1 Lembar Satu

Seoul, Dec 2014

INGIN sedikit membuang waktu, untuk berbincang denganku mengenai sebuah kehidupan? percayalah, setengah dari seratus persen—kau akan merasa tertarik akan hal itu. Pun ada bonus yang dapat kutawarkan, perihal meningkatnya rasa syukur terhadap apapun yang telah kau miliki sekarang ini. Sebagai pengawalan, boleh aku menebak sesuatu? setidaknya kau memiliki satu buah pallete dalam hidupmu, bukan? jika tidak—akan kuanggap kau yang sedikit memiliki persamaan denganku.

Aku yang tak memiliki pallete, membenci terik matahari, tak menaruh ketertarikan pada warna pastel layaknya gadis pada umumnya, dan garis besar dari sejuta rasa tak suka itu adalah—aku yang membenci kehidupanku. Membuat umpatan dariku terus saja terlontar pada bentang langit, yang jelas tak akan memberi jawaban apapun. Menyisakanku yang akan kembali merunduk, lantas menerima permainan takdir yang telah Tuhan patenkan.

"Syndrom skizoid—ku rasa tak begitu buruk." gumaman yang terlontar penuh rasa malas, tak pelak menciptakan sebuah pijatan pelipis pada pria bersetelan rapih dengan nametag Kim Nam. Ia yang terlihat menghela nafas sekilas sebelum membenarkan bingkai kacamatanya, lantas mengawasiku dengan raut serius bersama kerutan dahi. Dapat ku tebak dari airmuka yang ditampilkan, pria berotak genius itu tengah memutar otak guna menguatkan argumen logis yang jelas mengalakahkanku secara telak.

"Apa bagusnya dari seorang introvert yang tak memiliki kepekaan emosi, dan tak dapat bersikap lebih hangat terhadap orang lain? belajarlah, untuk tak menjadi seorang anti social, nona muda. Turuti saja perintahku, jika masih ingin terdaftar dalam list pasien yang ku tangani." terang psikiater itu tanpa basa-basi, yang hanya ku tanggapi dengan satu hendikan bahu. Terus bersikap acuh, lantas memilih kembali menutup suraiku dengan tudung hoodie hitam yang nyatanya telah menjadi favorite untuk kukenakan sehari-hari.

Enggan menanggapi, tubuhku lekas bangkit. Sekilas menilik sang pria dewasa yang terdengar berdecih sekilas, hingga tungkai ku lantas terseret untuk meninggalkannya tanpa segan. Ah—menghabiskan sepuluh menit di setiap minggu untuk sesi konsultasi saja, cukup membuatku muak. Hingga meninggalkan ruang bernuansa putih ini, adalah opsi paling tepat.

“Pertimbangkan baik-baik seluruh nasihatku, Lee Jian-ssi.” imbuhnya lagi. Sedikit meninggikan nada suara. Hingga mampu menghentikan langkah yang kuambil, tepat ketika lima jemari kurusku hendak meraih knop pintu—sekedar menerka beberapa hal yang terasa begitu memuakkan, "Aku menyukainya! Bukankah ketidakpekaanku terhadap emosi, membuatku tak perlu bersusah payah untuk berurusan dengan orang-orang munafik di luaran sana?" tak berniat menantikan jawaban, lekas kuciptakan debum kencang dari daun pintu yang ku banting cukup kasar seraya membuang nafas begitu arogan, "Sialan! Kepala ku mau pecah, rasanya." dumalku lagi, bersama hentakan secara berulang dari tungkai yang kini beradu gesek dengan licinnya permukaan lantai.

Belum juga berpuas diri akan amarah, nafasku kembali terhela alot. Lekas menilik sumber atensi yang tersita pada seorang pria berhoodie hitam. Hingga menghabiskan setidaknya lima detik, untuk saling beradu tatap dengan iris bulat yang terlihat sedikit tertutupi oleh helai poni kepanjangan dari surai hitam legamnya.

Berniat melanjutkan seretan tungkai, mendadak si pria bersurai legam yang tak ku kenal itu meringsak mendahului, untuk menghadang langkahku bersama sodoran payung yang sebelumnya sempat ia tenteng, "Di luar, sedang turun hujan. Sunbae, bisa gunakan payungku." ucap pemuda itu dengan ramah, serta merta menciptakan rotasi malas pada sepasang iris pekatku yang sempat membuang arah pandang—sebelum memutuskan kembali melanjutkan langkah dengan amat sangat angkuh, “Aku adik tingkatmu, sunbae. Jadi jangan merasa sungkan, dan bawa saja payungku.” imbuhnya lagi; kembali menghadang langkahku untuk kali kedua, yang berakhir mendapatkan respon serupa seperti yang sebelumnya kuciptakan.

“Tawarkan saja kebaikanmu terhadap orang lain.” jawabku.

Pun siang ini, masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Perihal gadis kelewat dingin sepertiku, yang kembali mengacuhkan kebaikan orang lain, sebab aku tak menyukai sebuah interaksi—meski hanya sebatas saling bertutur sapa, atau berbasa-basi untuk mengutarakan penolakan secara halus akan bantuan yang sejujurnya tak begitu kubutuhkan. Sebuah payung, untuk melindungi dirimu di tengah derasnya hujan? Oh—ayolah, bahkan seratus persen aku lebih menyukai turunnya hujan di banding terik matahari. Hal Itu bukan persoalan rasa takut sinarnya yang akan menggosongkan tubuhku, melainkan aku yang membenci silaunya sebab begitu terasa menusuk iris. Hingga membuatku terus mengenakan hoodie bertudung—untuk menjadi suatu pelindung dari gadis penyendiri, sepertiku.

--o0o--

Gunung Naejangsan, Oct 2017

"Nona? kau sungguh bertekad untuk melanjutkan pendakian? kudengar sebentar lagi akan ada badai. Jadi—kembalilah. Kau bisa mendaki, dilain waktu." satu suara menginterupsi, membuatku lekas menilik sekilas pada segerombol pria yang di antaranya telah menggerlingkan satu mata menggoda, begitu menjijikan.

Tak berniat menggugu peringatan yang dibarengi kekehan samar—lekas kuambil langkah acuh, setelah sebelumnya menghendik bahu, bersama sorot meremehkan yang untungnya tak begitu diperhatikan oleh segerombol pemuda tak bernyali yang jaraknya telah tertinggal cukup jauh olehku.

“Badai, katanya? Mari buktikan, apakah badai itu—sungguh akan datang.” gumamku, lantas memendar pandang ke segala penjuru. Seraya menerka perihal suhu udara sore ini, yang mungkin saja berkisar tujuh derajat celcius. Oh, tidakah terkaanku sedikit meleset? Bahkan ini terasa jauh lebih dingin, untuk seukuran tujuh derajat celcius.

Mendapati bagaimana kepulan asap yang menguar disetiap hela nafas yang lantas melebur bersama kabut, tak pelak menciptakan rematan dari seluruh jemariku yang sempat tersimpan dalam saku. Sesekali menggosokkan sepasang telapak tangan, berharap hantaran suhu tubuh dariku masih mampu untuk menguatkan pijakan tungkai yang sedikit demi sedikit mulai terasa bergetar, “Sial, dingin sekali.”

Meski demikian pemandangan sekitar yang dikelilingi warna-warni pohon crimson, tak pelak menciptakan garis lengkung pada bibir merekahku sebelum signal ketidakberesan perlahan menjalari sekujur tubuh ku tanpa sebuah alasan. Pun dimulai dari deru nafasku yang berubah tak teratur, hingga rasa ngilu pada tulang kering yang terasa tak tertahankan.

Oh—baiklah. Meski kesadaranku perlahan mengabur, nyatanya aku masih mampu menghitung jariku dengan benar bukan? Oleh sebabnya, untuk mempertahankan setitik kesadaran yang masih tersisa—lekas kutekuk lututku, untuk segera meringkuk di atas tanah. Berusaha mempertahankan pijakan, agar tak sepenuhnya ambruk dan tewas seketika tanpa diketahui oleh siapapun.

Sejurus disembunyikan, lekas ku palingkan wajahku—tepat ketika mendapati satu pria asing turut meringkuk mensejajari, "Sunbae? kau mendengarku? apa yang terjadi?" suara bariton si asing terdengar menginterupsi. Membuat ku sedikit memicingkan iris, meski yang ku dapati hanyalah bayangan samar.

Ku ingat pria asing itu, memiliki surai legam, paras yang terbilang cukup tampan dengan garis rahang yang tak main-main. Serta aroma maskulin bercampur mint yang menguar begitu kuat darinya.

Hanya itu saja yang ku dapati, hingga kesadaranku telah berada diambang batas. Membuat tubuhku nyaris mencium tanah, jika saja sepasang lengan kekar itu tak lekas mengapaiku dengan cekatan. Hantaran hangat yang ku dapatkan dari permukaan tapak tangan pria yang kini mengguncang tubuhku, terus saja memaksa kesadaranku untuk bertahan. Bahkan ia sempat berujar "Sunbae, bertahanlah! Jangan sampai tertidur. Sialan, apa ini hipotermia?"

Sudut bibirku nyaris saja melengkung, setelah mendengar monolog pria yang dapat ku terka tengah berada dalam raut cemas dan bingungnya. Oh—kurasa pria asing itu harus menanganiku sendiri. Sebab sejauh mataku memandang, tak ada satupun manusia yang terlihat berlalu lalang. Memangnya siapa orang bodoh yang berani menyambut maut? Ah—rasanya aku ingin terkekeh dalam benak.

Tunggu, nyatanya kejutan tak hanya berhenti sampai disini saja. Tidak setelah si pria asing yang sempat menyampirkan mantel tebalnya untuk menghangatkan tubuhku, malah melanjutkan untuk mendekapku secara berulang seraya berbisik begitu lirih. "Maafkan aku sunbae, aku harus melakukan ini agar tubuhmu menjadi sedikit lebih hangat." dalih pria itu, terus menggosokkan tangannya pada satu lenganku. Oh—nyatanya itu cukup berguna, membuat irisku sedikit mengerjab perlahan—bersama kesadaranku yang mulai terkumpul. Sayangnya tidak dengan nafasku yang malah terasa tersendat, begitu susah payah untuk meraup sedikit oksigen.

"Apa sunbae kesusahan bernafas, eoh?" tanya si pria asing. Perlahan mendekatkan sisi wajahnya—berusaha mencari jawabanku. Irisnya bergerak risau, mendapati bagaimana raut kesakitanku yang begitu minim akan pernafasan. Hingga tak terduga, si pria asing lekas membagi pasokan oksigennya untukku. Menyisakan irisku yang melebar, begitu terhenyak tatkala bibir lembab si pria asing telah menempel tepat diatas permukaan bibirku yang membeku. Tunggu— siapa yang menyuruh pria ini, untuk memberikan ciumannya padaku? oh—tidak, akan ku ralat lagi; maksudku berani-beraninya pria asing ini telah mencuri ciumanku?

"Kau—siapa?" teriakku dalam benak, didetik terakhir pagutan pria itu terlepas. Menyisakanku yang hanya memangku dagu, pada satu bahu pria yang telah membopong tubuhku untuk naik ke atas punggungnya.

Dan awal ceritaku, telah di mulai dari sini; pada musim semi di gunung Naejangsan. []



--o0o--

avataravatar
Next chapter