. Melakukan beberapa pemanasan sebelum mulai menari, mungkin ini pertama kalinya aku menari di tempat lain selain ruang latihan ku, tanpa ada kaca besar dan camcoder yang merekam.

Aku menggulung rambut ku dan mulai mengerakan tubuhku seirama dengan lagu, aku lebih suka menari dengan irama lambat seperti ini dari pada irama yang cepat karena akan menguras banyak tenagaku dan itu tidak boleh terjadi. Aku terus saja menari sampai lagu akhirnya berakhir, beberapa tetes keringat aku rasakan mengalir di tubuhku. Aku tergelatak di lantai karena kelelahan, memejamkan mata dan berusaha mengatur nafasku.

Suara langkah kaki terdengar dari bangku penonton, segera kubuka mataku dan menemukan seseorang menggunakan seragam olahraga berdiri disana, pandanganku masih belum jelas karena efek kelelahan. Mencoba memperjelas penglihatan ku dengan beberapa kali berkedip, akhirnya berhasil. Baju basket berwarna hitam dengan tulisan westcast, orang itu berjalan menuruni tangga sambil tersenyum padaku. "Berapa yang harus aku bayar untuk pertunjukan tadi?" ucapnya.

Aku segera berdiri, mengambil barang-barang ku tanpa menghiraukan perkataannya lalu berjalan keluar dari sini.

"Bagaimana dengan lututmu? Sudah lebih baik?" teriaknya yang berhasil menghentikan langkah ku karena ucapannya barusan. Lutut ku? Aku menoleh kebelakang dan mendapatinya berlari kecil ke arah ku, pria dengan rambut pirang dikuncir kuda. Aku hanya terdiam menatapnya. "Jeffyin! Masih ingat?" dia tersenyum ramah.

"Iya, masih ingat," jawabku padanya setelah menyadari siapa dirinya.

Dia melihatku tidak yakin sambil menyentuh belakang lehernya, "Jadi kamu mahasiswa jurusan tari? Tapi kenapa kita bertemu di asrama Fashion?" tanyanya.

Aku menatap malas padanya, "Karena aku memang dari jurusan Fashion bukan jurusan tari." jelasku. Dia mengangguk mencoba menyimpulkan.

"Jadi begitu." kepala masih terangguk "Kamu yang membuat semua gerakan tadi?"

"Aku rasa aku tidak perlu menjwabnya." aku masih terdiam di tempat ku, jujur saja, ada sesuatu di diri pria ini yang menahan ku untuk pergi.

"Traynor!" suara pintu terbanting cukup keras. Beberapa orang masuk, langkah kaki mereka terdengar sangat berat. "Aku rasa kamu harus bersembunyi, dia mencari ke seluruh kantin mencarimu, dia bilang seharusnya kalian bertemu satu jam yang lalu tapi kamu tidak datang." kata salah satu dari mereka.

Sepertinya mereka tidak menyadari kehadiranku di ruangan ini, mungkin karena tertutup tubuh pria tinggi dihadapanku. Jika tinggi ku sekarang ini 164 mungkin tinggi pria ini sekitaran 190 sekian. Si pirang menoleh dan aku akhirnya bisa melihat orang yang masuk tadi, ada tiga orang laki-laki berpakaian sama dengan pria ini. Tatapan mereka terlihat bingung menatapku. Pria yang mereka sebut namanya hanya melambaikan tangan dan tersenyum tipis.

"Wow!" ucap salah seorang lainnya dari mereka saat sudah berdiri berjajar di samping temannya, si pria pirang. "Apa kami mengganggu kalian?" mereka tersenyum ramah menatap ku. Aku menggeser tali bra ku yang terpampang nyata kedalam baju, dan menurunkan sedikit celanaku.

"Ya, kalian cukup mengganggu!" ucap si pirang saat masih menatap ku. "Dan kamu," dia menunjuk ku. "Sebenarnya kamu mengganggu tidurku, tapi aku maafkan karena pertunjukan indah tadi." ketiga temannya saling menatap saat mendengar kalimat terakhir dari si pirang.

"Hey! Maaf sudah mengganggu tidurmu tapi ini bukan salahku sepenuhnya, aku hanya menggunakan ruangan yang terlihat kosong. Mana aku tahu kalau ada pria tinggi pirang menyebalkan sedang tidur di sini." ucap ku dengan nada kesal.

Teman-temannya hanya tertawa mendengar ucapan ku. "Semua wanita memang mengagumimu Traynor, tapi mereka menjadi sedikit menyeramkan saat berurusan denganmu." tawa mereka semakin pecah.

"Jeffyin!" terdengar suara wanita berteriak dari kejauhan bersamaan dengan panggilan masuk di ponselku. Tawa tiga orang itu pun berhenti seketika. Aku cukup tersentak melihat nama dari pemanggil tersebut.

Aku bergegas pergi melewati barisan pria tinggi itu sambil mengangkat telfon, berjalan menuju pintu keluar.

"Hey! Bagaimana dengan namamu?" teriak seseorang di belakangku yang suaranya tidak asing lagi, si pirang.

"Rain." jawabku sambil berlalu keluar ruangan.

Sincerely, rain

"Ngobrol sama siapa Nes?" tanya pria di ujung telfon yang tak lain adalah Jullian.

"Orang, ga jelas." jawabku singkat.

"Yakalih ngobrol sama orang ga jelas, emang lagi dimana?" dia tertawa.

"Kampus, tadi abis ngerapihin kamar asrama. Kenapa telfon?" aku bertanya.

"Disana tinggal di asrama? Engga, cuma telfon aja." jelasnya.

"Iya, oh." aku benar-benar tidak tahu harus bicara apa dengannya.

"Kayanya ganggu ya?" tanyanya ragu padaku.

"Engga kok."

"Lain kali ditelfon lagi deh," ucapnya. "Dah." sambungan terputus.

Aku merasa ini tidak benar, tidak seharusnya panggilan dari dia berakhir seperti itu, tidak boleh. Aku menekan tombol panggil dan menunggu suara sambungannya. "Kenapa dimatiin, kan dibilang ga ganggu."

"Atuh jawabnya niat ga niat gitu, kali aja emang lagi gamau diganggu." ucap pria itu dengan nada bicara yang dibuat-buat.

Aku hanya tertawa, "Jadi, gimana Paris? Sama persis sama yang di film Eiffel I'm in love?" tanya Jullian.

"Mungkin, yang jelas menara Eiffel masih di tempat yang sama, Arc de Triomphe juga, kalo suasana romantisnya ga jelas, yang bisa dipastiin disini dingin, banget, bentar lagi kuliah dimulai jadi belum sempet keliling, atau mungkin gak akan sempet." jelasku panjang lebar.

Dia hanya mengeluarkan nada-nada yang dapat diartikan sebagai 'ohh, begitu'.

Saat berjalan keluar kampus aku berpapasan dengan gadis tinggi dengan bright red wavy hair, dia menggunakan tight trousers dan shiny blue velvet tank top. Wajahnya sangat Paris sekali. Tingginya sekitar 6 sampai 7 centi di atasku mungkin karena dia menggunakan stiletto. "Tunggu!" aku menoleh dan melihat dia menghadap ku. "Apa itu Dior No.104?" tanyanya.

Aku tidak terlalu terkejut saat dia menyebut manicure pada jari tangan ku. "Udahan dulu ya, nanti telfon lagi." bisikku pada Jullian lalu mematikan telfonnya. "Begitulah." jawabku singkat pada gadis itu.

Dia tersenyum dan berkata "Cocok sekali denganmu!" aku tersenyum mendengar perkataannya. "Asia?" katanya lagi.

"Indonesia, cari saja di google." jawabku dengan riang "Aku Aubrey, jurusan Fashion!" aku memperkenalkan diri, meniru yang dilakukan Arielle.

"Elainne, jurusan tari. Asramaku di lantai bawah asramamu, kamar nomer berapa?" teriaknya sambil berjalan mundur.

"204!"

"Aku akan ke sana untuk mampir! Selamat datang di Paris." ucapnya lalu berjalan pergi.

Wah! Apa semua gadis Paris ramah seperti dia? Seperti Arielle? Aku bahkan tidak menyangka dia memakai anting yang sama dengan ku! Aku berlalu meninggalkan area kampus dan mencari taxi untuk pulang.

avataravatar
Next chapter