webnovel

Dasar Kucing Manja!

Seperti perkataan si Mami pada sore hari bahwa dirinya akan membawaku jalan sore tampaknya akan segera terlaksana. Si Mami kini sedang ada di kamarnya. Berdandan katanya. Aku terpaksa menunggunya di ruang keluarga sambil membaca berita dari ponselnya dan tentunya menunggu email masuk dari Josh.

Biasanya sore hari adalah waktu yang santai baginya. Apalagi tanpa harus menjemputku pulang sekolah. Apa yang dilakukannya sore hari ini, ya? Ketika aku asik membayangkan kegiatan Josh, tiba-tiba saja si Mami telah berdiri di depanku.

"Luar biasa ya, melihat seekor kucing bisa main ponsel! Apa kamu mengintip chatku dari medsos?!" ucapnya santai tetapi tetap mencurigaiku.

"Hei... human. Bukankah sudah aku katakan kalau aku berkirim pesan dengan email?! Itu sengaja aku lakukan agar tidak membuka sosmed milik kamu. Mengerti?!" ucapku tegas.

"Oh... ya ampun! Seekor kucing mengguruiku. Apa yang terjadi ini?" keluhnya sambil mengangkat tubuh kucingku ke pangkuannya.

Oh... dia wangi sekali! Dua buah baju berukuran kecil diperlihatkan padaku. "Apa ini?"

"Bajumu. Bukankah kamu katakan malu keluar tanpa memakai baju! Padahal hanya seekor kucing!"

Aku menatap tidak suka pada Karin yang sindirannya luar biasa. "Hei... human. Bagaimana pun jiwaku masih manusia! Tentu saja aku masih memiliki rasa malu!"

"Ya sudah, ayo pilih mau pakai baju yang mana? Kemeja atau jaket hoddie?" Karin memperlihatkan dua pilihan baju padaku.

Aku memperhatikan jaket hitam yang kelihatannya akan cocok untuk bulu putihku. "Jaket hoddie saja."

Karin segera memakaikan jaket itu padaku. "Sepertinya jaket hitam dengan hoddie ini cocok dengan statusmu yang seorang penyihir." Setelah memakaikan jaket padaku Karin bergerak ke arah cermin di ruangan itu. Aku tahu dia pasti akan berfoto lagi.

Nah... benarkan. Dia mengambil ponselnya, dia bergaya sambil menggendongku dipelukannya. Tidak puas dengan sekali berfoto. Karin lalu meletakkan aku di atas pundaknya, aku terpaksa mengikuti permainannya.

"Lihatlah betapa gantengnya anak kecayangan Mami! Muaaach..." tanpa ragu dan segan dia mencium pipi kucing seolah anak manusia.

"Tapi dimataku, semua kucing itu cantik atau lucu!" sahutku ketika memperhatikan sosok kucing putih dengan mata merah karena albino di depan cermin. Wah... dia kucing yang cantik dan unik dengan mata merahnya.

Si Mami sama sekali tidak mendengarkan perkataanku. Malah asyik terus berfoto. "Senyum seperti tadi, ya?"

"Iya. Cepatlah! Mau berapa kali lagi kamu terus berfoto? Dasar human!"

"Dasar kucing!" katanya sambil memencet hidungku dan mengambil foto adegan itu. KLIK!!! " Oke! Ayo kita jalan-jalan sore!" serunya penuh semangat sambil memasukan dua botol air mineral yang isinya telah berganti dengan makanan kucing yang aku katakan sereal, karena bentuknya memang seperti sereal hanya bau dan rasa saja yang berbeda. Ke dua botol itu lalu dimasukan ke dalam tas ransel kecil milik si human.

"Itu untuk apa?"

"Untuk kucing jalanan. Kasihan mereka tidak ada yang memberi makan, jadi kalau ada yang terlihat biasanya akan aku kasi makanan ini. Kamu tak marahkan aku memberi makan kucing jalanan?"

Aku menghela nafas. "Untuk apa aku marah? Toh aku tidak makan sereal itu."

***

Apartemen si human alias Karin pemilik Shiro adalah sebuah gedung berlantai enam belas. Sebuah apartemen yang membolehkan memelihara hewan yang tidak berisik. Apartemennya sendiri ada di lantai enam dan aku harus berjalan menuruni tangga karena si Karin lebih suka turun dan naik tangga sebagai pengganti olahraga dari pada naik lift. Katanya juga untuk memberitahukan jalan, jika sewaktu-waktu ada kejadian gempa atau entah apapun itu aku diharapkan olehnya tahu jalan keluar dan bisa menyelamatkan diri jika tidak ada dirinya. Untuk yang itu baiklah, aku hargai kepeduliannya terhadap diriku ataupun hewan peliharaannya dalam melatih diri.

Dari lorong apartemen lantai enam tadinya aku juga memperhatikan bangunan di sekitarnya. Tidak ada gedung pencakar langit di pusat kota yang aku lihat. "Hei, apa pusat kota jauh?"

Karin melihat padaku yang berjalan di sisi kanannya. "Sekitar lima menit dari pusat kota kalau kamu naik mobil."

"Apa artinya ini pinggiran kota?"

"Tidak juga. Daerah pinggiran kota masih jauh, butuh waktu sekitar lima belas menit menggunakan mobil dari tempat ini."

"Hei Karin, gendong aku." Pintaku karena dari rumah ke taman yang dimaksud Ksrin cukup jauh bagi seekor kucing. Dan lagi ternyata anak-anak banyak yang menggodaku ketika berjalan melenggak lenggok dengan tubuh kucing yang montok. Para perempuan dan laki-laki dewasa juga tak kalah dengan para bocah yang sibuk menggoda seekor kucing putih. Oh... sepertinya kucing yang bernama Shiro ini memang luar biasa lucu, imut dan menggemaskan.

"Jangan malas! Ayo cepat jalannya."

Aku yang sebenarnya juga malas berjalan, dengan sangat kesal aku panjat tubuhnya dan langsung nongkrong pada bahunya. Posisi yang paling enak itu bagi kucing adalah digendong di bahu.

"Dasar kucing manja!"

"Sejak kapan kucing tidak manja? Aku tak mau dicolek suka-suka sama orang lewat lagi!" ucapku sambil memperhatikan bangunan apartemen dari luar. Bangunan apartement yang cukup bagus dan tinggi. Daerah mana ini sesungguhnya?

Karin mengusap kepalaku penuh sayang. "Itu karena kamu sangat ganteng. Ditambah lagi pakai baju begini. Ya tambah banyak yang godain."

"Oh... enak sekali belaianmu!"

"Sepertinya kamu menikmati menjadi kucing." Ucapnya mendengar perkataanku barusan.

Aku berdehem karena jadi salah tingkah. Si human malah tertawa sepuasnya. Tak bisa dipungkiri jika tubuh kucingku menyukai setiap belaian dan usapan lembutnya.

"Nah, di persimpangan itu tamannya. Sore seperti ini biasanya ramai sama anak bermain dan ada orang dewasa lainnya juga yang membawa kucingnya untuk bermain agar tidak stres selalu terkurung dalam rumah!"

"Oh... jadi itu yang sekarang mau kamu lakukan dengan membawaku jalan ke taman sore hari."

"Seratus! Selain itu tentu saja aku mau cari papi buat kamu! Hehehe..."

"Apa? Papi?" Aku memperhatikan Karin yang senyum-senyum sendiri dengan pipi yang jadi memerah. Ia diam saja tanpa mau menjawabku.

Akhirnya kami sampai di taman yang jaraknya tidak sampai delapan ratus meter dari rumah. Jarak yang dekat buat manusia berjalan kaki sekalian olah raga jalan santai. Di taman itu memang banyak anak-anak dan orang dewasa yang membawa peliharaan mereka masing-masing. Tapi anehnya, kenapa para hewan peliharaan itu harus diberi tali pengekang pada tubuh mereka. Aku bertanya tentang hal itu pada Karin, tetapi Karin malah menyuruhku diam.

"Aku tidak mau sampai ada yang mendengar kamu bisa bicara!" bisiknya sebelum menurunkanku di atas rumput taman.

"Ya, katakan saja aku ini kucing penyihir. Tidak ada yang herankan dengan sihir di sini?!"

"Ya ya ya... memang, tapi kamu itu di duniamu kucing. Dan kamu juga harus ingat, sekarang kamu bukan hidup di tempat yang biasa kamu tinggali. Tidak ada sihir di sini! Atau negara mana pun!" Karin menegaskan dengan setengah berbisik.

Kali ini aku diam karena sudah diingatkan. Memang tempat aku tinggal sekarang sama sekali tidak ada sihir. Lagi pula hanya manusia yang memiliki sihir di tempat aku tinggal sebelumnya. Jika sampai ada hewan yang memiliki sihir itu artinya manusia bersangkutan sudah melakukan sesuatu yang tidak seharusnya. Ya... mungkin karena aku memakai sihir diluar kemampuan dan membuka segel makanya aku berakhir terdampar di tubuh seekor kucing sebagai hukuman. 'Kalau sudah seperti ini, apa ada caranya agar aku bisa kembali ke tubuh asliku?'

Next chapter