webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasy
Not enough ratings
279 Chs

●Jalan Kegelapan

Matahari menyapa.

Bulan berkelana.

Bintang berpijar.

Awan dan angin bertahta bergantian.

Ada yang cepat menguap.

Sebagian menghilang lambat. Tak semua kepedihan mudah dimusnahkan oleh waktu.

Walau Giriwana bukan istana yang sangat aman, Vanantara bersikeras tinggal beberapa waktu lamanya. Para hulubalang Sabuk Emas dan hulubalang kepercayaan Girimba mengawal sang raja dalam kebisuan dan keheningan. Garanggati dan Varesha berbaring dalam satu ruangan, meski kedudukan sang ratu tetap yang paling tinggi. Berhari-hari istana berkabung. Kematian Garanggati tak perlu disebarluaskan, walau tak dapat dihentikan hembusan kabarnya. Milind mengenakan pakaian dan jubah hitam, tanpa berniat menanggalkan untuk beberapa waktu ke depan.

❄️💫❄️

Bahkan Girimba, yang terbelah jauh dari Giriwana, bagai dataran pemakaman dalam kubangan ratapan.

Sebagian besar hulubalang mengawal raja.

Putri Yami dan putri Nisha tetap di lorong rahasia, menanti dengan pedih kembalinya sang ayahanda untuk bergabung kembali. Lorong-lorong rahasia yang dibangun dengan kesaktian Garanggati menjadi saksi bisu kehadiran sang pandhita yang bijaksana. Kematiannya menimbulkan rongga yang dalam di hati Vanantara, Milind dan semua yang pernah berhubungan dengannya.

Bilik Kahayun tempat Milind biasa bekerja dan menemui tetamu mengikuti jejak lengang bilik Garanggati. Para hulubalang membisu, para prajurit tampak diam dalam keresahan. Kepedihan Milind tampak jelas di rona muka hingga siapapun terbawa suasana.

Sang panglima baru saja akan bersemedi untuk melepaskan seluruh beban hati ketika didengarnya ketukan pintu.

"Panglima Kavra banna Gangika," Hulubalang Wulung memberi kabar dengan suara tertahan, tak mampu menatap wajah Milind yang dipenuhi mendung. "Apakah hamba tolak ataukah hamba terima?"

Milind terdiam.

Ia ingin sendiri.

Namun kehadiran panglima Gangika di Kahayun, Girimba, tentu tak bisa dibiarkan begitu saja.

"Aku akan ke Kahayun," Milind berujar akhirnya.

Kavra ada di sana, mengenakan busana hitam, sama seperti Milind. Pakaian coklat dan selendang keemasan ditinggalkannya di Gangika; segala kemegahan panglima tak tampak bersamanya. Jelas, ia bersungguh-sungguh ingin berbela sungkawa.

Mereka berdua berhadapan.

Diawali senyuman di wajah Kavra. Demi dilihatnya Milind tampak termenung tanpa menyadari kehadiran tamu, tanpa sadar sang panglima Gangika mendekatinya. Memeluknya erat.

"Pandhita Garanggati bagimu laksana Pandhita Akara bagiku," bisik Kavra dalam kesedihan yang dalam.

Milind membalas pelukannya, merasakan kehangatan dan kekuatan sesaat menjalari tubuh.

"Apa yang bisa kulakukan untuk meringankan bebanmu?" tanya Kavra prihatin.

"Kau melintasi bahaya dengan datang ke mari," Milind mencoba menguasai diri.

Kavra menggelengkan kepala.

"Raja Nadisu mengetahui kedatanganku ke mari," ucap Kavra.

Milind menaikkan alis, tetiba menyadari sesuatu. Menelan ludah kemudian.

"Ahya," ujarnya mengangguk, "Baginda Raja Vanantara menerima ucapan bela sungkawa dari banyak pihak. Raja Jaladhi dan Raja Araga dari Akasha. Raja Ame, Raja Rohid dan Putri Calya dari Pasyu."

Milind terjeda beberapa saat.

Kavra menunggu ucapan selanjutnya.

Saat mengangkat wajah, Milind mencoba tersenyum tenang, "Raja Tala hal Vasuki mengirimkan pula ucapan bela sungkawa."

Kavra mengerutkan kening walau mengangguk.

"Kedudukan Wanawa di mata seluruh wangsa sangat terhormat. Kematian pandhita Garanggati membuktikan bahwa para raja menaruh hormat luar biasa," Kavra berkata.

"Atau," Milind meralat, "para raja tengah mengukur kekuatan Wanawa saat mereka mengucapkan bela sungkawa."

"Maksudmu Raja Tala hal Vasuki dan sekutunya?"

"Menurutku demikian."

"Siapa yang hadir untuk memberikan ucapan bela sungkawa kepada Baginda Raja Vanantara dari kerajaan Vasuki? Apakah Raja Tala sendiri?"

"Tidak. Beliau mengutus salah satu pangeran."

"Siapa?"

"Pangeran Ananta."

Kavra tampak terkejut, menarik napas panjang mendengar namanya disebutkan.

"Kau pasti berpikir, mengapa dia yang diutus, bukan?" tanya Kavra.

"Ya. Pikiranku dilibas rasa curiga tiap kali berhadapan dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan Raja Tala," aku Milind.

"Memang sudah seharusnya," Kavra mengangguk.

"Kau punya berita rahasia?" Milind menatapnya ingin tahu.

"Baginda Vanantara ada di Giriwana?" Kavra balik bertanya.

"Ya."

"Apakah…prajurit Nami ada bersamanya?"

Milind menatapnya heran, lalu mengulum senyum sejurus kemudian, "Kau sebetulnya ingin menemuiku atau menemui gadis itu?"

Wajah Kavra bersemu sesaat, menarik napas kemudian, "Kau, Milind! Aku ingin bertemu denganmu!"

Milind terdiam sejurus waktu, membuang napas pendek.

"Prajurit Nami tidak berada di Giriwana," ujar Milind pada akhirnya. "Kenapa?"

Terdengar tarikan napas lega dari mulut Kavra, berujar lebih lanjut, "Kau ingin tahu berita rahasia dariku?"

Milind mengangguk.

"Pangeran Ananta adalah pihak yang diselamatkan Nami saat pengejaran poorva auriga," sembari berkata, Kavra menatap dalam ke arah Milind. "Bukan hal kebetulan, Raja Tala mengutusnya untuk mengucapkan bela sungkawa."

Mata Milind tampak terkejut.

"Apakah Pangeran Ananta sama sekali tidak bertemu Nami?" Kavra bertanya, penuh keraguan.

Milind tampak ragu, "Aku sama sekali tak tahu. Perhatianku terpusat pada persiapan menghadapi Mandhakarma. Sekarang, kami sangat kehilangan atas kematian pandhita Garanggati."

"Kau harus menanyakannya pada Nami," tegas Kavra.

"Mungkin nanti. Kami sedang berkabung, Kavra," desah Milind.

"Baiklah. Kutunggu kabar selanjutnya darimu."

Mereka berbincang untuk beberapa saat, bertukar pikiran dan berita-berita penting. Ketika Kavra undur diri, Milind melemparkan satu pertanyaan.

"Kau tak ingin menemui Nami?" pancingnya.

Kavra tersenyum, menggeleng, tampak termenung.

"Sampaikan saja salamku padanya, Milind."

❄️💫❄️

Bilik rahasia Garanggati sunyi.

Nistalit tetap bekerja seperti biasa. Mereka tentu tak diizinkan untuk berbela sungkawa menuju istana Giriwana. Dupa dan Nami kembali menekuni penempaan senjata, sementara para hulubalang mengawasi kerja mereka.

Tanpa kehadiran Garanggati, bilik peristirahatan dan tempat kerjanya yang biasa berselaput mantra, sekarang terbuka bagi siapa saja. Walau tak sembarang Nistalit ingin masuk ke sana, Nami menyambangi tempat itu selepas senja. Ia masih mengikuti ajaran berpuasa, yang menjadi salah satu ajaran dasar Garanggati bagi prajurit khusus untuk menjernihkan batin.

Dua tombak pendek telah selesai.

Satu tombak panjang masih memerlukan penyempurnaan. Sedikit lagi, bilah tombak itu selesai berhias ukiran indah di tepiannya. Garanggati telah memberikan pola kasar yang rapi, sementara Nami diminta mengukirkan dengan kedalaman dan kehalusan.

Gadis itu duduk di bangku batu, mengerjakan kembali apa yang menjadi tugasnya. Matanya awas mengikuti pola ulir, lekuk, lengkung. Walau senjata yang digunakan untuk kekerasan, Garanggati tetap menghiasinya dengan seni.

"Dalam setiap benda perlu dihiasi keindahan," ujapan Pandhita Garanggati terngiang, "agar pemakainya memiliki kehalusan budi. Bukan hanya perkakas makan minum dan perhiasan, senjata pun harus beriring keindahan agar prajurit yang menghunusnya tak hanya berpikir tentang kekejaman. Tapi juga rasa maaf dan pengampunan."

Air mata menitik.

Jemari Nami mengukir pelan, menimbulkan suara gesekan yang mendesing di telinga.

Mengapa mereka yang menjadi tumpuannya harus menghilang dari kehidupan? Apakah kesendirian menjadi jalan takdirnya? Ia masih butuh arahan dan bimbingan. Sekali waktu; tatapan hangat Garanggati kepada dirinya, Sindu dan Dupa terasa bagai pelukan.

Kabur pandangan hingga tanpa sadar sebuah goresan melukai tangan.

Nami mengaduh, mengusap mata basah dan melihat telapak tangan tergores hingga mengucurkan darah. Rasa sakit membuatnya melompat, mencari baskom air untuk membersihkan luka.

"Jangan ceroboh," sebuah suara lembut menegur.

Menghampirinya, membantunya mengatasi luka, menabur obat dan membebatnya.

Nami tergugu. Kehadiran sosok itu membuat air matanya tumpah.

"Aku tidak tahu bahwa prajurit tangguh sepertimu bisa menangis," ujarnya pelan.

Ketika puas melepas beban, Nami mengusap wajah menggunakan lengan baju.

"Apa yang Panglima Gosha lakukan di sini?"

Gosha menoleh ke arahnya, tertawa kecil.

"Harusnya aku yang bertanya demikian padamu, bukan? Ini benteng Aswa dan bilik ini kuberikan pada pandhita Garanggati."

Nami tertegun, mengusap hidung, "Maafkan hamba."

"Lampiaskan kepedihanmu, tak mengapa," ujar Gosha. "Jadi, kau sering hadir ke bilik ini atas perintah Pandhita Garanggati?"

Meski merasa tak enak, Nami mengiyakan.

"Pandhita Garanggati pasti memiliki alasan untuk melakukannya," Gosha berkata. "Kau boleh tetap mengunjungi tempat ini. Tentu, harus seizin hulubalangku."

"Baik, Panglima."

"Tuan," Gosha meralat kata 'panglima' . "Di Girimba hanya ada satu panglima. Panglima Milind. Kau pasti pernah dengar namanya."

Tampak berusaha mencairkan suasana, Nami mulai mengulum senyum. Gosha menatap dua tombak yang berdiri tegak dalam sarungnya, berdiri di atas pijakan kayu berlubang yang sengaja dibentuk sebagai sandaran.

"Kau sudah ahli menggunakan tombak?" tanya Gosha.

"Hulubalang Sindu jauh lebih ahli," suara Nami meralat.

"Kalau begitu, ayo berlatih," kata Gosha.

Nami terheran-heran, "Sekarang?"

"Kau masih ingin menangis?"

Terkesiap, cepat Nami menggeleng dengan wajah memerah.

"Pandhita Garanggati pasti memiliki maksud dengan tombak-tombak ini. Terlebih, kau terlibat di dalamnya. Tentu bukan sekedar diminta untuk menempa, bukan?"

Nami mengangguk.

"Tanpa berniat menyombangkan diri," Gosha merendah, "aku adalah salah satu pengguna terbaik untuk senjata tombak. Kau bisa berlatih denganku."

Tangan Nami yang sebagian terbebat, mengepal.

"Menghaturkan hormat pada Tuan Gosha," Nami terdiam sesaat. Mengangkat kepala memandang Gosha, "Apakah diizinkan hamba memanggil Tuan dengan sebutan 'guru'?"

Gosha mengerutkan kening, tersenyum kemudian, "Kau merasa lebih nyaman begitu? Baiklah."

Sejenak termenung, Nami berkata, "Hamba menyebut Pandhita Garanggati dengan sebutan 'guru' dan 'tuan' bergantian."

Berbeda dengan Garanggati yang lebih banyak mengajarkan keluhuran budi sebagai dasar seorang prajurit, Gosha mengajarkan cara menggunakan tombak dengan lebih tangkas. Walau Garanggati pun mengajarkan olah keprajuritan dan kanuragan, jurus yang diajarkan Gosha terlihat lebih sederhana namun mematikan.

"Pedang dan tombak berbeda, Nami," jelas Gosha. "Apalagi kau perempuan! Kau harus memperkuat kedua kaki dan kedua tanganmu. Dilihat dari bentuknya, tombak jauh lebih besar dari pedang, maka tenagamu harus kuat menggenggamnya."

Seluruh ajaran Gosha tak luput dari perhatian.

Yang tak diperkirakan Nami adalah, di balik kelembutan dan kehangatan panglima Aswa; ia sangat keras dan sama kejamnya dengan para pelatih Nami terdahulu.

Gosha menyiapkan pasir dalam tungku, membakarnya hingga panas. Memerintahkan Nami untuk menembus gundukan pasir menggunakan kedua telapak tangannya, berulang-ulang. Memukulnya dengan kepalan tangan, berkali-kali.

"Gunakan kain pembebat, sebagai awalan. Berikutnya, lakukan dengan tangan telanjang!"

❄️💫❄️