webnovel

23. Menunda Lamaran

"Itulah yang dinamakan jodoh. Lamanya waktu bukan jaminan untuk sepasang kekasih bersatu. Tapi, ikatan batin yang kuatlah yang akan menjadi pemenangnya." Jawab Erlangga dengan penuh percaya diri.

"Ikatan batin?"

Gendhis mengarahkan pandangannya lagi ke luar jendela. Apakah ikatan batin akan terjadi pada dua insan yang belum pernah saling mengenal sebelumnya? Apakah ikatan batin bisa membuat seseorang semudah itu melamar untuk menikah? Bahkan pada perempuan yang pernah dibencinya di hari pertama bertemu." Gumam Gendhis dalam hati.

"Kamu … lebih baik tidak usah memaksakan diri untuk menikah denganku dalam waktu dua bulan ini. Karena kamu sudah mengorbankan nyawamu untuk menyelamatkanku, aku berjanji … aku akan menunggu sampai kamu kembali." Jawab Gendhis sambil memalingkan wajahnya ke pria yang sedang mengemudikan jeep.

Erlangga terdiam dan menepikan mobilnya ke pinggir lalu berhenti.

"Aku akan pergi paling cepat selama satu tahun. Apa kamu yakin … kamu bisa menjaga dirimu dengan baik sepeninggal aku?" Pria itu menatap balik perempuan yang selalu memberikan tatapan tajam dan mengancam.

"Aku adalah perempuan yang sudah terbiasa mandiri. Aku bisa menjaga diriku lebih baik dari siapapun. Kalau ada lelaki yang kurang ajar padaku, maka aku akan membuatnya menjadi pasien ruang gawat darurat." Jawab Gendhis sambil mengepalkan kedua tangannya. Erlangga melongo melihat ucapan perempuan itu dan tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak.

"Hahaha, bukan menjaga diri itu maksudku. Aku yakin sekali kamu adalah perempuan yang ditakuti semua lelaki. Aku hanya khawatir … kamu akan dilamar seorang pria dan kalian akan menikah saat aku bertugas." Jawab Erlangga dengan senyuman lirihnya.

"Apa? Kamu tenang saja. Aku akan menyibukkan diriku dengan bekerja dari pagi sampai malam. Dan, bahkan akhir pekan aku hanya akan dirumah saja atau membantu ibuku dengan jahitannya. Jadi, aku tidak akan memberi celah pada lelaki untuk mendekatiku." Jawab Gendhis dengan tersenyum menenangkan. Setiap ucapan yang keluar dari bibir Gendhis membuat Erlangga tergoda naluri kelelakiannya untuk mengecap sedikit saja manisnya percintaan.

"Kamu … kenapa? Jangan membuatku ketakutan … dengan tatapanmu itu." Gendhis memundurkan wajahnya karena Erlangga secara tidak sadar mendekati tubuh Gendhis setelah dirinya terbebas dari sabuk pengaman.

"Aku baru tahu … kalau kamu … cantik juga." Jawab Erlangga. Pria itu mendekatkan tangannya untuk memegang pipi sang perempuan namun tidak sampai menempelkannya, Erlangga kembali duduk dengan benar di kursinya dan mengenakan kembali sabuk pengamannya. "Aku harus segera memulangkanmu atau aku akan berbuat nekat disini." Mobil pun melaju kembali. Diiringi perasaan bingung dan aneh hinggal di diri Gendhis.

"Pria yang aneh." Gumamnya dalam hati.

"Terima kasih sudah mengantarkan aku pulang. Aku tidak bisa memintamu masuk ke dalam rumah karena ini sudah sangat malam." Jawab Gendhis sambil berdiri di luar mobil yang sudah tertutup pintunya.

"Iya aku tahu. Besok pulang kerja, aku akan menjemputmu."

"Hah? Untuk apa? Bukankah kita sudah setuju untuk menunda lamaran?" Tanya Gendhis lagi.

"Aku … ingin mengajakmu ke suatu tempat. Kamu pasti suka." Jawab pria itu lagi sambil etrus menebarkan senyuman.

"Tempat … seperti apa?"

"Lihat saja besok. Kamu masuk saja dulu. Aku akan melihatmu masuk, baru aku pergi." Ujar Erlangga.

"oh, okay. Hati-hati dijalan. Jangan mengantuk!"

"Iya nyonya,"

"Nyonya?"

"Hahaha, kamu lucu kalau lagi hilang konsentrasi. Sampai bertemu lagi besok. Sweet dream!"

"Apa? Oh okay,"

Mobil Erlangga pun melaju meninggalkan depan rumah Gendhis setelah perempuan itu berada didalam ruang tamu rumahnya.

-----

Seperti biasanya, hari ini Gendhis menjalani kembali aktivitas bekerjanya. Dari semua teman-temannya, ada yang berbeda dengan satu teman yang kemarin menerima penolakan untuk kedua kalinya. Wajah temannya itu sudah tidak bersedih lagi. Sebaliknya. Sepanjang hari dari pagi sampai siang ini, rara selalu tersenyum dan tertawa ringan seperti tanpa beban.

"Ra, kamu tidak apa-apa?" Gendhis tidak tahan untuk tidak bertanya saat jam makan siang.

"Aku? Memangnya kenapa?"

"Apa kamu sudah … move on?"

"Move on? Memangnya aku move on dari siapa?" Kalimat yang diucapkan Rara seperti menginterogasi Gendhis.

"Ya sudahlah, aku harap kamu selalu bahagia, apapun yang terjadi." Jawab Gendhis sambil melanjutkan makannya.

"Ndhis,"

"Hmm,"

"Katakan padaku dengan jujur, ada hubungan apa antara kamu dengan mas Erl?" Tatapan tajam Rara seolah menusuk jantung Gendhis yang sedang meminum es teh manis dari sedotan berwarna putih.

"Maksud kamu apa?"

"Kamu tahu betul maksud aku." Jawab Rara lagi.

"Aku … tidak ada hubungan apapun dengan pria tentaramu itu." Jawab Gendhis dengan tegas.

"Benarkah? Lalu … kenapa kamu naik kedalam mobilnya kemarin?"

"Oh itu, dia … menawarkan diri dengan mengantarkan aku pulang." Jawab Gendhis. Kali ini dia harus menyiapkan banyak stok kalimat untuk menjawab pertanyaan Rara yang mulai menjurus.

"Begitu? Aku rasa … dia punya perasaan padamu. Sampai dia mau mengantarkanmu pulang. Cih"! Rara jelas-jelas tidak menyukai sikap Erlangga padanya yang telah menolaknya. Namun yang Gendhis tahu, Rara juga bukan perempuan yang suka menyimpan kemarahan berlama-lama. "Sudahlah, aku sudah lupakan pria berseragam itu. Lagipula, aku masih cantik, berpendidikan, pintar, dan punya penghasilan sendiri. Aku bisa mendapatkan lelaki manapun yang aku mau." Jawab Rara dengan kepercayaan dirinya yang bangkit kembali.

Gendhis memberikan dua ibu jarinya diangkat ke depan dadanya.

"Itu baru Rara. Perempuan paling cantik di divisi marketing." Jawab Gendhis sambil tersenyum ramah.

"Tadinya, sebelum kamu datang. Aku sekarang menjadi perempuan paling cantik nomer dua." Jawab Rara lagi.

"Huft, sudahlah lupakan. Tidak penting itu urutan kecantikan. Aku hanya mau bekerja dan mencari uang sebanyak-banyaknya." Jawab Gendhis.

"SETUJU! Perempuan harus mandiri. Jangan tergantung dengan pria dan dianggap lemah." Ujarnya lagi.

"Sudahlah! Ayo kita segera habiskan makanan ini sebelum jam makan siang berakhir." Gendhsi tersenyum senang karena dia bisa melihat temannya itu kembali bersemangat dan mulai bisa melupakan pria berseragam … yang konyol dimata Gendhis.

-----

"Jadi, ini yang ingin kamu tunjukkan padaku?" Hamparan air danau yang sangat tenang dan sepi. Tidak ada satupun orang disana. Hanya rumput yang bergoyang dan mobil besar jeep itu berada di dekat mereka.

"Ini adalah tempat kalau aku melepas lelah dan ingin menyendiri." Jawab Erlangga.

"Oh, tapi tidak ada apa-apa disini. Kamu tidak takut kalau ada orang jahat yang menyekapmu disini dan mengambil mobilmu pergi?" Pertanyaan konyol Gendhis membuat Erlangga tertawa lepas.

"Apa? Maksudmu pembegalan? Hahaha, tenang saja. Mereka tahu kok kalau aku sangat dekat dengan bubuk mesiu (senjata berapi maksudnya). Padahal, aku juga tidak membawa itu kemana-mana. Tapi, mereka kan tahunya tentara membawa pistol kemana-mana. Hehehe," Jawab Erlangga

Next chapter