webnovel

Should Be

❝ Always needed the presence or departure of others to find out the depths of the heart. ❞ — Shita Hapsari. Yera teramat terpukul setelah kepergian mami dan adiknya. Yera tidak ingin mengkhianati janjinya sebagai saudarinya, Yera harus menepati janji adiknya! ©2020 by coureimmac

coureimmac · Teen
Not enough ratings
37 Chs

Bab 32 : Letting Go

"PAGI!!"

Teriakan itu mengisi kediaman keluarga Ratedra. Anak tunggal keluarga mereka berjalan menuruni tangga sambil bersiul ria.

"Pagi, pagi, pagi. . . Luar biasa!!" Ratedra—sang kepala keluarga menyahut teriakan dari anak tunggalnya.

"Wadaw boss besar udah ganteng pagi-pagi. . . Mau kemana boss?" Dery menatap sang ayah lalu duduk di bangku makannya.

"Mau ngejam—" sang istri melotot ke arahnya.

"Ratedra!!"

"Guyon, sayang. Yo, mau kerjalah!! Lo pikir gue mau ngapain, hah?" Dery tertawa menatap ayahnya sambil mengambil lauk yang disajikan di atas meja makan.

"Sayang, Yera tadi malam ke sini waktu kamu keluar. Dia kembalikan buku latihan Fisikamu," ujar Cleo—sang bunda sambil menuangkan air mineral ke dalam gelas.

"Hmm. . ." Dery mengangguk dan memasukkan kembali makanannya ke dalam mulutnya.

"Gimana kabarmu sama Yera, Der?" Dery menengok ke arah Ratedra.

"Hah?"

"Iya. . . Gimana perkembanganmu sama Yera?" Ratedra menaikkan alisnya membuat Dery menjadi salah tingkah sendiri.

"Apa sih ayah nih?"

"Kamu kan suka sama Yera, kamu pikir Ayahmu ini goblok kah sampai nggak tahu perasaan anaknya sendiri?" Ratedra mengambil lauk lalu memakannya.

"Hngh. . ."

"Dery, sini denger ayah dulu. . ." Dery menoleh ke arah Ratedra.

"Kamu suka kan sama Yera?" Dery mengangguk.

"Atau cinta?"

Dery terdiam, ia menoleh ke arah Cleo. Ia menatap bundanya yang tengah tersenyum kepadanya.

Dery mengangguk.

"Kamu nggak capek diam aja selama ini? Kamu nggak pengen gitu punya hubungan lebih sama dia?" Dery terdiam, ia menundukkan kepalanya.

"Ayah. . . Tapi, Yera nggak punya perasaan lebih sama aku. Dia cuman nganggap aku sebagai sahabatnya," Dery menatap kedua orangtuanya.

"Apakah kamu udah membuktikannya? Apakah kamu yakin dia nggak ada perasaan lebih juga ke kamu?" Ratedra menatap lurus ke arah Dery.

"Bener, Ayah. Aku udah ngungkapin perasaanku sama dia, tapi. . . Dia nganggap aku sebagai sahabatnya aja," Ratedra dan Cleo terkejut mendengar kisah cinta anaknya. Mereka berdua tahu jika Dery mencintai Yera, tapi mereka berdua tak tahu jika Yera menolak cinta anaknya.

"Apa Yera suka sama orang lain ya? Padahal kamu tuh ganteng menurut ayah. . . Tapi sih, tetap gantengan ayah lah," canda Ratedra membuat Dery menekuk masam wajahnya.

"Alah, ya gantengan aku kemana-mana lah. . ." Ratedra tertawa mendengarnya.

"Kalau gantengan kamu, pasti kamu udah punya pacar sekarang." Ujar Ratedra diselingi tawa khas darinya.

"Ayah, jangan ngeledek anaknya terus!" Ujar Cleo.

"Ayah ah. . ."

"Percuma ganteng, tapi sayang jomblo hahaha." Ratedra tertawa puas sambil menatap Dery dan Cleo hanya terkekeh melihat tingkah suaminya yang mengejek anaknya.

**

Karena kematian tanggungan pribadi

Saat ini, Dery tengah berbaring santai di atas karpet merah belakang kelas ditemani Fausta, Husen, Vienna dan Riana.

"Jangan coba atur tutur kata kami," Dery sedang asyik menggulirkan layar ponselnya dengan kedua AirPods-nya bertengger di telinganya.

"Hidup tak sependek penis laki-laki," lanjut Fausta yang asyik memainkan ponselnya.

"PRAKTEK PELAJARAN BU JULEHA, WOY!" Teriakan itu berasal dari depan kelas. Dery yang semula terlentang santai sambil menutup matanya menggunakan lengannya berusaha untuk bangkit berdiri.

"Woy anjing, pelajarannya bu Juleha!" Meyshia yang mendengarnya langsung melempar sepatu miliknya ke arah Dery, Dery terkejut saat sepatu tersebut tak sengaja terkena perutnya.

"Cangkemmu!" Meyshia menatap tajam ke arah Dery.

"Ck, Ta. . . Praktek woy!" Ujar Dery sambil menendang bokong milik Fausta.

"Yaelah entar aja dulu," Dery paham maksud Fausta. Dery duduk kembali ke karpet tersebut dan membuka ponselnya kembali.

Ya, beginilah nasib anak-anak absen terakhir. Dery merupakan absen ketiga dari terakhir, sedangkan Fausta merupakan absen terakhir.

Fausta memiliki nama panjang—Zachran Fausta Syahreza. Karena nama awalannya itu, ia memiliki absen terakhir sedangkan Dery memiliki nama panjang ; Radhika Deryasphati. Nasib nasib.

"Ah kalah mulu gue!" Fausta melempar asal ponselnya sehingga ponsel tersebut mengenai kepala Dery.

"Oh Jesus—" Dery meringis kesal sambil mengusap kepalanya, ia melirik sinis ke arah Fausta.

"Ta. . ."

"APAAN?"

"JANGAN NGEGAS DONG!"

"Hngh. . . Apaan cu?" Fausta berdecak dan menatap datar ke arah Dery.

"Gue mau cerita,"

"Tumben izin, biasanya langsung ngedumel," Dery menonjol kepala Fausta pelan lalu ditangkis seketika oleh Fausta.

"Ck, gini gue mau cerita. . . Gue. . . Udah. . ."

"Udah apaan?" Fausta melirik ke arah Dery.

"Udah. . ."

"Udah apaan, anjir?" Fausta menatap tajam ke arah Dery.

"Gue. . . Udah. . ."

"Ngehamilin anaknya orang?" Mulut Fausta langsung dicipok oleh sepatu Dery.

"Cangkemmu, rek!"

"Apaan emang anjir? Gue udah gue udah mulu, udah apaan emang?" Fausta menatap tajam ke arah Dery.

"Hmm. . . Gue udah. . . Ngakuin. . ."

"Perasaan lo sama Yera?" Dery terkejut menatap Fausta, Dery langsung menatap sekelilingnya. Untung saja saat ini kelas hanya diisi oleh mereka berdua saja.

"Lo—"?

"Yaelah Der, gue tuh ngerti. Lo tuh kalau mau cerita sama gue, tuh topik pasti nggak jauh-jauh dari nama Ave Shayera. Gue mah paham, anjir." Dery menatap sinis ke arah Fausta.

"Lo udah ngakuin perasaan lo ke dia? Terus dia ngejawab apa?—Et jangan bilang kalau dia nolak lo? Bener kan gue?" Memang ya insting pria itu sangat kuat, Dery mengangguk lalu terkekeh yang diselingi tawa dari Fausta.

"Bro, sini gue kasih paham. Lo suka, sayang, atau cinta sama dia?" Dery mendekat ke arah Fausta saat Fausta merangkulnya.

"Semuanya,"

"Lo bener-bener sesuka, sesayang, dan secinta itu kan sama dia?" Dery mengangguk.

"Lepasin, bro. Lo nggak boleh jatuh lebih dalam sama perasaan lo ke dia." Dery langsung menengok ke arah Fausta.

"Hah?"

"Dia nolak lo, kan?" Dery mengangguk.

"Dari tadi ngangguk mulu, nggak punya mulut lo?" Dery berdecak kesal.

"Iye bang."

"Nah gitu kek, lo mau nggak dia bahagia?" Fausta menatap Dery.

"Iya."

"Letting go, because the true nature of love is letting go. Kenapa gue bisa bilang kayak gitu? Lo pernah baca buku karangan Tere Liye, lo baca deh dan lo pahami artinya." Ujar Fausta.

"Why should it be like that?"

"Sekarang lo mikir, kalau misalnya Yera harus nerima cinta lo sedangkan dia nggak cinta sama lo. Apakah itu yang dinamakan cinta sejati? Bukankah cinta sejati itu ketika kalian saling mencintai dan saling memahami? Kalau begini namanya bukan cinta—tapi bertepuk sebelah tangan." Kepala Fausta langsung dipukul pelan oleh Dery.

"Bangke lo!"

"Tapi ya Der, kenapa ya Yera nolak lo? Setelah gue pikir, lo ganteng juga—tapi ya masih gantengan gue sih kemana-mana." Fausta menatap Dery dari ujung kaki hingga ujung kepala.

"Babi lo!"

"Haram dong gue?"

"Tapi ya gue cuman mau ngasih tahu, lo harus waspada aja mulai sekarang. Sekarang kan kalian ada proyek bareng tuh, dimana disitu Yera sendiri cewek diantara kalian berempat. . . Gue cuman mau ngingetin. Awasi Yera. . . Jangan sampai tuh anak baru, mantan ketos sama mantan ketua MPK ngedekatin Yera terus lo malah jadi sadboy karena mantan lo dapet pacar baru." Ujar Fausta.

"Lah iya anjir, kok gue baru ngeh ya? Siap-siap bos makasih infonya!" Ujar Dery sambil tersenyum manis menatap Fausta.

"WOY DUO SERIGALA! DITUNGGUIN JULEHA DI LAB!" Husen—salah seorang teman mereka baru saja datang dari Laboratorium, berteriak sambil melemparkan bukunya ke atas meja miliknya.