webnovel

Shirea

Valen Trish tidak pernah menyangka kehidupannya akan berubah. Mimpinya menjadi seorang ksatria hancur dalam waktu semalam, ketika keluarganya terbunuh oleh orang tak di kenal malam itu. Pertemuannya dengan Velian Grey, pria berhati dingin yang menyelamatkannya, membuat ia harus menjalani takdir sebagai pembunuh berdarah dingin. Setelah mengetahui bahwa orang yang membunuh keluarganya adalah utusan sang raja, ia menyusup masuk ke dalam istana dan harus berurusan dengan Putra Mahkota yang terkenal bengis dan kejam. Hal-hal misterius yang disembunyikan oleh kerajaan akhirnya terungkap, di mana ia harus berlumuran darah demi menjalankan politik kudeta dan mempertaruhkan nyawanya.

Irie77 · Fantasy
Not enough ratings
4 Chs

Part 2

Kilapan pada ujung dagger terpantul di mataku, membuatku ingin meraihnya. Aku masih terdiam ketika Aleea mendekatkan dagger itu tepat di wajahku. Kutatap Aleea yang mengangguk dan tak lama dagger pun berpindah tangan. Satu hal dalam pikiranku, apa ini berarti aku akan mejadi pembunuh? Seumur hidupku, aku tidak pernah membayangkan jika aku menjadi pembunuh berdarah dingin.

"Baiklah, aku akan bergabung."

Aleea tersenyum sambil menjabat tangan dan aku meraihnya sesaat.

"Selamat bergabung Valen, aku mohon untuk kerja samanya."

Aku mengangguk namun sedetik kemudian, aku kembali termenung sambil menatap dagger di tanganku. Mulai detik ini aku menjadi Assassin, pembunuh di balik layar, sangat mustahil untuk menjadi seorang ksatria.

Malam semakin larut dan mataku terasa berat. Aku menata jerami untuk terbaring dan kulihat Aleea sudah terkulai di atas batu sementara Velian dan juga Zealda belum juga kembali, tapi aku tidak peduli sama sekali.

Aku mengerang lirih ketika bekas lukaku kembali terasa nyeri dan kulihat pinggangku sudah memar di area luka. Aku kembali mengoles ramuan herbal untuk meredakan nyeri meskipun awalnya sangat pedih.

Baru saja mau terbaring, suara derap kaki terdengar begitu jelas dan menuju kearah sini. Aku meraih pedangku sambil menatap pintu masuk dengan waspada. Sosok pria berambut panjang masuk dan disusul yang berambut pendek.

"Siagamu cukup bagus juga, nona." Zealda menyeringai.

Aku meletakkan kembali pedangku. "Aku hanya belum terlelap."

Aku kembali terbaring dengan pelan-pelan untuk menghindari rasa nyeri berlebihan di pinggangku.

"Aku sudah membawa binatang buruan." Velian meletakan seekor rusa hidup namun sudah cacat dan terikat oleh tali. "Besok masaklah sesuatu yang enak."

Aku terdiam dan menatapnya bertanya. Apa yang disuruh masak itu—aku?

"Maaf, kau berbicara padaku?"

Velian mengerutkan kening dengan heran. "Tentu saja. Bukankah perempuan seharusnya yang memasak?"

Mataku melebar seketika dengan pikiran kosong. Gawat! Tamatlah riwayatku! Aku—tidak memasak. "Kalau aku tidak mau memasak apa yang akan kau lakukan?"

"Jika kau tidak mau memasak, kau tidak akan mendapat jatah makan dan berburulah sendiri."

Aku menghela napas lega, kupikir ia akan menghukumku dengan kejam dan sebagainya. "Baiklah, aku akan berburu sendiri."

Velian terbangun dari duduknya dan mendekatiku. "Kau takan bisa berburu dengan luka seperti itu."

"Kita lihat saja nanti," sahutku.

Tubuhku tersentak ketika sebuah belati menancap di jerami dekat pipiku, Velian yang melemparnya ternyata. Aku hanya menelan ludah ketika melihat tatapannya yang begitu dingin. Aku berusaha untuk duduk dengan susah payah karena lukaku masih sedikit nyeri jika banyak bergerak.

"Jika aku memasak untuk kalian, kujamin kalian akan kecewa dengan masakanku," ujarku jujur, berharap mereka mengerti maksudku.

Velian kini duduk di tepi jerami dengan tatapan tidak suka. "Jadi maksudmu kau tidak pandai memasak?" Ia menyeringai dengan ekspresi mengejek. "Kau sama sekali bukan perempuan yang menarik."

"Itulah, jangan memintaku untuk memasak jika kau tidak ingin makan makanan yang akan membuatmu tidak makan setahun."

"Seburuk itukah kemampuanmu?" Velian mencengkeram leherku hingga aku terbatuk. "Lalu jika kau tidak bisa memasak apa gunanya kau menjadi anggota kami?"

Aku melepas cengkeramannya sekuat tenaga hingga leherku tergores kukunya. Aku batuk sepuasnya sebelum menjawab, "Kalian ini Assassin bukan? Sebenarnya kalian merekrutku untuk menjadi Assassin atau hanya mejadikanku pembantu kalian? Memangnya kenapa jika aku tidak bisa memasak? Sebelum aku datangpun juga tidak ada yang memasak untuk kalian kan?"

Velian terdiam namun rahangnya mengencang seakan tidak terima dengan jawabanku. Tangannya meraba lukaku dan mencengkeramnya hingga berdarah kembali. Aku mengerang kesakitan sambil melepaskan cengkeramannya. Rasa sakitnya membuatku ingin menitikkan air mata. Seumur hidupku, baru kali ini aku bertemu orang kejam seperti mereka.

"Berburulah dengan luka seperti itu," ujarnya setelah melepas cengkeramannya kemudian merebahkan diri di tumpukan jerami dekat perapian.

Aku hanya meringis kesakitan dan berlari menuju pintu goa namun sudah di cegat Zealda.

"Mau kemana kau?"

"Lepas!"

Aku menendang dadanya dan mendorongnya hingga tersungkur. Zealda tampak kesal seketika, ia melompat dan menarik tanganku kemudian membanting tubuhku ke tanah.

"Kau bahkan berani menyerangku." Zealda mencabut sebilah pedang tipis. "Kau cukup bernyali juga." Ia mengacungkan pedang itu ke arahku. "Kita lihat bagaimana kemampuan bertarungmu."

Aku berusaha untuk bangun sambil memegangi lukaku. Pedangku ada di atas jerami dan aku bersusah payah untuk meraihnya. Aku memaksakan diri untuk berdiri sambil mengacungkan pedangku juga. Namun rasa sakit yang menderaku membuat rahangku mengencang untuk menahannya.

Aku menarik nafas panjang agar sedikit tenang. "Majulah."

Zealda menyeringai dan ia benar-benar menyerangku. Aku menepis serangannya sambil membaca gerakannya dengan baik. Tubuhku bergerak memutar untuk menghindari serangan telaknya, sekali saja aku salah melangkah mungkin bisa berakibat fatal.

"Ck ck ck. Jadi hanya segini saja kemampuanmu? Kau bahkan tidak bisa menyerangku balik dan hanya bisa menghindar seperti ini? Seharusnya Velian tidak menyelamatkanmu malam itu dan membiarkanmu mati di tangan mereka."

Aku tidak menyahut, namun aku menemukan celah di setiap gerakannya. Disaat ia mencoba menyerangku dari atas, aku langsung merunduk dengan sedikit berputar untuk menebas pinggangnya dengan cepat. Zealda mengerang dan ambruk seketika.

Aku kembali memegangi lukaku yang sakitnya sedari tadi kutahan. Bajuku sudah berlumuran darah di bagian pinggang, namun aku menyeringai melihat Zealda berusaha berdiri dengan susah payah. Akhirnya aku berhasil memberi pelajaran pada pria terkutuk yang satu ini, berikutnya mungkin si Velian sialan itu.

"Bagaimana Zealda? Kau puas dengan seranganku?" ujarku tersenyum miring sambil berdiri. "Sekarang kau memiliki luka yang sama denganku tapi bedanya itu luka sayatan."

Suara tepuk tangan dari Velian menggema di seluruh goa hingga Aleea yang terlelap pun terbangun.

"Ada apa ini?" tanya Aleea dengan rambut perak yang berantakan. "Zealda, kau bertarung dengan siapa?" Ia menatap pedang di tanganku dan melihat lukaku yang berdarah. "Valen lukamu—"

"Berani menyentuhku ku bunuh kau!" ancamku untuk menahan gerakannya agar tidak mendekatiku.

"Jangan bilang kau bertarung dengan Zealda dengan luka seperti itu," gumam Aleea menatapku tak percaya.

"Kau menghindari serangan Zealda sambil membaca gerakannya, bahkan kau berhasil menemukan celah dan kau menggunakan kesempatan itu untuk menyerangnya balik," komentar Velian dengan senyum miring menyebalkannya. "Taktikmu bagus sekali."

"Apa kau juga mau bertarung juga denganku?"

"Tentu saja. Kita lihat apa kau juga bisa megalahkanku?"

"Velian hentikan!" Aleea sudah menghadang. "Kau akan memperparah lukanya."

"Aku tidak peduli," sahutnya.

Aleea mendengus tertawa. "Kau yakin ingin bertarung dengan gadis yang terluka? Dimana harga dirimu?"

"Aleea. Justru karena aku terlalu menjaga harga diriku, aku bukanlah orang yang sembarangan memilih seseorang untuk menjadi anggota, dan juga—" Velian menatapku sambil menyeringai. "Gadis ini perlu tahu prinsip menjadi seorang Assassin."

Aku menggenggam pedangku semakin erat. "Aku tidak akan ragu untuk menyerangmu."

"Baguslah, memang itu yang kuharapkan."

"Kalau begitu ambil senjatamu sekarang juga."

"Aku tidak perlu menggunakan senjata untuk menghadapimu."

Sombong sekali pemuda yang satu ini! Tapi biarlah, ini kesempatan bagus untukku bukan? Dengan begini aku pasti bisa mengalahkannya dan memberinya pelajaran.

"Coba kau gores aku dengan pedangmu. Kita lihat, apakah kau bisa melakukannya?"

Velian melompat ke arahku dan bersiap menyerang dengan tangannya. Jika ia bertarung dengan tangan kosong berarti ia akan melawanku dengan pukulan atau cengkeraman. Tapi—selama ini memang ia selalu mencengkeramku dengan tangannya.

Gerakannya mudah sekali terbaca dan terlalu banyak celah. Tentunya aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menyerangnya.

Aku bergerak memutar dan bersiap untuk menebas lengannya, namun tak disangka tangan satunya sudah menangkap pergelangan tanganku dan memelintirnya kebelakang hingga gerakanku terkunci seperti waktu itu. Aku mengerang kesakitan ketika tangan satunya mencengkeram lukaku dengan keras.

"Aku sudah melihat caramu bertarung sebelumnya. Kau tipe orang yang mencari celah untuk menyerang lawan ketika bertarung, karena itu aku sengaja memberimu celah untuk menyerangku, tapi—satu hal yang perlu kau tahu, Assassin berbeda dengan ksatria perang."

"Velian," pekikku.

"Pertama, prinsip ksatria adalah membunuh dan bertarung, sementara Assassin adalah membunuh dengan sedikit bertarung," lanjutnya tanpa mempedulikan rasa sakitku. "Kedua, ksatria pasti akan mencari celah untuk menyerang lawan, sementara Assassin pasti akan mencari kelemahan lawan. Kau harus tahu Valen, celah bisa ditutupi sedangkan kelemahan adalah titik fatal yang tidak bisa dipungkiri. Kelemahanmu saat ini adalah lukamu, karena itu aku langsung menyerang lukamu." Velian mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, "Katakan padaku, apa impian terbesarmu? Apa yang membuatmu lebih memilih pedang dari pada memasak?"

Aku terdiam sejenak, namun pada akhirnya aku menjawab, "tentu saja untuk melindungi orang-orang lemah dari orang-orang kejam sepertimu."

Aku mengerang lagi ketika cengekarannya semakin erat pada lukaku seakan-akan ia tidak terima dengan ucapanku.

"Ketiga, ksatria melindungi dengan cara berperang sementara Assassin melindungi dengan cara membunuh. Dengarkan aku baik-baik Valen! Saat ini kau adalah anggota Assassin dan tinggalkan semua prinsip ksatriamu. Jika kau ingin melindungi seseorang, kau harus melindunginya dengan cara membunuh orang jahatnya langsung. Mengerti?"

Aku menelan ludah sambil mengangguk. "Ah, aku mengerti."

"Dia sudah mengerti bukan? Sekarang lepaskan dia, Velian." Aleea sudah mencengkeram bahu Velian dari belakang.

Velian melepaskanku pelahan namun tubuhku ambruk seketika dan kesadaranku mulai memudar. Rasa lelah melandaku akibat peratarungan dan juga rasa sakit yang menderaku. Aku ingin sekali terlelap sambil berharap aku tidak akan lagi membuka mata. Namun, aroma mint dari tubuhnya membuatku nyaman dan aku—menyukai aroma ini. Ya, hanya menyukai aromanya bukan orangnya.

* * *

Ketika membuka mata, aku sadar bahwa aku masih berada di dalam goa yang sekarang menjadi tempat tinggalku. Pikiranku melayang pada pertarungan semalam. Aku menggerakan tubuh untuk duduk dan kulihat lukaku sudah dilumuri ramuan herbal.

Aku yakin, Aleea yang mengoleskan obat herbal ini, mana mungkin dua iblis itu yang melakukannya. Kuhela napas lega karena sakitnya mulai berkurang.

Aku mengedarkan pandangan dan tidak kulihat siapapun disini selain diriku, entah kemana mereka. Kulangkahkan kaki keluar goa dan udara sejuk nan lembut langsung menyambutku.

"Kau sudah bangun rupanya."

Aku melihat sosok Zealda yang telanjang dada sedang membakar daging rusa semalam namun tatapanku tertuju pada balutan luka di pinggangnya.

Aku mendengus tertawa. "Tak kusangka ada obat herbal di pinggangmu. Mau mencoba menyamai penampilanku?" ujarku mengejek.

"Tertawalah sepuasmu. Jika aku sembuh, aku akan benar-benar menghajarmu."

"Kita lihat saja nanti." Aku tersenyum miring.

Aku mengedarkan pandangan dan sejenak aku merasa ada yang kurang. "Kemana Aleea dan Velian?"

"Mereka sedang ke kota untuk mencari rempah-rempah."

Aku hanya termanggut-manggut.

"Oh ya, karena kau tidak mau memasak berarti hari ini kau harus mencari makanmu sendiri sesuai kesepakatan."

Aku mengendikan bahu. "Tidak masalah, lagi pula dari pada memasak untuk kalian lebih baik berburu sendiri sesuai selera."

Zealda tersenyum miring namun aku bisa membaca keheranan di wajahnya. "Kau berasal dari distrik Drysh bukan? Setahuku, wanita di sana sangat anggun dan mempesona. Selain itu hampir semua wanitanya pandai memasak dan selalu menjaga penampilan. Tapi—" Ia menatapku intens. "Bagaimana bisa ada gadis urakan yang hobi bertarung sepertimu terselip disana? Apa kau tidak malu dengan wanita tulen yang ada di sekitarmu?"

"Dari mana kau tahu aku dari distrik Drysh?" Aku memicingkan mata.

"Tidak sulit untuk mengetahui asal usulmu. Apa lagi kau gadis yang memang terkenal urakan dan suka sembarangan." Zealda tersenyum miring.

Seketika aku menjadi sedikit kesal dengan sikapnya, tapi aku berusaha agar tetap berpikir jernih. "Baiklah, tidak masalah," ujarku setelah menghela nafas. "Aku juga tidak peduli kau dapat informasi dari mana tentangku. Aku akan pergi berburu, jadi jangan ganggu aku."

Aku meninggalkan Zealda begitu saja di perapian, persetan dengan kondisinya. Ku keluarkan pisauku dan mematahkan tiga ranting pohon yang sudah tumbang, lalu meruncingkan ujungnya untuk kujadikan tombak.

Aku mulai mengitari hutan yang masih tergolong rimba. Sebenarnya aku sendiri masih tidak tahu mau berburu apa. Aku lapar tapi berburu rusa tidaklah mudah, ditambah aku tidak pandai memanah. Senjataku hanya tombak dan pisau yang terselip di pinggangku.

Aku pergi ke sungai sejenak untuk membasuh wajahku sambil berpikir binatang apa yang harus ku tangkap, namun air segar membuatku ingin mandi. Kebetulan sekali, sudah hampir dua hari aku tidak mandi dan sekarang aku baru sadar jika tubuhku terasa lengket.

Kuedarkan pandangan dan keadaan begitu sepi. Segera ku pergi menuju batu besar yang tak jauh dariku dan menanggalkan pakaianku. Pikiranku menjadi tenang seketika, saat tubuhku masuk kedalam air. Kesejukannnya membuat segala gundahku lenyap dalam sekejap. Beban pikiranku seolah ikut terhanyut oleh arus sungai yang semi deras. Laparku juga sedikit berkurang, tapi mungkin aku akan merasa lapar setelah keluar dari air.

"Apa lukamu baik-baik saja setelah terkena air?"

Aku melonjak kaget ketika melihat sosok Velian duduk di atas batu yang tak jauh dariku.

"Seharusnya lukamu tidak boleh terkena air sebelum mengering."

Aku langsung masuk kedalam air untuk menutupi tubuhku. "Sejak kapan kau di situ? Bukankah kau sedang pergi ke pasar?"

"Kau takut aku sedang mengintipmu?"

"Tentu saja!" ketusku.

Velian tersenyum miring. "Mau kutemani?"

"Tidak perlu!" sergahku mulai kesal.

"Baiklah." Velian mengendikan bahu. "Hati-hati kau di sini. Kudengar di sungai ini ada Buaya besar sekali."

Aku mendengus tertawa, apa dia pikir aku ini bocah? "Aku tidak takut. Kalau memang ada Buaya baguslah, jadi aku tidak perlu berjalan jauh untuk berburu," ujarku asal.

"Oh!" Velian melipat tangannya di dada. "Jadi maksudmu kau ingin makan daging Buaya? Ck ck ck." Ia menggelangkan kepalanya. "Mungkin kau adalah orang pertama makan daging Buaya yang kulihat secara langsung."

"Jika sudah selesai mengejekku, cepat pergilah!"

Velian mendesah iba. "Baiklah nona Buaya. Kuakui kau sangat menakutkan dan juga—terlihat liar." Velian melompati batu untuk menepi. "Ah satu lagi, aku ingin melihat hasil buruanmu dan melihatmu makan daging Buaya."

Aku mendengus tertawa meskipun dalam hati begitu kesal. "Kenapa kau begitu ingin?"

"Karena jika kau benar-benar memakan daging Buaya, berarti kau lebih ganas dari Buaya sampai-sampai Buaya yang seharusnya memakanmu justru sebaliknya, malah dimakan olehmu." Velian tersenyum mengejek sebelum akhirnya melangkah pergi.

Aku menarik napas panjang kemudian mencelupkan kembali kepalaku ke dalam air. Berharap rasa kesalku turut hanyut terbawa aliran sungai.

"Velian sialan!" umpatku dalam hati.

Aku kembali menyembulkan kepala kepermukaan ketika merasakan ada seseorang yang masuk kedalam air. Hampir saja aku menjerit, namun ia sudah membekap mulutku sambil meletakan telunjuknya di bibir pertanda aku harus diam.

Mataku menatapnya tajam dengan kesal yang semakin membara. "Kau? Kenapa kesini lagi? Bukahkah kau tadi sudah mau pergi?!" Aku meninju bahu Velian yang ternyata keras sampai jariku sedikit kebas.

"Kecilkan suaramu! Orang-orang itu ada di sekitar sini."

"Apa?" tanyaku setengah berbisik.

Aku mengedarkan pandangan dan benar saja, aku merasakan ada pergerakan di sekitarku. Aku menatap Velian bingung ketika ia meraih pakaianku di atas batu. Awalnya kupikir ia akan memberikannya padaku dan memintaku untuk memakainya, tapi ternyata ia membuangnya ke sungai dan membiarkannya hanyut.

"Hei apa yang kau lakukan dengan pakaianku?!"

"Cepat masuk ke dalam air."

Aku terdiam sejenak untuk mencerna ucapannya, terlalu shock dengan pakaianku yang di buang begitu saja. Velian mendorong kepalaku ke dalam air dengan paksa tanpa memberiku kesempatan untuk menyimpan udara di paru-paruku.

Aku memukul-mukul lengannya agar melepaskan kepalaku, lalu menghirup udara sebanyak-banyaknya ketika kepalaku berhasil keluar.

"Kau ingin membunuhku?!" Aku mendorongnya sekuat tenaga hingga tercebur ke dalam air.

"Kau masih saja melawan!" desisnya setelah terbatuk-batuk akibat tersedak.

Velian terdiam seketika begitupun denganku. Kami saling menatap pertanda harus waspada lalu sedetik kemudian aku mengangguk begitupun dengannya. Aku menarik nafas panjang kemudian kami sama-sama masuk kedalam air sambil pegangan batu agar tubuh kami tidak mengapung di air.

Yang tadi itu jelas sekali ada suara derap kaki yang berjalan menuju kemari. Tapi setelah masuk kedalam air telingaku hanya dipenuhi suara aliran sungai. Meskipun begitu, aku tidak berani menyembulkan kepala ke kepermukaan air jika situasinya belum sepenuhnya aman.

Aku tidak tahu sudah berapa lama kepalaku di dalam air hingga dadaku terasa sesak, karena udara di paru-paruku mulai menipis. Aku dan Velian menyembulkan kepala bersamaan dan menghirup udara sebanyak-banyaknya. Kulihat keadaanya mulai aman dan aku menarik napas lega.

"Kita harus segera kembali," ujarnya sambil mengedarkan pandangannya.

Aku menatapnya kesal seketika. "Kenapa kau membuang pakaianku?"

"Jika mereka melihat pakaianmu mereka akan tahu posisi kita."

"Oh, kuakui kau cerdas sekali." Aku termanggut-manggut namun rasa kesal ini mulai meningkat. "Sekarang pikirkan bagaimana caraku keluar dari dalam air tanpa pakaian?" lanjutku dengan nada dingin.

Velian terdiam seakan baru menyadarinya. Aku meraih pisauku yang terselip di bebatuan dan menghunuskannya di leher Velian.

"Lepas pakaianmu atau kubunuh kau!" ancamku.

_______To be Continued_______