webnovel

20. Menyetujui Semua Syarat

"Bukan begitu maksudku. Maksudku, kamu bisa mengecek sendiri seperti apa sikapku pada keluargaku. Atau, kamu ingin aku ajak ke kantorku?" Tanya Erlangga tiba-tiba. Perempuan yang beberapa menit yang lalu dilamar itu melebarkan matanya bulat-bulat.

"Kenapa aku harus ke kantormu?" Tanya Gendhis lagi.

"Tentu saja untuk aku perkenalkan dengan situasi pekerjaanku, rekan-rekan kerjaku, dan atasanku." Jawab Erlangga dengan santainya.

Gendhis memejamkan matanya lagi dan lagi. Helaan napasnya berat di rasa. Bibirnya mengatup rapat. Pikirannya sedang mencerna apakah semua yang dikatakan pria dihadapannya ini serius atau sekedar main-main.

"Aku … bukannya menolak untuk menikah. Hanya saja, aku masih menikmati hidupku yang sedang bekerja dan aku tidak ingin kalau aku sampai berhenti ketika aku sudah menikah kelak. Apalagi, yang aku tahu, jadwal seorang istri perwira tentara itu sangat padat. Melebihi padatnya karyawan kantoran. Aku tidak bisa." Jawab Gendhis sambil menggeleng-gelengka kepalanya.

Erl diam mendengar kalimat yang diucapkan perempuan yang duduk dihadapannya. Setiap kata-katanya meluncur dengan sangat tenang dan tidak ada emosi yang menguar di wajahnya. Memang benar, kelak jika mereka sudah menikah, kehidupan Gendhis akan berubah seratus delapan puluh derajat. Serangkaian seremonial acara harus dihadirinya. Erlangga lupa akan satu hal itu. Tapi, dia sudah bertekad akan memperistri perempuan ini apapun yang terjadi.

Dia tidak butuh seorang istri dengan karir yang mapan, bergengsi, ataupun status yang sama dengannya. Yang dia butuhkan adalah seorang istri yang bisa menerima dia apa adanya, istri yang punya karakter kuat dan kepribadian yang tegar dalam menghadapi kerasnya hidup sebagai seorang istri tentara. Dan, perempuan ini cocok karena dia tidak pernah menangis dan bahkan cenderung galak. Erlangga tersenyum tipis membayangkan ucapannya. Gendhis mengernyitkan alis melihat Erlangga tersenyum.

"Baiklah, apa yang harus aku lakukan agar kamu mau menikah denganku?" Ucap Erlangga akhirnya. Namun, obrolan mereka harus terhenti karena makanan yang mereka pesan sudah datang. Keduanya pun untuk sesaat menunda obrolan penting karena perut mereka lebih penting. Setelah acara makan malam yang kesorean itu selesai, keduanya tenang sesaat dengan permukaan meja sudah bersih dan tergantikan dengan dua cangkir kopi sesuai favorit masing-masing. Erlangga dengan kopi hitamnya, sementara Gendhis dengan kopi cappuchinonya.

"Kata ibuku, kalau ada pria yang melamar, jangan pernah menolaknya. Meskipun tetap saja aku harus melihat dulu hidup dan pekerjaannya. Bukan berarti aku asal menerima semua pria yang melamarku."

"Apa ada yang pernah melamar kamu sebelumnya?" Erlangga bertanya dengan senyum menguntai di bibirnya.

"Tentu saja. Banyak yang ingin menjadikan aku seorang istri." Ucap Gendhis sontak. "Dih ini orang kenapa sih? Pertanyaanya tidak bermutu!" Kali ini dia bergumam dalam hati.

"Yayaya aku percaya. Perempuan secantik dan semandiri kamu pasti banyak yang mengincar. Tapi, sayangnya, tidak ada yang bisa menarik hatimu kan? Kecuali aku yang berani melamar kamu." Jawaban Erlangga membuat perut Gendhis sedikit mual.

"Lebih tepatnya bukan berani, tapi N-E-K-A-T." Jawab Gendhis. "Duh, mau ngomong apa tadi aku? Jadi lupa kan." Gendhis memiringkan dagunya. Kedua bola matanya bergerak kesana kemari mencoba mengingat apa yang harus dikatakannya, sebelum ucapannya dijeda pria tentara ini.

"Kalau ada pria yang melamar, jangan pernah menolaknya." Jawab Erlangga sambil terkekeh lalu menyeruput kopi hitamnya yang sudah tidak begitu panas.

"Nah. Lalu, tadi kamu bertanya padaku syarat apa yang aku inginkan agar aku mau menikah denganmu." Erlangga mengangguk mendengar ucapan sang perempuan.

"Banyak. Apa kamu sanggup mengabulkannya?" Tanya Gendhis lagi.

"Tentu saja. Selama itu tidak bertentangan dengan norma adat, agama, dan sumpah prajuritku. Kenapa tidak?" Jawab Erl mantab.

"Cih! Memangnya aku perempuan apa yang permintaanya aneh-aneh? Baiklah, ini beberapa syarat dariku. Kamu perlu catat tidak?"

"Ingatanku sangat kuat. Bahkan lebih kuat dari perempuan yang pernah mengataiku seperti emak-emak bermulut pedas." Jawab Erlangga sambil tertawa terbahak-bahak. Gendhis melongo mendengar jawaban Erlangga. Dia yakin betul kalau ucapannya saat itu sudah tidak ada pria ini didekatnya.

"Kamu … tidak marah?"

"Marah? Justru aku geli mendengarnya. Kamu tahu? Dari sepuluh perempuan yang pernah aku temui, Sembilan diantaranya sangat senang dan berharap untuk bertemu dengan aku lagi dan lagi. Dan, hanya satu diantara sepuluh perempuan itu yang ketus dan galak." Jawab Erlangga sambil memutar cangkir kopinya diatas alasnya.

Gendhis menghela napas terdiam lagi. Sikapnya memang selalu ketus dan jutek pada semua lelaki. Itu semua karena dia tidak ingin memberi lampu hijau pada lelaki manapun. Dia pernah bersikap ramah pada seorang teman lelakinya namun yang terjadi adalah teman lelaki itu salah menanggapi sikapnya dan itu membuat dia dan pacarnya bertengkar dan akhirnya mereka putus. Pacar temannya itu mengetahui kalau pacarnya ternyata menyimpan rasa suka pada Gendhis. Sejak saat itu, senyuman dan perhatian ramahnya hanya untuk teman-teman perempuannya saja.

"Kenapa kamu diam? Jangan membuatku takut." Perkataan Erlangga membuyarkan lamunan Gendhis.

"Hah, kalau aku diam, kamu bingung. Kalau aku cerewet, kamu akan repot. Jadi, aku harus bagaimana?" Gendhis memalingkan wajahnya dengan bibir mengerut.

"Hmm, jadilah dirimu sendiri. Aku suka itu. Tapi, ya jangan galak-galak juga. Kalau terlalu galak, nanti kapan buat anaknya?" Jawab Erlangga yang senang sekali menggoda perempuan jutek dengan kata-kata dan senyuman tampannya.

"Ih, anak … anak. Siapa yang mau buat anak denganmu?"

"Ya kalau kita sudah sah menikah nanti, tentu saja kita harus proses membuat anak, bukan?"

"Astaga! Kenapa aku bisa meladeni semua ucapan konyolmu." Gendhis menundukkan wajahnya dan menutupnya dengan kedua telapak tangannya. Erlangga tersenyum geli melihat perubahan sikap perempuan ini.

"Baiklah, langsung saja pada intinya. Kalau aku menikah denganmu, aku mau kamu menyetujui semua syarat yang aku berikan dan harus ada hitam diatas putih. Atau, aku bisa membatalkan pernikahan sewaktu-waktu." Jawab Gendhis lagi.

"Deal!"

"Kamu tidak mau dengar dulu syarat dariku?"

"Katakan saja, aku pasti akan mengabulkannya selama itu tidak melenceng." Jawab Erlangga dengan kedua tangan dilipat ke depan dada tegapnya. Gendhis menarik napas dan menghembuskannya dengan panjang dan perlahan.

"Pertama, aku masih ingin tetap bekerja sampai semampu aku." Ucap Gendhis dengan syarat pertamanya.

"Okay, tidak masalah." Jawab Erlangga spontan. Gendhis tersenyum menyeringai.

"Kedua, aku tidak ingin tinggal di rumah dinas." Jawab Gendhis lagi.

"Okay, no problem. Aku sudah punya rumah sendiri yang lokasinya di tengah kota." Jawab Erlangga sambil tersenyum. Gendhis menarik napasnya dalam-dalam sebelum mengucapkan syarat ketiga.

"Ketiga, aku tidak mau ada perselingkuhan dan tidak ingin di poligami. Aku tahu kalau di tentara ada aturannya untuk tidak boleh beristri lebih dari satu. Tapi, ya yang namanya lelaki pasti bisa mencari celah kalau dia mau." Ujar Gendhis. Erlangga terdiam untuk sesaat.

Next chapter