webnovel

Sial, Aku Mendatangkan Malapetaka

Manusia, monster, dewa. Aku tidak peduli dengan semua itu. Yang ku inginkan hanyalah sebuah telur. Ya sebuah telur. Sebuah telur yang tak ku ketahui asalnya. Namun aku yakin telur tersebut adalah telur monster legendaris. Siapa yang tak penasaran melihat telur yang tak kalian ketahui? Aku yakin, semua orang pasti akan serakah jika melihat telur tersebut. Mereka tidak akan segan-segan untuk mengambil telur tersebut. Lalu, apakah aku akan mengambilnya atau membiarkannya? Tentu saja aku akan mengambilnya. Tapi, apa yang terjadi jika aku ambil telur tersebut? Sial, Aku Mendatangkan Malapetaka.

BlackCarapace · Fantasy
Not enough ratings
22 Chs

Apa Kau Melupakan Sesuatu?

"Hmmmm . . . apakah kalian tahu, kenapa tidak ada guru yang mengajarkan tehnik kuno di akademi?" tanya pak Rovel pada Javar, Ajie, dan Izan.

Hening. Suasana menjadi hening. Semakin mereka ditanya, semakin mereka tak tahu jawabannya.

Akhirnya mereka menyerah dan menggelengkan kepala mereka.

"Dasar anak zaman sekarang. Belum mencoba menjawab, sudah menyerah duluan," ucap pak Rovel sambil menghela napas.

"Apakah sebenarnya kalian ingin mempelajari tehnik kuno?" tanya pak Rovel cetus.

"Ya" jawab Javar, Ajie, dan Izan serempak.

"Jika kalian mempelajari tehnik kuno, kalian tak bisa mempelajari kekuatan dewa. Apa kalian yakin?" tanya pak Rovel kembali.

"Ya" jawab Javar, Ajie, dan Izan tanpa ragu-ragu.

Jika mereka masih memiliki kekuatan dewa, mereka pasti akan ragu untuk mempelajari tehnik kuno tersebut. Namun, saat ini mereka tak memiliki kekuatan dewa. Mereka sangatlah lemah dibandingkan murid-murid lainnya. Mereka membutuhkan kekuatan untuk menjadi kuat. Itu lah yang membuat mereka yakin untuk menjawab "ya" atas pertanyaan yang diberikan oleh pak Rovel.

Melihat keyakinan dari ketiga anak laki-laki yang ada di depannya, Rovel tersenyum dan menganggukan kepalanya.

Baru kali ini aku menemukan murid yang berani mengambil resiko seperti ini. Sepertinya hari ini adalah hari pertama ku mengajar di akademi. Pikir Rovel.

Rovel telah menjadi guru selama tiga tahun di akademi. Namun, tak ada satupun murid yang ingin mempelajari tehnik kuno. Tapi hal tersebut tak membuat Rovel patah semangat. Ia terus berlatih tehnik kuno sendirian melalui buku-buku yang ia baca di perpustakaan.

"Baiklah, mulai saat ini kalian akan menjadi murid ku," ucap Rovel pada Javar, Ajie, dan Izan.

Ucapan dari pak Rovel membuat mata ketiga anak tersebut bersinar. Senyum yang selama ini hanyalah senyum palsu menjadi senyum gembira.

Akhirnya kami dapat mempelajari tehnik kuno. Pikir ketiga anak tersebut.

"Hmmm . . . sepertinya aku melupakan sesuatu. Tapi ya sudah lah. Besok pagi saat matahari telah terbit, kalian datanglah ke lapangan yang berada di depan kelas bertarung. Ingat, jangan sampai telat. Saya sangat tidak suka dengan murid yang telat!" ucap Rovel dengan muka serius pada Javar, Ajie, dan Izan.

"Siap pak!" jawab Javar, Ajie, dan Izan serentak.

"Sekarang kalian pergi. Bapak ingin melanjutkan membaca buku ini," ujar Rovel sambil menunjukan buku yang ia pegang pada Javar, Ajie, dan Izan.

Javar, Ajie, dan Izan bangkit dari kursinya lalu membungkukan badannya ke arah Rovel. Setelah itu, mereka memutarkan badannya dan pergi keluar dari perpustakaan.

Hmmm . . . anak-anak yang baik. Aku harap mereka memilii bakat dan kemauan untuk berlatih tehnik kuno. Batin Rovel sambil tersenyum lebar.

.

Sesampainya Javar, Ajie, dan Izan di luar perpustakaan mereka akhirnya merasakan sesuatu yang janggal.

"Hei hei . . . apa kalian merasakan sesuatu yang janggal?" tanya Ajie pada kedua temannya sambil mengerutkan alisnya.

Izan hanya menganggukan kepalanya.

Javar memegang dagunya seraya berkata, "aku pikir juga begitu. Sepertinya ada sesuatu yang terlewatkan."

Mereka bertiga terdiam sejenak berpikir, apa yang sebenarnya terlewatkan. Akhirnya Javar menemukan apa yang terlewatkan dari kejadian tadi.

"Ahh . . . aku tahu, aku tahu," ucap Javar sambil mengacungkan jari telunjuknya sejajar dengan kepalanya.

"Apa yang kau tahu?" tanya Ajie sambil memiringkan kepalanya.

"Pak Rovel lupa menceritakan kisah menariknya pada kita," jawab Javar.

"Ohhh" jawab Ajie dengan rahang menganga.

"Sepertinya memang salah kita mengobrol dengannya. Aku yakin otak pak Rovel tak berada di kepalanya," ucap Ajie dengan wajah serius dan mengepalkan tangannya di depan dadanya.

"Hei jaga bicaramu. Berbahaya jika ucapan mu terdengar oleh telinga pak Rovel," ucap Javar.

Ajie pun menutup mulutnya dengan kedua tangannya sambil menganggukan kepalanya.

"Baiklah, lebih baik kita bersantai-santai untuk hari ini. Sepertinya besok kita akan melakukan pelatihan keras." Javar menghembuskan napas lega.

Ajie dan Izan menganggukan kepala mereka. Lalu mereka pergi mengelilingi akademi dan melakukan apapun yang dapat menghabiskan waktu mereka.

.

Sekarang adalah Hari pertama pelatihan Ajie, Javar, dan Izan. Mereka bertiga telah berada di lapangan depan kelas bertarung sesuai perjanjian. Namun, pak Rovel belum juga datang. Sudah satu jam mereka menunggu kedatangan pak Rovel.

Tap tap.

Ajie menyilangkan tangannya lalu mengetuk-ngetukan jari tangan kanannya pada lengan tangan kirinya. Alisnya mengekerut. Dia menggertakan giginya. Dia tak dapat menunggu lebih lama.

"Hei kalian. Apa kalian memikirkan hal yang sama dengan ku?" ucap Ajie.

Javar dan Izan sama-sama memiringkan kepala mereka mendengar pertanyaan Ajie.

"Hmmm . . . apaan?" ucap Javar.

"Itu loh itu," ucap Ajie.

Javar dan Izan sama-sama tak mengerti apa yang dikatan Ajie.

"Hei bisakah kau sedikit lebih jelas?" ucap Javar.

"Arrgghhh." Ajie menarik kedua pipinya menggunakan jari-jarinya.

"Sial. Aku yakin, kita pasti dilupakan lagi olehnya," ucap Ajie sambil mengepalkan tangannya dan menaruhnya di depan dadanya.

"Hei bersabarlah sedikit. Ingat, kita ini murid pak Rovel. Sebaiknya kita sedikit menghormatinya meskipun ia sedikit susah dimengerti." Javar menepuk pundak Ajie.

"Bagaimana aku bisa bersabar. Dari kemarin aku sudah menahan sabar ku. Apakah kau tidak lihat? Matahari semakin tinggi, aku yakin dia pasti lupa," ucap ajie.

"Percayalah saja padanya, ya ya ya," ucap Javar membujuk Ajie dengan mencoba menunjukan wajah imut.

"Huh? Wajah jelek apa yang kau tunjukan padaku?" ucap Ajie disaat melihat wajah javar

"Siapa yang kau bilang jelek?" Javar menarik bagian atas baju Ajie.

"Ah tidak tidak, aku hanya sedang berbicara dengan seseorang yang mempunyai otak di lututnya." Ajie memutar bola matanya.

"Oi sini kau bocah kurang ajar! Biar aku kubur kau kedalam tanah." Javar menginjak-injak tanah.

"Siapa yang bocah kurang ajar dasar! Kemarilah jika kau berani, biar aku ratakan muka hina mu itu," ucap Ajie.

Meskipun mereka berkata seperti itu, tapi tak ada satupun dari mereka yang bergerak dari tempat mereka. Mereka hanya beradu mulut layaknya anak-anak lainnya.

Disaat mereka sedang bertengkar, pak Rovel tiba-tiba berada di depan mereka dengan membawa sebuah tas besar. Dia datang dengan tersenyum lebar.

"Selamat pagi anak-anak," ucap Pak Rovel.

Hah?

Javar, Izan, dan Ajie heran melihat kedatangan pak Rovel yang secara tiba-tiba.

"Baiklah kita akan memulai pelatihan menggunakan tehnik kuno," ucap pak Rovel tanpa memperhatikan apa yang sedang dilakukan Javar, Ajie, dan Izan.

"Tunggu tunggu tunggu. Bukankah bapak menyuruh kami datang setelah matahari terbit?" tanya Ajie.

"Ya bilang begitu. Bukankah sekarang matahari telah terbit?" Pak Rovel mengacungkan jari telunjuknya ke arah matahari.

Setelah mengingat-ingat kembali ucapan pak Rovel, mereka memang disuruh datang di pagi hari saat matahari telah terbit. Sekarang merupakan pagi hari dan matahari telah terbit. Memang ucapan yang dikatakan pak Rovel tidaklah salah. Tapi hal tersebut membuat ambigu kepada yang mendengarkannya.

"Sudahlah sudahlah. Tidak usah terlalu kalian pikirkan. Bapak akan memaafkan kalian karena ketidak tahuan kalian," ucap pak Rovel dengan melambaikan tangan kanannya.

Tunggu sebentar. Sepertinya situasi ini terbalik. Bukankah seharusnya kami yang mengatakan hal seperti itu? Apakah guru ini memang tak peka terhadap sekitarnya? Pikir Ajie.

Javar dan Izan hanya terdiam melihat kelakuan pak Rovel. Mereka harus lebih memaklumi kelakuan pak Rovel mulai saat ini.

"Baiklah, kita kesampingkan terlebih dahulu hal-hal tak pentingnya. Sekarang bapak akan melatih kalian. Kalian semua gunakanlah ini." Pak Rovel mengeluarkan sesuatu dari tas besar yang ia bawa.

Benda yang ia keluarkan merupakan beberapa gelang dan tiga buah chainmail. Benda tersebut berwarna abu-abu tanpa ada satupun corak.

"Ini adalah alat untuk melatih tubuh kalian."

Pak Rovel mengambil sebuah gelang seraya berkata, "ini adalah gelang yang akan dipasangkan di tangan dan kaki kalian. Kalian tak boleh melepaskannya kecuali disaat kalian ke toilet dan tidur. Sama halnya dengan chainmail ini."

Lalu, pak Rovel memberikan mereka masing-masing 4 buah gelang dan 1 buah chainmail. DIa meletakkan barang-barang tersebut di depan mereka.

"Sekarang . . . cobalah kalian pakai gelang tersebut di kedua tangan dan kaki kalian."

Mendengar ucapan pak Rovel, mereka segera mengambil salah satu gelang yang berada di depan mereka.

Apa yang mereka rasakan pertama kali adalah berat. Ya, benda itu sangat berat. Bahkan dengan kedua tangan mereka, mereka kesulitan untuk mengangkat satu buah gelang.

"Ahh . . . bapak lupa mengatakan sesuatu. Bapak rasa kalian akan kesulitan mengangkat benda tersebut. Walau bagaimanapun, kalian harus bisa menggunakan benda tersebut kemanapun kalian berada," ucap pak Rovel sambil tersenyum.

Hei dia tak bercanda kan? Benda seberat ini dipakai sehari-hari? Apakah tubuh kami akan baik-baik saja? pikir Ajie.

Woaah benda apa nih? Dengan kedua tangan ku saja aku sudah kesulitan mengangkat salah satu gelang. Bagaimana caranya aku bisa mengangkat seluruh benda tersebut? Pikir Javar.

Izan hanya melakukan apa yang diperintahkan pak Rovel tanpa memikirkan apapun.

Clang!

Suara besi berbenturan dengan besi terdengar dengan jelas.

Izan menjatuhkan salah satu gelang yang dia angkat. Tangannya tak kuat menahan berat tersebut.

"Ahhh" Izan hanya membuka mulutnya sebentar sebelum ia menutupnya kembali.

Melihat kejadian itu, pak Rovel mengerutkan alisnya dan memegang dagunya dengan tangan kanannya.

"Hmmm . . . sepertinya benda tersebut tak cocok dengan kalian. Baiklah, bapak akan memberikan sesuatu yang lebih baik," ucap pak Rovel.

Pak Rovel mengeluarkan benda yang sama dengan benda sebelumnya. Namun kali ini benda tersebut berwarna coklat.

"Kalian semua, cobalah menggunakan benda ini." pak Rovel menaruh gelang dan chainmail tersebut di depan Javar, Ajie, dan Izan.

Apakah benda ini sama beratnya dengan benda sebelumnya? Ataukah benda ini lebih ringan? Pikir mereka bertiga.

Saat mereka mencoba mengangkat benda tersebut, pertanyaan yang mereka pikirkan ternyata tak ada yang benar. Benda yang mereka coba angkat, lebih berat dibandingkan benda sebelumnya. Bahkan mereka tak bisa mengangkatnya dari tanah sedikitpun.

Javar tak pernah mengalami situasi seperti ini sebelumnya. Apakah pak Rovel sudah gila? Dengan gelang berwarna abu-abu saja, kami sudah tak dapat mengangkatnya. Sekarang ia memberikan kami gelang yang lebih berat dari sebelumnya.

"Bagaimana? Menarik bukan? Jika kalian tak suka dengan yang warna abu-abu karena terlalu ringan, kalian tak usah melemparkannya begitu saja. Bapak tau, kalian pasti ingin sesuatu yang lebih berat kan?" ucap pak Rovel sambil terseyum lebar dan menganggukan kepalanya.

Ajie tercengan mendengarkan perkataan pak Rovel. Sial! Dia benar-benar bodoh. Aku yakin otaknya berada di lututnya!

Javar mengeluarkan air matanya. Astaga! cobaan apa lagi ini?